IslamLib – Tantangan umat Islam sekarang ini persis seperti yang dihadapi Jepang pada abad 18 dulu. Ketika itu, intelektual Jepang dihadapkan pada pilihan yang sulit: apakah menerima dan meniru Barat atau tetap berpegang pada warisan Tokugawa yang menutup diri total dari pengaruh asing. Hashim Saleh pernah menulis mengenai hal ini di harian Al Hayat. Jepang menempuh jalur “nekad” yang ternyata benar: tirulah Barat.
Sebagian besar intelektual Muslim selama peralihan abad 20 mengusulkan opsi serupa, “tirulah Barat, karena di sana terdapat hal-hal yang menjadi rahasia kemajuan umat manusia.” Kalau kita baca “Arabic Thought in Liberal Age” karya Albert Hourani, akan tampak bahwa semangat rasionalisme dan keinginan meniru Barat begitu menonjol dalam kesadaran intelektual Islam pada abad 19 dan awal abad 20.
Arusnya kemudian berbalik pada tahun 70-an, terutama dimulai dari Timur Tengah, yaitu ketika terjadi pengalaman pahit “Perang Tujuh Hari” (dikenal sebagai “an nakbah”) di tahun 1967 di mana negara-negara Arab kalah perang terhadap Israel. Rezim-rezim otoriter di Timteng yang kebanyakan mendukung opsi “tirulah Barat” gagal memenuhi harapan publik, sehingga datanglah kaum Ikhwan dengan jargon besar yang menipu, “Al Islam huwal badil”.
Semboyan Ikhwan itu memupus warisan penting yang ditinggalkan oleh orang-orang semacam Rifa’ah Tahtawi, yaitu warisan rasionalisme. Dengan semboyan itu, dikesankan seolah-olah Islam adalah sistem alternatif yang sama sekali bertolak belakang dengan Barat yang –menurut mereka– “dekaden” secara moral. Islam, dengan demikian, ditampilkan sebagai agama yang memusuhi hasil-hasil penting dari rasionalisme Barat, seperti sistem demokrasi. Mengusulkan Islam sebagai “al badil” adalah kekalahan kedua setelah kekalahan bangsa Arab terhadap Israel.
Memang problem besar yang dihadapi oleh bangsa Arab adalah warisan institusi negara di sana yang begitu raksasa. Kekuatan-kekuatan alternatif dalam masyarakat sulit berkembang, seluruh potensi ke arah pembangkangan diberangus. Hasilnya: negara yang begitu kuat, tetapi sekaligus tak terkontrol. Korban dari “negara kontrol” ini bukan saja kaum oposisi sekuler, tetapi lebih-lebih adalah kaum oposisi Islam.
Inilah pengalaman pahit yang dialami oleh kaum Islamis di Mesir, Al Jazair, Siria, Irak, dan lebih parah lagi Saudi Arabia. Paradoks di dunia Arab adalah bahwa keinginan untuk meniru Barat dan rasionalisme justru diselenggarakan melalui “negara kontrol” yang represif. Sudah bisa diduga jika hasil dari semua ini adalah kekecewan besar masyarakat Arab. Kekecewaan itu makin dalam ketika bangsa Arab melihat kenyataan lain, yaitu berdirinya negara Israel. Masalahnya menjadi lebih parah lagi karena berdirinya negara Isreal itu tejadi karena sokongan negeri-negeri Barat terutama AS. Ujung dari semua ini sudah bisa diduga: menolak Barat berikut rasionalisme yang terkandung di dalamnya. Manakala Barat ditolak, sudah tentu alternatif harus diajukan. Ditemukanlah “lampu Aladin” baru, yaitu Islam.
Perkembangan di Arab itu juga mengimbas ke kawasan-kawasan lain. Jargon “Islam adalah solusi” juga kemudian ditiru di mana-mana. Lalu muncullah ilusi bahwa Islam akan dapat menjadi sistem alternatif yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Yang patut disayangkan adalah bahwa kata “Islam” dalam jargon itu dimengerti sebagai suatu sistem tertutup yang seolah-olah khas pemberian Tuhan, sudah lengkap dalam dirinya, sudah siap pakai, pasti sesuai untuk segala zaman dan tempat. Islam juga dimengerti dalam tafsiran yang justru berlawanan dengan kehendak zaman itu sendiri, bahkan terkesan anti-rasionalisme dan intelektualisme. Saya dapat mengatakan dari sejak mula, proyek “Islam adalah solusi” kemungkinan besar akan menemui kegagalan pula.
Solusi yang harus ditempuh oleh umat Islam sudah dicontohkan oleh Jepang, yaitu meniru Barat, menerapkan rasionalisasi atas kehidupan, dan memodernisir teknik; agama sebaiknya ditempatkan dalam “sanctuary” yang namanya ruang privat. Bahwa Barat harus ditiru secara kritis itu sudah merupakan kebenaran dalam dirinya (truisme). Jepang pun meniru Barat dengan kritis pula.
Apa yang dibutuhkan umat Islam sekarang ini adalah melakukan rasionalisasi atas dua bidang sekaligus. Pertama, rasionalisasi atas pengelolaan kehidupan sosial-politik. Wujudnya adalah sistem demokrasi dengan seluruh kerangka kelembagaan dan kebudayaan yang ada di dalamnya: partai yang kuat, parlemen yang berwibawa, lembaga peradilan yang independen, pers bebas, masyarakat sipil yang “vibrant”, serta kultur sipil yang mapan. Yang kedua, rasionalisasi atas pengelolaan alam. Wujudnya adalah teknologi. Bagi saya, rasionalisasi dalam dua bidang itu sekaligus merupakan hal niscaya kalau umat Islam hendak meraih kemajuan seperti yang diperoleh Barat. Bangsa-bangsa lain di Asia yang sudah mulai “catch up with the wagon” dan mampu meletakkan diri sejajar dengan Barat, kurang lebih menempuah jalur semacam itu.
Sebagian umat Islam ada yang membuat pembedaan antara sistem sosial dan teknik. Dalam lapangan pertama, umat Islam harus menciptakan sistem sosial sendiri yang “asli” Islam, sementara dalam lapangan kedua Barat bolehlah ditiru. Artinya: rasionalisasi dalam sistem sosial tidak dihindari; rasionalisasi hanya dimungkinkan dalam segi teknik.
Taqiyyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, membedakan antara “madaniyyah” dan “hadlarah”. Madaniyyah adalah peradaban yang meliputi teknik; hadlarah adalah kerangka normatif dan sistem sosial yang mengatur kehidupan masyarakat.. Barat bisa diterima pada level “madaniyyah”, bukan pada level “hadlarah”. Bagi saya, pembedaan semacam ini adalah pembedaan yang kurang perlu. Bagi saya, rasionalisasi justru lebih mendesak dalam bidang pengelolaan kehidupan sosial.
Apa gunanya umat Islam menguasai teknik, kemudian teknik itu diterapkan dalam kerangka sistem sosial yang otoriter. Osama bin Laden menguasai teknologi komunikasi Barat yang paling mutakhir, memanfaatkannya, tetapi dia mengajukan visi tentang sistem sosial Islam yang sama sekali tidak rasional, yaitu sistem sosial yang eksklusif, anti-demokrasi.
Saya tidak mempunyai harapan pada dunia Arab. Sistem sosial di sana begitu busuknya, sehingga amat susah membayangkan adanya perubahan dan reformasi dalam waktu dekat. Halangan terbesar kemajuan Islam via jalan rasionalisasi di Timur Tengah adalah kekuasaan dua rezim” sekaligus: rezim politik yang bengis, dan rezim agama yang tak kalah bengisnya.
Kedua rezim itu saling bergandengan tangan dan menolak segala kemungkinan perubahan. Saya mengharapkan “light at the end of tunnel” di kawasan Asia Tenggara, dengan tulang punggungnya Malaysia dan Indonesia. Jalan kemajuan Islam sudah terang benderang: modernisasi di bidang sistem sosial dan teknik. Kendala utama proyek ini adalah ide-ide irrasional semacam negara Islam, sistem Islam, dan yang serupa dengan itu.
Kembali pada pokok soal: rasionalisasi dan menempuh kemajuan seperti yang pernah ditempuh oleh Barat. Itulah kunci kemajuan dunia Islam Melayu. Yang amat saya sayangkan adalah bahwa “anti-Baratisme” sekarang ini berkembang luas, entah yang atas nama anti-globalisasi, poskolonialisme, dan sebagainya. Teman-teman saya yang sedang getol menggeluti teor-teori baru dalam “Cultural Studies” begitu terlelap dalam keterpukauan atas segala hal yang bersifat lokal dan hibridal: hal-hal yang memang menjanjikan eksotisme.
Nasihat saya: tundalah dulu kehendak untuk menikmati eksotisme, dan pikirkan nasib jutaan umat Islam di kawasan Melayu yang terpuruk dalam kemunduran, dan karena itu begitu mudah menjadi santapan “ideologis” bagi kaum Jama’ah Islamiyah. Bagi saya, modernisasi di dunia Islam sekarang ini belum tuntas. Solusi atas modernisasi yang setengah hati ini sudah tentu bukan kembali kepada agama, tetapi justru dengan cara menyempurnakan tahap-tahap modernisasi yang sudah tertunda (Catatan: harap modernisasi di sini dimengerti bukan dalam pengertian “proyek modernisasi” atau “developmentalisme” tahun 60-an yang digalakkan oleh Amerika untuk menghadapi Komunisme; tetapi modernisasi seperti makna asal kata itu: yaitu proses modernisasi kehidupan sosial dan teknik dengan cara rasionalisasi, pengertian yang lebih dominan di Eropa).