IslamLib – Sudah lama saya tidak membicarakan Tuhan. Juga selalu menunda untuk memikirkan-Nya. Saya lebih tergoda untuk membicarakan agama dengan segala persoalannya daripada mengkaji Tuhan. Saya sibuk berkutat dengan peristiwa duniawi, tetapi tidak mau singgah pada wilayah yang esensial: Tuhan.
Saya kira, banyak orang yang mengalami hal serupa dengan yang saya alami. Seringkali kita begitu intens mengamati peristiwa tertentu yang berkaitan dengan satu atau banyak agama, sehingga lupa meninjau kembali pemaknaan kita tentang Tuhan.
Kini dunia sedang ribut mempersoalkan Arab Saudi dan ketamakannya dalam penyelenggaraan haji, tetapi lupa pada persoalan yang lebih substansial: dari mana esensi haji itu berasal.
Saya akan mengatakan, nampaknya haji berasal dari Tuhan. Sebab apa yang dipercayai sebagai perintah haji termaktub dalam sebuah buku yang juga dipercayai berasal dari Tuhan.
Perhatian kita terus disibukkan oleh soal haji ini. Di media-media utama ataupun media sosial, percakapan haji lebih banyak menyinggung soal Arab Saudi dan pangeran-pangerannya yang kontroversial. Soal pertengkaran Syiah dan Sunni. Soal kapan pelaksanaan ibadah haji yang ideal. Dan seterusnya.
Tidak ada pembicaraan: Siapa Tuhan yang telah memerintahkan ibadah jenis ini? Mengapa Dia mengeluarkan perintah tersebut? Apakah Tuhan benar-benar menghendaki manusia saling memaki, saling memfitnah demi sebuah ritual yang dipercayai sebagai bentuk ibadah terhadap-Nya?
Jika benar, masihkah Tuhan seperti ini akan bertahan hingga lima puluh tahun, atau bahkan sepuluh tahun dari sekarang? Saya kurang begitu yakin.
Sejak kecil saya diajarkan untuk takut terhadap Tuhan, bukan cinta. Ah, malahan cinta dalam agama saya asing bunyinya. Seringkali tabu. Dikekang. Cinta dilekatkan dengan erotika, cemar. Ajaran para sufi yang mengutamakan cinta dianggap menyimpang, sesat.
Bukan hanya dalam agama, tetapi dalam tradisi kesukuan saya pun demikian. Jika ada orang menikah di kampung saya, doa yang dipanjatkan bukan: semoga cinta Anda abadi dan saling melengkapi. Tetapi lebih seperti ini: mudah-mudahan bagja (bahagia), banyak anak dan rejeki.
Kata cinta hampir tak pernah diucapkan. Seolah ada halangan, atau memandang kurang perlu untuk menjadikan cinta sebagai dasar dari sebuah ikatan pernikahan. Begitu juga dalam bertuhan.
Saya diajarkan untuk bergelut dengan Tuhan melalui agama. Benar-benar bergelut, bukan bercinta. Karena agama menghendakinya demikian.
Sedari kecil, sejak ayah saya mengajarkan kitab-kitab kuning (yang sudah saya lupakan namanya karena tidak begitu peduli), saya memahami agama sebagai bentuk manut saja terhadap orangtua. Sehingga, ketika menemukan sebuah ajaran yang bertentangan dengan mata batin, saya hanya bisa bilang: “Mengapa Tuhan?”
Tidak ada kelanjutan apa-apa. Sebuah ekspresi kekecewaan yang dikekang untuk mengemuka hingga pada detil.
Lalu di pesantren, masih dengan itikad manut itu, perasaan saya kemudian berkembang pada sebuah kebanggaan. Bangga ketika saya mampu menjuarai hafalan sebuah kitab tipis berbahasa Arab, mengalahkan puluhan santri lainnya. Lagi-lagi saya lupa nama kitab itu, sudah enam belas tahun yang lalu soalnya.
Kejumudan ini juga pembentang jarak antara saya dengan Tuhan.
Ketika memasuki Madrasah Aliyah (SMA), manut dan jumud masih ada, namun yang lebih kental adalah rasa takut. Takut saya tidak lulus jika tak berhasil menghafal delapan juz Alquran (yang sebagian besar sudah saya lupakan bunyinya), sebagaimana diwajibkan oleh sekolah saya yang bercorak keagamaan teramat kental itu.
Sampai di sana, saya hampir tak merasa dekat dengan Tuhan. Yang saya rasakan, saya lebih dekat kepada agama, Nabi, ulama. Bukan terhadap Tuhan.
Anda tahu, saya baru bisa bergaul dengan Tuhan saat terbebas dari orang atau aturan yang menentukan saya harus seperti apa dalam beragama. Saat saya benar-benar terpisah dari orangtua. Bukan hanya dalam pengertian jarak, melainkan terpisah dari segala bentuk ketergantungan berpikir. Saat saya tidak peduli pada prestasi sekolah. Saat saya tidak dituntut mempelajari ini-itu. Saat saya bebas memilih buku mana yang mau saya baca.
Bergaul dengan Tuhan kemudian tak ada bedanya seperti bergaul dengan kekasih bagi saya. Terkadang kami bermesraan. Tetapi sering juga kami bertengkar.
Biasanya saya akan lari membaca buku-buku para filsuf yang skeptis terhadap Tuhan jika kami tengah bertengkar. Meski begitu, hati saya selalu terpaut kepada-Nya. Terkadang tanpa menyadarinya, ada banyak spontanitas yang saya ucapkan atau lakukan, mencerminkan hubungan dekat saya dengan-Nya.
Seringkali, seperti ketika mencintai seseorang, saya seolah melihat Tuhan di manapun, pada apapun. Meski hanya pada secangkir kopi pahit. Jika sudah begitu, saya tahu sedang dilanda rindu. Maka saya akan menghampiri-Nya dengan melakukan salat.
Tetapi, pada masa-masa percintaan saya dengan Tuhan melalui salat, saya tidak pernah mencapai orgasme. Sebab apa? Karena cara kami bercinta masih ditentukan oleh banyak aturan.
Pikiran saya selalu teralihkan oleh aturan-aturan itu: bagimana cara sujud yang benar? Bagaimana cara melafalkan doa-doa salat? Ah, ini bahasa orang Arab, bukan bahasa saya. Bagaimana mungkin saya bisa menikmati jika kata-kata yang keluar di tengah percintaan (yang biasanya menjadi bumbu paling manis dalam bercinta) adalah kata-kata yang harus saya pikirkan terlebih dulu maknanya?
Akhirnya hubungan saya dengan salat berakhir. Saya mengira dengan begitu hubungan saya dengan Tuhan telah benar-benar berakhir pula. Tetapi tidak rupanya. Sebab, jejak Tuhan yang terlalu banyak dan dalam pada diri saya tidak bisa serta-merta dihapus. Selama lebih dari dua puluh tahun saya hidup dengan-Nya. Saya hidup di dalam-Nya.
Memang saya sempat begitu apatis. Bahkan saya pernah sampai membenci. Bagaimana tidak? Tuhan yang saya cintai memancing perang di banyak tempat. Tuhan yang saya rindui mendorong manusia membuas terhadap manusia lainnya. Tuhan yang saya agungkan membuat banyak manusia menanggalkan anugerah terbesar yang dimilikinya: akal.
Namun, lantas saya sadar: sebuah kebencian menandakan adanya sisa-sisa perhatian terhadap apa yang dibenci tersebut. Benci adalah cara ekstrim dalam mencintai. Karena dia ekstrim, maka tak ada manfaat baik daripadanya. Cinta yang agung ketika diterjemahkan dalam sikap kebencian maka maknanya terus meluntur.
Kesadaran akan sisa-sisa cinta yang saya miliki terhadap Tuhan mendorong saya untuk kembali mendekat pada-Nya.
Bukan dengan cara-cara yang naif seperti dulu. Bukan dengan cara kekanak-kanakkan sebagaimana ABG jatuh cinta yang selalu ingin menempel, jalan bareng dan menyebut-nyebut nama kekasihnya. Bukan juga seperti mereka yang ingin bercinta dengan gaya yang sama sebagaimana orang lain bercinta.
Saya bentangkan jarak dengan cara demikian.
Saya dekati Tuhan melalui diri sendiri. Melalui cara saya sendiri. Saya tidak membutuhkan perantara semacam agama atau apapun itu untuk meresmikan hubungan saya dengan Tuhan. Dan memang tidak perlu juga diresmikan. Cinta hanya akan abadi ketika hal-hal semacam peresmian tidak menodai ketulusannya.
Lalu bagaimana bentuk hubungan saya dengan Tuhan?
Saya tidak akan menerangkannya kepada Anda. Sebab ini adalah wilayah privat saya. Cinta saya. Hanya saya dan Tuhan yang tahu bagaimana cinta kami berkomunikasi.
Sebagaimana terhadap pasangan kekasih, tidak pantas jika Anda bertanya sampai hal detil terkait gaya bercinta mereka. Kecuali jika Anda benar-benar ingin mempelajarinya. Tetapi tak ada gunanya juga menyontek. Sebab, meniru gaya bercinta orang lain hanya akan menyangsikan kemampuan Anda sebagai pecinta.
Pengalaman bercinta dengan Tuhan adalah pengalaman yang sangat personal, unik. Semua orang mestinya memiliki cara sendiri-sendiri. Sebuah cara yang indah dan mampu mengalirkan energi cinta.