IslamLib – RUU APP yang telah mengalami revisi menurut rencana akan disahkan bulan Juni ini. Salah satu yang bersuara lantang menolak pengesahan RUU itu adalah Komponen Rakyat Bali (KRB), yang bahkan sempat mengancam akan keluar dari NKRI. Berikut perbincangan Nong Darol Mahmada dan M. Guntur Romli dari Kajian Islam Utan Kayu dengan Cok Sawitri, seniman yang menjadi salah satu penggerak KRB, pada 15 Juni 2006 yang lalu.
Mbak Cok Sawitri, bagaimana kondisi sekarang ini di masyarakat Bali setelah pro-kontra RUU APP?
COK SAWITRI: Kondisi di Bali baik, jadi kalau akhir pekan mau liburan silakan. Semua bentuk penyikapan kami adalah dalam proses aksi budaya. Kami tidak punya tradisi kontroversi, tapi selalu dengan jenana, berdasarkan dialog yang panjang antara orang tua dan komponen masyarakat. Sampai sekarang sikap masyarakat Bali masih menolak total terhadap draf RUU APP, yang direvisi sekalipun.
Yang kami sebut komponen rakyat Bali adalah forum cair yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan tidak berstruktur, sekalipun ada tim intinya. Aksi budaya ini sebenarnya adalah sebuah penyadaran bahwa dalam demokrasi itu–masyarakat Bali dididik dalam rwa bhinida namanya– yang hitam itu belum tentu hitam benar, yang putih itu belum tentu putih benar, pasti ada abu-abu dsb. Tidak harus marah ketika ada perbedaan pendapat, tidak harus berprasangka, harus didialogkan.
Sebenarnya masyarakat Indonesia belum paham masyarakat Bali itu seperti apa, karena kan yang dikenal daerah obyek wisata, masyarakatnya ramah, suka nari, suka senyum dsb. Kami kan berdasarkan Syiwa Budha yang kemudian disebut Hindu Bali itu, kemudian Prof. Mandre yang memberikan nama Hindu Darma.
Sebenarnya Hindu di Bali berdasarkan konsep Syiwa Budha itu. Di situ jelas sekali toleransinya pun berbeda. Kalau dalam konsep toleransi Barat misalnya kalau kamu mau dikasih 4 kamu akan kasih 4. Tapi kalau orang Bali itu ngasih 4 bisa nggak dapat apa-apa, yang penting untuk kepentingan. Makanya orang Bali itu terkenal malas ngomong, penurut, apa saja program dari pusat Bali pasti nomer satu. Posyandu, Adipura, macam-macam..
Jadi selalu ada proses dialog. Dan kami menyadari pasti ada rwa bhinida. Bali punya konsep demokrasi lokal yang bagus, yang disebut dengan desa kala patra. Desa itu wilayah, kala itu waktu dan patra itu cara pandang. Nah, di cara pandang ini seorang sarjana pasti berbeda bicaranya dengan seseorang yang pengalamannya tidak dalam pendidikan akademik.
Atau dia seorang petani akan beda kepentingannya. Di situ yang harus didialogkan dan mayoritas itu bukan kebenaran. Di situ akan ada selalu patra keputusan tafsir bersama, kebijakan, himbauan dsb, belum tentu bagus berlaku di daerah lain di Bali. Bali itu terdiri dari 9 kabupaten dengan 3400 desa adat.
Itu berarti dari bawah ke atas prosesnya itu?
Ya, sama dengan penolakan terhadap RUU APP, inisiatifnya selalu dari masyarakat dan tidak dalam bentuk hura-hura atau polemik dulu. Kami duduk bersama dulu, ada diskusi panjang, mempelajarinya, bahkan mengundang ahli.
Apa alasan utama penolakan itu?
Kami menolak karena sosial religius, spirit yang berbeda. Karena kalau diperhatikan dengan serius, draf RUU APP itu paradoks sekali dan akan menjebak ketika pelaksanaannya. Kalaupun diperbaiki, ia memerlukan kajian akademis yang serius dan itu memerlukan waktu.
Dan dari segi hukum, bukankah kita punya KUHP UU Pokok Pers, Dewan Pers, dan kita tahu ada konsekuensi ketika kita bicara pornografi? Tentang pornoaksi yang saya rasa secara leksikal kata baru, dan perlu definisi. Sebuah definisi itu bukan hanya mengartikan pemikiran kita aja, tapi perlu kajian yang panjang juga.
Dan kita tahu secara sejarah pun pornografi selalu mengalami kontroversi. Tidak bisa juga dikatakan bahwa Bali kemudian pro-pornografi, tidak seperti itu. Karena di dalam draf RUU APP itu kan justru mengizinkan secara legal meskipun dengan alasan pendidikan dan kesehatan. Ada pasal yang justru mengizinkan pemerintah menunjuk badan tertentu.
Masyarakat Bali memiliki tarian yang dinilai sangat erotis. Mungkin Anda bisa menjelaskan posisi tarian-tarian yang seperti itu?
Jangan melihat dulu ke Bali. Kalau Anda tahu, tari Asia secara umum memang berbeda pakemnya dengan tari Eropa. Pada dasarnya dari Sabang sampai Merauke, dasar dari komposisi gerak kita adalah berpijak di kaki dan mengembangkan tangan, hanya Bali punya kelebihan di gerak mata.
Begitu konsekuensi berpijak di kaki badan bergerak, tangan berkembang itu pasti bergoyang. Erotika dalam tari itu yang mana? Nah, katakan tari srimpi, barisan itu bahkan dari gerakan pencak silat misalnya, karena itu konsekuensi berpijak tangan bergoyang mengembangkan tangan itu.
Nah, kalau misalnya berbicara tentang porno pasti beda. Porno dalam pengertiannya itu kan eksplorasi dalam konteks pelacuran, ini saya ambil dari leksikologi yang berlaku. Erotika itu kan sebetulnya yang negatif, karena kalau di dalam dunia lukis, dunia seni erotika kadang-kadang menjadi poses pencarian dari teman-teman seniman, bukan untuk mengundang birahi.
Erotika dalam pengertian yang lain itu mungkin bisa diartikan sebagai yang mengundang birahi. Kita harus terbuka kalau ada yang mengartikan seperti itu, karena tidak ada kesepakatan untuk itu. Persoalannya kan kita itu mempersoalkan sebuah tubuh, kapan tubuh ini menjadi perangsang dan kapan tidak.
Nah, ketika dia dalam aktivitas yang berkaitan dengan obyek seni, menjadi aneh karena bahasa erotika dalam bahasa seni beda. Ini yang sebetulnya menurut saya memerlukan penjelasan, karena mohon maaf saja di Bali dari pagi hingga malam berkesenian.
Dan peristiwa tari itu tidak hanya di gedung tarian tapi juga di halaman rumah, di gedung dsb. Semua ekspresi kami itu kesenian, jadi kalau misalnya nanti tanpa suatu pengertian yang dalam proses kreatif seni, tanpa mengerti bagaimana dunia tari, bagaimana mengerti dunia lukis dsb.
Yang menjadi dasar pengertian masyarakat Bali, RUU APP ini bukan menghalangi proses kesenian sebetulnya, tetapi proses kreatif. Dan tentu saja itu ada ruang bhinida ya, ada yang gila-gilaan, ada yang eksentrik dsb, tapi itu kasuistis. Tapi pada umumnya kreativitas pasti memerlukan jiwa merdeka itu, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan rasa dsb. Bukan tanpa batas, tapi pasti memerlukan jenana.
Indonesia punya banyak tarian. Ada Jaipongan, Tokek, dsb. Sementara Pemda menghidupkan supaya budaya itu tidak lenyap, tapi satu sisi itu mau dimusnahkan karena dianggap porno. Apa pandangan Anda?
Kami menolak RUU APP dengan sebuah kesadaran sejarah. Kita bisa punah ketika kebudayaan kita hilang. Prof Bandem bersama Wayan Juniata dan Marlo sempat melakukan riset soal itu. Karena itu sungguh benar apa yang dibilang: kita jangan main-main untuk penghilangan kebudayaan-kebudayaan, ekspresi-ekspresi masyarakat.
Bagi kami, moralitas itu kan sebetulnya kesepakatan sosial. Moralitas itu nggak bisa disamain dari satu daerah ke daerah yang lain. Kalau di Bali hanya ibu saja lho yang boleh memaki anaknya, yang paling kasar. Kalau orang lain itu akan menjadi komunal dan marah, dia siapa? Sekalipun pemerintah itu nggak boleh, ini saya memakai perspektif orang Bali.
Bagaimana Bali melihat perempuan?
Ibu itu penting sekali bagi kami, karena pura yang paling ditakuti disebut Paibon, nama Ibu. Dan di Bali ini sangat gender spiritual, dengan Syiwa Budhanya, karena dalam konteks Syiwa Budha ini yang paling dekat dengan kita, itu ada namanya tahap ardana prameswara, di mana Tuhan itu tidak laki-laki dan juga tidak perempuan.
Dan ardana prameswara ini dalam konteks taksu yang berkaitan dengan kesenian itu dialah penari kosmis yang selalu bekerja. Oleh karena itu laku seorang seniman itu adalah meniru sang pekerja kosmik itu. Jadi sebetulnya masyarakat Bali itu dia otomatis akan selalu mengekspresikan dirinya seperti yang diajarkan itu.