Perbincangan tentang toleransi beragama menjadi signifikan dan urgen bersamaan dengan gejala terus mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan Indonesia. Pemandangan ini merupakan tantangan bagi para agamawan kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia (al-tasamuh al-diny al-indonesiy) sehingga hubungan intra dan antarumat beragama yang lebih baik segera hadir bukan fiy adzhan, tetapi fiy a’yan Indonesia.
Persoalannya, ketegangan hubungan antara kelompok agama tertentu dengan yang lain di Indonesia tidak ditentukan oleh satu variabel saja, melainkan hampir selalu muncul dengan beragam faktor, dari faktor sosial, ekonomi, hingga politik.
Bahkan, kekisruhan politik fora internasional terakhir antara negara-negara muslim dan negara-negara Barat yang diwakili Amerika Serikat turut memperkeruh relasi muslim-nonmuslim Indonesia. Tulisan pendek ini akan mengerucut pada pokok soal; bagaimana perspektif Islam tentang toleransi beragama dan bagaimana pula jalan pendaratannya di Indonesia?
Toleransi dalam Islam
Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut al-tasamuh sesungguhnya merupakan salah satu di antara sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ’ammah), keadilan (’adl).
Beberapa prinsip ajaran agama tersebut merupakan sesuatu yang -meminjam bahasa ushul fikih-qath’iyyat dan kulliyat. Sebagai ajaran yang qath’iy, ia tidak bisa dianulir dengan nalar apa pun. Dan sebagai kulliyat, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi waktu dan ruang (shalihatun li kulli zaman wa makan). Pendeknya, prinsip-prinsip ajaran itu bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-keyakinan-agama.
Merupakan kewajiban mutlak setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah tentang prinsip-prinsp ajaran Islam di atas. (Kata Rasulullah, ballighu ’anni walaw ayatan). Sebagai suatu ajaran fundamental, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran.
Alquran berpandangan bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa bahwa Tuhan menciptakan planet bumi tidak untuk satu golongan agama tertentu perse.
Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita’arafuu). Rasulullah Muhammad dilahirkan sebagai rahmat sekalian alam.
Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-akhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri.
Dengan perkataan lain, pemaksaan dalam perkara agama -di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka- juga berlawanan dengan ajaran Islam sendiri. Allah berfirman (QS, al-Baqarah/2:256); “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan”.
Bahkan, Muhammad pernah mendapat teguran dari Tuhan, yang terekam dalam QS, Yunus/10:99, “Maka apakah kamu (Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?”
Menjadi hak setiap orang untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena itu soal pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong.
Tidak adanya perkenan teologis untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum karena Tuhan telah memosisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman fa man sya`a falyu`min wa man sya`a falyakfur.
Sementara sejumlah ketentuan syariat (sering disamakan dengan fikih) seperti riddah, kufr yang oleh sebagian kalangan dikumandangkan sebagai argumen penolakan ajaran toleransi jelas merupakan kesalahan fatal (khatha` jali) dalam meletakkan syariat atau lebih tepatnya fikih itu sendiri.
Artinya, fikih atau syariat tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar, sebagai jalan (syir’ah, shirath) untuk sampai kepada Tuhan. Syariat bukanlah -meminjam bahasa para ahli ushul fikih- ghayah melainkan washilah.
Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah; al-Islam murunatun fiy al-wasa`il wa tsabatun fiy al-ghayat (Islam bersifat lentur-elastis menyangkut sarana pencapaian tujuan dan sangat tegas tentang tujuan-tujuan Islam sendiri). Dus, adalah masuk akal jika syariat setiap rasul Tuhan hampir selalu berbeda-beda mengikuti perbedaan ruang dan waktu.
Konteks Indonesia
Belakangan, kebanggaan toleransi di Indonesia telah luluh lantak oleh deretan kekerasan, yang diakui atau tidak, sangat kental beraroma agama. Bagaimana tidak, dalam realitasnya, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama itu kerap membakar tempat-tempat ibadah, seperti gereja dan masjid. Sudah berapa ribu nyawa yang melayang akibat konflik-konflik agama semacam itu.
Bahkan, dalam perjalanan yang paling kontemporer, gerakan kelompok agamawan tertentu yang mengambil jalan kekerasan di dalam melancarkan misi agamanya telah memberikan amunisi dan saham yang tidak sedikit bagi corengnya wajah agama.
Sudahkah mereka berpikir bahwa tindak kekerasan itu tidak akan menghasilkan keuntungan yang banyak bagi agamanya, melainkan justru kontraproduktif, bahkan menodai wajah agama yang pada era formatifnya sangat santun, damai, dan riang gembira.
Pertanyaannya, bagaimana intoleransi dan kekerasan yang berbau agama itu mesti diakhiri? Dalam konteks pertanyaan tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah yang taktis-strategis. Pertama, merumuskan “juklak” dan “juknis” toleransi beragama dalam lokus Indonesia yang plural tidak bisa ditentukan oleh segelintir orang yang datang dari agama tertentu saja, melainkan harus dirembuk secara kolektif dengan melibatkan semua agama yang ada.
Dalam forum inilah perlu dibicarakan banyak hal menyangkut problem-problem krusial di sekitar hubungan antarumat beragama di Indonesia.
Kedua, perlu memikirkan ulang gugus dan susunan nalar fikih dalam Islam dan hukum kanonik dalam Kristen yang berpotensi sebagai penghambat laju sosialisasi toleransi dan pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam Islam misalnya, sejumlah konsep purba-konvensional seperti murtad, kafir, ahl al-kitab, ahl al-dzimmah, musyrik, perlu mendapatkan pemaknaan baru dan pembacaan kritis di tengah pluralitas Indonesia.
Ketiga, perlu dipersiapkan dai atau misionaris “militan” yang bertugas mendistribusikan secara sinambung cita toleransi beragama dimaksud pada tingkat praksis di level akar rumput. Para elite intelektual yang suka gembar-gembor menyanyikan lagu “toleransi dan pluralisme” harus segera turun dari pentas dengan melibatkankan diri secara nyata dalam gerakan toleransi beragama.
Dengan cara inilah, maka wacana toleransi tidak hanya melingkar-lingkar secara elitis di kalangan intelektual kota, melainkan justru dapat tembus pada masyarakat di bawah. Ini karena disadari bahwa problem toleransi beragama tidaklah bersemayam pada diri para intelektual, tetapi malah di tingkat bawah.
Sungguh, betapa pun “seksi” dan canggihnya sebuah pemikiran dari sudut teologis-filosofisnya jika tidak dapat diimplementasikan secara praksis, maka tidaklah banyak manfaatnya bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia.
Keempat, materi kampanye mesti diarahkan terutama pada bidang-bidang mu’amalah diniyah. Artinya, kampanye menyangkut toleransi beragama sejauh mungkin menghindar dari perbincangan tentang perbedaan-perbedaan teknikal ajaran ubudiyah dari masing-masing agama.
Perbedaan pada wilayah itu memang tidak akan pernah menemukan titik temu karena dari sononya telah terformat secara demikian. Dengan demikian, pembicaraan masalah prosedur ’ubudiyah mahdhah di samping tidak terlalu produktif, juga tidak menyentuh pada struktur terdalam dari penyelesaian konflik-konflik agama.