IslamLib – Saya bukan ulama, ahli agama atau orang yang berlatarbelakang pendidikan di kampus-kampus agama. Saya hanya seorang petualang. Dalam beberapa tahun terakhir, saya berjalan menapaki sejumlah tempat. Mungkin saya bisa dikatakan musafir. Meskipun demikian adanya, saya meminta izin untuk diperbolehkan bersuara walau pelan dan berbisik.
Begitulah, saya berjalan, mencari dan menggali terus ke dalam diri untuk mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan yang menumpuk dalam pikiran. Waktu dan tempat pun membawa saya untuk masuk lebih dalam ke relung jiwa. Entah benar atau tidak cara yang saya terapkan untuk diri ini.
Saya pun menemukan bacaan yang menuliskan begini, “Menurut Hadits Qudsi : Di dalam setiap rongga anak Adam, AKU ciptakan suatu mahligai yang disebut dada, dalam dada ada kolbu, dalam kolbu ada fuad, dalam fuad ada syagofa, dalam syagofa ada sir, dalam sir ada AKU, tempat AKU menyimpan rahasia.”
Saya kemudian mencoba membaca lebih jauh lagi, dan ternyata dalam Islam ada ilmu yang dinamakan Tasawwuf (Ilmu mendalami ketakwaan kepada Allah SWT). Mereka yang mendalami ilmu ini dinamakan Sufi. Walau demikian, bukan saja Islam yang memiliki ‘cara’ untuk ‘menemui’ Tuhan dan mendapatkan jawaban atas rahasia-rahasiaNya, namun agama lain juga menerapkan hal yang sama.
Sebagaimana Imam Jamal Rahman dalam bukunya “Tiada Sufi Tanpa Humor”, menyatakan bahwa sejumlah pemeluk agama lain yang mempraktikkan spiritualitas sufi juga menyebut diri mereka sebagai sufi.
Kemudian, saya juga membaca tentang Al Ghazali yang pernah berkata bahwa kita harus melalui jalan yang ditempuh oleh para sufi. Yaitu bersihkan hati serta istirahatkan pikiran melalui kontemplasi dzikir dan meditasi agar bisa mencapai tahap fana (peniadaan diri) dan kasyaf (kemampuan melihat atau mengetahui perkara ghaib).
Kata Al Ghazali, para sufi melakukan pendakian atau mi’raj tingkat demi tingkat melalui Cahaya demi cahaya, demi mencapai Cahaya Sejati, Cahaya Allah. Cahaya Allah adalah Energi Sejati.
Seperti halnya pesawat ruang angkasa yang lepas landas, maka perlu roket pendorong yang kuat. Demikian juga bila kita ingin melakukan pendakian spiritual melalui Cahaya demi Cahaya maka diperlukan energi atau Inner Power yang kuat.
Begitulah kira-kira. Tapi dalam tulisan ini bukan hal itu yang ingin saya bahas, karena saya yakin banyak dari para pembaca lebih paham dari pada saya. Sejujurnya saya tergerak untuk memaparkan pandangan saya tentang mereka yang telah berhasil masuk ke dalam ‘sir’ yang dituliskan Hadist Qudsi di atas.
Saya yakin, mereka yang telah ‘bertemu’ Tuhan di dalam dirinya dengan cara mempraktikkan spiritualitas, maka akan memiliki segudang persepsi dan jawaban atas segala yang terjadi di alam semesta ini. Nah, itulah inti dari apa yang ingin saya coba tuliskan di sini.
Sebagian umat dan beberapa ulama sering berpandangan bahwa pernyataan tentang Tuhan dan agama yang digerakkan oleh sufi atau orang yang mendalami spritual adalah sesat. Sebagian umat manusia menjadi bingung, dan beberapa ulama melawan. Begitu seterusnya sampai saat ini.
Ya, kalau para sufi dan mereka yang juga mempraktikkan spiritualitas dalam dirinya menjabarkan tentang ‘pertemuan’ dengan Sang Pencipta, maka tidak ada kata-kata lagi untuk kehidupan Bumi yang sementara ini. Anda yang telah ‘masuk’ mungkin paham.
Selanjutnya, itulah yang jadi persoalan sekian lama sejak peradaban manusia yang telah mengenal agama dan kemudian bergulir menuju peradaban modern seperti sekarang ini. ‘Biang’nya adalah persepsi dari hasil praktik spiritual.
Kok bisa? Ya, karena apa yang didapatkan oleh umat yang mendalami ilmu Tasawwuf, penggalian spiritual atau apapun namanya untuk ‘menemui’ Tuhan adalah pengalaman personal mereka masing-masing.
Mereka masuk ke dalam ‘sir’, kemudian menikmati cahaya sejati (Cahaya Allah), dan selanjutnya mereka menemukan rahasia-rahasia kehidupan alam semesta.
Seringkali terjadi, bentuk dari jawaban-jawaban atau rahasia-rahasia Allah yang mereka terima tersebut tidak mampu untuk diterima oleh tatanan, ajaran atau persepsi yang telah dibulatkan sejak lama. Ujung-ujungnya terjadi kisruh dan debat tak bertepi.
Namun, jika si manusia bukanlah seorang ulama, tokoh agama atau orang yang berlatar belakang pendidikan kampus agama, maka tidak ada kekisruhan. Manusia itu hanya akan dianggap gila.
Di sisi lain, jika pemikiran dari seorang sufi atau mereka yang mempraktikkan spiritualitas ini dipaparkan secara gamblang ke publik, maka kekisruhan, kebingungan dan salah tanggap akan menjadi efek yang menciptakan gangguang keyakinan para penganut agama. Ini harus jadi pertimbangan.
Misalnya saja seorang sufi berkata bahwa ada kesalahan dari ajaran nabi A atau nabi B. Bagaimana umat menanggapi hal ini? Apakah mendapatkan pencerahan, kisruh atau malah kebingungan yang tidak berujung?
Seperti yang saya sebut di atas bahwa ‘masuk’ ke dalam dimensi Tuhan adalah sebuah pengalaman personal. Dengan kata lain itu adalah percakapan ruh dengan Tuhan secara intim.
Kemudian ada umat yang tertarik dan ingin mempelajari? Tunggulah, ‘masuk’ ke dimensi Tuhan adalah sebuah pengalaman pribadi yang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipelajari. Intinya tetap pada pengalaman pribadi yang berakar dari hati dan harus dirasakan, lalu kemudian terasa jauh larut ke dalam lubuk hati.
Semua tetap pada batas-batasnya. Pertimbangan itu perlu. Mereka yang telah ‘masuk’ ke dimensi Tuhan harus berhati-hati. Bisa saja hal tersebut menciptakan riya atau gerakan untuk menimbulkan gejolak pada umat beragama.
Memang, mereka yang telah ‘masuk’ akan dan telah sangat mengerti tentang arti kehidupan, tetapi bagaimana dengan umat yang masih terikat dengan tatanan, ajaran atau fatwa-fatwa yang sering diucapkan oleh para ulama?
Jujur, saya tidak berpendapat untuk sedapatnya menghentikan suara-suara kebenaran. Cuma, segala ilmu yang teramat dalam apalagi dengan bumbu persepsi semestinya dapat ditakar sebaik mungkin untuk disebarkan ke publik.
Dengan kata lain, ilmu, rahasia atau persepsi yang dipaparkan tentang hakikat kehidupan haruslah berjenjang atau memiliki tingkatan-tingkatan. Makanya para syekh memandu murid-muridnya per tingkat kecerdasan atau kemampuan perjalanan spiritual yang dimiliki.
Satu hal mungkin yang mesti diingat oleh setiap umat manusia bahwa di dalam diri ada serpihan cahaya Ilahi. Keyakinan yang kuat sedapatnya tidak selalu berdasar dari apa yang dipaparkan tokoh, namun alangkah baiknya jika kita mencoba melangkah dan masuk ke dalam relung jiwa atau ‘sir’.
Di sana bersemayam cahaya kedamaian yang akan menuntun langkah di jalan lurus pada perjalanan menuju ‘pulang’.