Home » Gagasan » Pembaruan » Wacana-Wacana Yang “Menggelisahkan” Umat
Abdulkarim Soroush, pemikir Iran.

Wacana-Wacana Yang “Menggelisahkan” Umat

4.71/5 (48)

IslamLib – Pemandangan umat Islam yang menikmati pengajian dengan khusyuk, kadang disertai dengan isak tangis, sering kita lihat sekarang. Ada satu dua ustadz yang keahliannya ialah membuat umat meneteskan air mata haru. Dakwah yang bisa meneteskan air mata ini biasanya lebih disukai ketimbang dakwah yang membuat dahi umat harus berkernyit. Umat lebih suka dakwah yang membuat mereka terharu ketimbang dakwah yang memaksa mereka berpikir keras.

Ini sebetulnya gejala yang wajar saja. Sebagian besar umat beragama membutuhkan agama sebagai sarana untuk meraih ketenangan batin. Kelahiran agama mungkin juga berkait dengan kebutuhan manusia dahulu untuk mencari jawaban atas teka-teki alam agar mereka merasa tenang. Manusia membutuhkan keterangan/penjelasan agar rasa penasaran mereka terpuaskan. Sebelum sains ditemukan, agama memberikan penjelasan yang, untuk sementara, cukup memuaskan dan menenangkan.

Agama juga dibutuhkan manusia untuk menjaga semacam “rasa keteraturan”, sense of order. Dengan aturan moral dan etisnya yang dipercayai sebagai berasal dari Sang Pencipta, agama mmemberikan kepada masyarakat manusia yang mempercayainya suatu kepastian, keteraturan.

Sebelum dtemukan hukum positif modern yang dilahirkan di parlemen, hukum agama adalah satu-satunya alat pengendali sosial agar masyarakat hidup teratur, tidak saling mengganggu satu terhadap yang lain. La darara wa ala dirara, kata sebuah hadis. Tak boleh mencelakai orang lain. Itulah hukum moral agama yang menjamin keteraturan dan stabilitas sosial.

Jadi, kehendak mayoritas umat agar agama memberikan ketenangan adalah hal yang wajar sama sekali. Tetapi menurut saya, ini baru setengah cerita. Ini baru setengah gambar. Bagian yang lain yang juga penting ialah bahwa umat perlu juga wacana yang “menggoncangkan” ketenangan mereka. Umat perlu wacana yang memberi keseimbangan terhadap wacana umum yang menenangkan. Umat perlu wacana alternatif yang membuat mereka terbangun dari “comfort zone”, daerah nyaman, dan berpikir ulang.

Biasanya, wacana-wacana yang “menggoncangkan iman” ini adalah wacana kritis yang dikemukakan oleh para intelektual yang bersikap skeptik terhadap tradisi yang mapan. Dalam sejarah Islam, kehadiran intelektual semacam ini selalu ada dari waktu ke waktu. Mereka mungkin disebut mujaddid/pembaharu atau muslih/reformer. Bagi para detractor atau lawan-lawan mereka, kaum skeptik terhadap tradisi yang mapan ini tidak disebut sebagai mujaddid/pembahatu, tetapi mubaddid atau perusak tradisi.

Memang benar, mereka ini adalah mubaddid, orang yang mencerai-beraikan wacana dan pandangan yang telah mapan dalam umat. Mereka ini melemahkan kaum ortodoksi, kaum yang menjaga doxa atau ajaran yang lurus. Karena itulah mereka, pada mulanya, dimusuhi dan dibenci oleh kaum yang terakhir itu. Ini pun sesuatu yang wajar, sebab siapa yang tak membenci orang-orang yang mempertanyakan pemahaman yang sudah lama dipercayai oleh umat?

Tetapi, umat seringkali lupa bahwa apa yang mereka sebut sebagai wacana yang “menenangkan” hati itu pada mulanya adalah sesuatu yang menggoncangkan tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat. Seperti sabda Nabi, Bada’a al-Islamu ghariban. Islam dimulai sebagai gagasan yang asing, aneh, abnormal, dan karena itu dimusuhi oleh masyarakat.

Tetapi, pelan-pelan, gagasan yang semula gharib, asing, itu kemudian diterima luas oleh masyarakat dan jadilah ia wacana yang menenangkan hati dan pikiran. Di mata orang-orang Mekah yang memusuhi dakwah Nabi, Islam tentu saja dipandang sebagai “heterodoksi” atau bidaah yang menyimpang dari tradisi yang sudah mapan. Tetapi, setelah menjadi paham yang diterima dan dipeluk luas oleh masyarakat Arab, Islam beranjak dari paham heterodoks menjadi ortodoks.

Amin al-Khuli (w. 1966), pemikir pembaharu dari Mesir, dalam bukunya Manahij al-Tajadid, menulis paragraf yang sangat menarik seperti ini: Tu’addu al-fikratu hinan ma kafiratan tuharramu wa tuharabu,thumma tushbihu ma’a al-zaman mazhaban, bal ’aqidatan. Suatu gagasan, kata al-Khuli, pada suatu masa dianggap sebagai paham yang kafir, dan dimusuhi. Tetapi setelah waktu berlalu, ia menjadi mazhab, bahkan aqidah yang diikuti banyak orang.

Ini semacam hukum sosial yang berlaku dalam segala lapangan hidup. Kerapkali kita menyaksikan buah pikiran yang cemerlang yang dimusuhi pada suatu waktu, tetapi belakangan menjadi paham yang dominan. Kita kerap mendengar ada seorang pengarang pemula yang datang dengan buku yang hebat, seperti karir awal J. K. Rowling, tetapi ditolak oleh banyak penerbit karena dianggap tak akan diterima oleh “umat”, yaitu konsumen. Belakangan, buku itu diterbitkan oleh penerbit yang “nekad” dan meledak menjadi “best seller”.

Yang menarik adalah terusan hadis yang sudah saya sitir di atas. Islam, kata Nabi, bermula sebagai gagasan yang gharib atau asing. Kelanjutan sabda Nabi itu juga penting: Dan pada suatu saat, Islam akan menjadi barang dan gagasan yang asing lagi seperti pada permulaannya. Wa saya’udu ghariban kama bada’a.

Pengertian umum hadis ini ialah Islam akan menjadi agama yang asing di tengah-tengah masyarakat seperti pada awal dakwah Nabi di Mekah pada abad ke-7. Menurut saya, pengertian semacam ini tidak masuk akal. Sekarang ini Islam sebagai agama bukan gagasan dan barang yang asing. Ia makin diikuti oleh milyaran orang. Buku-buku tentang Islam dicetak dan beredar di pasaran dalam jutaan eksemplar. Bagaimana mungkin Islam yang seperti ini disebut “gharib” atau asing?

Menurut saya, pengertian yang lebih tepat untuk hadis itu ialah: Islam akan menjadi gagasan yang asing lagi pada suatu zaman, yakni Islam sebagaimana ditafsirkan oleh para pembaharu Islam yang membawa gagasan baru. Islam semacam itu dianggap asing bukan oleh orang di luar Islam, melainkan oleh umat Islam sendiri. Wacana yang tak menenangkan umat karena membawa paham yang berbeda memang akan dianggap asing, menggelisahkan. Karena itu ia dimusuhi. Sebagaimana Islam di awal karirnya dulu juga dimusuhi.

Kenapa para pembaharu itu membawa wacana yang asing tentang Islam? Saya kita jawabannya adalah sederhana: Sebab, Islam perlu dibaca ulang, ditafsirkan kembali agar nyambung dengan konteks yang sudah berubah. Tetapi, resikonya memang gagasan semacam itu akan ditentang oleh banyak orang, sebab dianggap gharib, asing, persis seperti disabdakan Nabi itu. Saya kira, inilah pengertian yang lebih tepat dan masuk akal tentang hadis yang populer itu.

Dengan kata lain: umat perlu dua wacana sekaligus. Wacana yang menenangkan hati, dan wacana yang menggelisahkan dan menggoncangkan pikiran dan hati mereka. Jika umat hanya disuguhi wacana yang hanya bisa membuat air mata menetes, akibatnya ialah stagnasi dan kejumudan.

Stagnasi ini hanya bisa dicairkan dengan wacana yang bisa membuat umat resah, gelisah, berpikir ulang. Saya melihat, tokoh-tokoh Islam yang memproduksi wacana yang menenangkan seperti ini sudah surplus, kelebihan supply. Yang masih kurang ialah yang berperan sebaliknya: memproduksi wacana yang menggelisahkan. Ini adalah tantangan umat Islam sekarang![]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.