IslamLib – Mendengar seorang pengurus masjid menyebut namanya, seketika ingatan saya beralih pada sosok Ali Syariati. Mungkin karena ia menerjemahkan buku Syariati “Tugas Cendikiawan Muslim”, atau karena kesamaan perjuangan mereka dalam meruntuhkan tirani yang sedang berkuasa. Ali Syariati melawan rezim Reza Pahlevi (1979) dan sosok reformis ini melawan rezim Orde Baru (1998).
Dari gaya bicaranya tampak jelas wibawa intelektual, ideologi, dan sikap mengayomi-nya. Bahkan jiwa aktivisnya pun masih terlihat. Nada tuturnya memang tak berapi-api, tapi diksi dan materi yang ia kemukakan cukup menghentak, seperti ingin menerobos pelbagai hegemoni.
Adalah Prof. Dr. M. Amien Rais, MA yang memulai khutbahnya (Jumat, 4/9) dengan mencermati konstelasi politik global. Terutama kondisi negara-negara mayoritas Muslim yang kian terpuruk dan hampir ambruk.
Ia menyatakan bahwa kemerosotan dunia Islam itu tak lepas dari faktor internalnya, yaitu keadaan negara dan pola kepemimpinan yang masih lemah.
Di samping itu, faktor eksternal juga turut berperan. Yakni, kekuatan luar yang hendak/telah menindih dan menidas negara-negara Muslim. Mereka berhasil memporak-poranda, menanam hegemoni, dan menjadikan beberapa negara Muslim itu sebagai boneka, terangnya.
Siapakah kekuatan luar itu? Dengan sigap Amin Rais mengutip petuah Ilahi, al-Baqarah 120: wa lan tardhā anka al-yahûdu wa lā al-nashārā hattā tattabi’ millatahum…(orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu hingga kamu mengikuti way of life mereka…).
Kekuatan luar yang ia maksudkan itu ternyata Yahudi dan Nasrani. Menurutnya, tradisi Judeo-Christian yang mengakar di negara-negara Barat akan selalu menghadang kebangkitan Islam. Lihat saja negara-negara Muslim di Timur-Tengah yang semakin tidak jelas nasibnya. Tinggal Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbanyak yang masih berdiri tegak.
Di sini Amien Rais menduga kehadiran skenario besar yang akan melumpuhkan umat Islam. Karena itu, ia mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap ancaman-ancaman dari luar.
Salah satu solusi yang ditawarkannya untuk melawan hegemoni tersebut adalah melalui jihad. Jika tidak, posisi umat Islam selalu berada di bawah kungkungan mereka.
Demikian ringkasan khutbah Amien Rais yang disampaikan lebih-kurang 15 menit itu. Materi khutbah ini, pada dasarnya, tak jauh berbeda dengan opini yang ditulisnya: “Masa Depan Muhammadiyah (1)” di harian Republika (3/8).
Menyimak khutbah Amien Rais tersebut, awalnya saya berharap mendapatkan new insight. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, semakin jauh panggang dari api. Seandainya dibuka sesi tanya-jawab, saya akan mengacungkan tangan segera. Tetapi apa boleh buat, prosesi ritual jumat tak memungkinkan adanya dialog.
Saya pun menyadari, bukan kapasitas saya untuk mengkritisi tokoh sekaliber Amien Rais. Apalagi secara keilmuan ia jauh di atas saya. Oleh karena itu, saya menganggap tulisan ini hanya tanggapan sederhana atas argumen yang ia cetuskan pada khutbah tersebut.
Setidaknya dua tanggapan akan saya ajukan bilamana saat itu dibuka sesi tanya-jawab:
Pertama, Amien Rais mengutip sabda Tuhan tanpa menjelaskan secara mendalam dan rinci (memakai metode tahlili); tiada penjelasan asbāb al-nuzûl; tanpa membahas pemaknaan keberfungsian kata, misalnya, mengapa kata Yahûdu didahului huruf lan, sedangkan al–Nashārā didahului huruf lā. Siapakah Yahudi dan Nasrani tersebut? Apakah ayat itu menunjuk semua orang Yahudi dan Nasrani?
Pendekatan yang ia gunakan dalam memaknai teks hanya ijmālî (global), sebagaimana pola Tafsir Jalalain (karya Jalāl al-Dîn al-Suyûthî dan Jalāl al-Dîn al-Mahallî). Di sini ia secara leluasa menerapkan kaidah, al-Ibroh bi umûmi al-lafāzh lā bi khushûsi al-sabāb, (makna terletak pada keumuman lafaz, bukan pada pengkhususan sebab).
Konsekuensi atas pola ini cenderung mengabaikan asbāb al-nuzûl (konteks sosio-historis kehadiran teks). Padahal Amien Rais salah satu dari tiga pendekar Chicago (di samping Cak Nur dan Buya Syafi’I Maarif) yang sempat mengaji bersama Prof. Fazlur Rahman.
Tentu kita ingat, sang professor adalah pencetus teori double movement interpretation. Sebuah metode tafsir yang berakar pada hermeneutika Emilio Betti. Sederhananya, metode tafsir Rahman menelaah teks, termasuk asbāb al-nuzûl sebagai ‘gerak ke belakang’ dan merekonstruksi makna sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian, atau ‘gerak ke depan’.
Dalam pandangan saya, metode Rahman jauh lebih sophisticated ketimbang pola tafsir yang dipakai Amien Rais. Saya sangat yakin ia sendiri menyadarinya.
Kedua, Amien Rais Nampak terlalu simplistik dalam mengkambing-hitamkan Yahudi dan Nasrani atas keterpurukan negara-negara Muslim. Toh, kalaupun ada dari mereka yang memiliki agenda demikian, bukan berarti semuanya. Mungkin hanya kelompok fundamentalisnya saja. Mungkin. Kita tidak pernah tahu. Generalisasi yang partikular terkesan unfair, menurut saya.
Pernyataan Amien Rais yang menyudutkan dua agama ini, bagi saya, bisa mengancam kerukunan umat beragama. Dapat dipastikan, bila seruannya itu diamalkan oleh masyarakat Islam, maka sikap saling mencurigai dan saling membenci akan semakin berkembang.
Dengan demikian, harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara yang multi-agama ini akan sulit tercapai. Disintegrasi akan semakin meluas dan friksi antar umat beragama semakin tajam.
Saya sempat membayangkan, seandainya di sekitar masjid tempat Amien Rais menyampaikan orasi ruhaniahnya terdapat komunitas Yahudi dan Nasrani, ketegangan antara umat Islam dengan para penganut dua agama ini akan semakin menguat. Bahkan bisa memicu benturan yang mengarah pada kekerasan fisik.
Demikianlah, sementara cendekiawan Muslim seperti Cak Nur selalu mengampanyekan pencarian titik temu (kalimatun sawa’) agama-agama sebagai upaya memperkuat kohesi sosial, lain halnya dengan Amien Rais. Di sini ia cenderung memperteguh titik pisah, bahkan titik tengkar yang nantinya akan memperkeruh tatanan sosial-keberagamaan di Indonesia.
Padahal sebagai negarawan, seyogyanya ia bisa mengayomi semua umat beragama demi terjalinnya harmoni dan kedamaian di negara kita.