Home » Gagasan » Pluralisme » Emmy Sahertian: “Negara Harus Berikan Ruang Rekonsiliasi”
Pdt. Emmy Sahertian, MTh (Photo: rumahphilia.wordpress.com)

Emmy Sahertian: “Negara Harus Berikan Ruang Rekonsiliasi”

4/5 (2)

IslamLib – Sebelum agama-agama “pendatang” masuk di wilayah Nusantara, penduduk lokal sudah memiliki sistem kepercayaan sendiri. Kepercayaan lokal ini banyak sekali. Agama-agama “impor” yang masuk ke Nusantara: Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain, mau tidak mau harus berakulturasi dengan kepercayaan lokal. Dalam perjalanannya, perjumpaan ini tidak mudah dan banyak sekali muncul masalah.

Ada masalah identitas, eksistensi, perebutan ruang ekspresi keagamaan, politik, intervensi penguasa dan lain-lain. Vivi Zabkie dan Saidiman Ahmad mewawancarai Pdt. Emmy Sahertian, salah satu anggota steering committee di Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI). Wawancara ini disiarkan langsung, Rabu, 20 Oktober 2010, dari Radio KBR 68 H, Utan Kayu, Jakarta bekerjasma dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).

 

Kita sering mendengar istilah agama lokal. Biasanya agama lokal tidak bisa disebut sebagai agama, tetapi disebut sebagai kepercayaan. Apakah penyebutan semacam itu benar dan bagaimana kita harus menyikapi penyebutan semacam itu?

Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba muncul ada perbedaan dan polarisasi antara agama dan kepercayaan. Kalau kita mau jujur, struktur paling asli dari agama itu adalah ritual. Saat di mana ritual muncul, saat itu juga lah agama lahir. Hanya memang ketika agama atau kepercayaan—terserah Anda mau menyebutnya apa–masuk di dalam struktur negara, muncul lah apa yang disebut formalisasi.

Orang lalu membuat semacam ukuran-ukuran mana agama yang diakui dan mana yang tidak diakui. Polarisasi seperti ini sebenarnya juga berkaitan dengan pertarungan perebutan ruang untuk mengekspresikan sebuah kepercayaan dalam suatu negara.

Jadi, bagi saya, agama lokal sebetulnya lebih enak disebut dengan agama asli Indonesia, karena lahir dan tumbuh dalam konteks asli Indonesia. Dan kalau kita mau melihat keaslian bangsa Indonesia itu ya sebenarnya ada di dalam agama asli Indonesia itu.

Jadi polarisasi semacam itu tidak relevan?

Betul. Bagi saya sederhana sekali. Kalau mereka sudah mempunyai ritual—apa pun bentuk ritual itu–di dalam kehidupan mereka, dan ritual itu menghasilkan budi pekerti yang baik, melahirkan adat-istiadat yang mengajar orang untuk lebih manusiawi, lalu membangun tatanan yang lebih teratur dan harmonis, itulah yang disebut dengan ekpresi keagamaan.

Hanya memang kita sudah terjebak dalam apa yang disebut dengan konsep negara yang selalu melakukan formalisasi atas segala sesuatu. Nah, inilah yang menjadi pesoalan bagi agama asli Indonesia. Sebab, siapa yang paling berkuasa, dialah yang akan merebut seluruh ruang ekpresi agama itu.

Termasuk dalam hal monopoli pengkategorian mana agama, mana kepercayaan itu?

Betul. Karena agama yang datang belakangan itu lalu menyatu dengan sistem pemerintahan. Kita lihat pada awalnya ada kerajaan, kemudian ada kolonialisme. Ada berbagai kompetisi-kompetisi, perebutan ruang kehidupan. Kalau ada pihak yang sudah memenangi ruang itu, dan dia kebetulan menganut kepercayaan tertentu, maka dia akan memaksakan menerapkan kepercayaan itu di dalam ruang yang sudah berhasil dikuasai itu.

Jadi kategori-kategori itu sebenarnya problematis sekali ya…..

Betul. Bagi saya definisi itu harus di-redefinisi. Dan perlu diingat, redefinisi itu tidak mungkin–atau lebih tepatnya, tidak boleh–dilakukan oleh Depertemen Agama.

Kenapa begitu? Apa akibatnya kalau Depag yang melakukan redefinisi itu?

Pengalaman kami, Depertemen Agama itu sebenarnya belum menemukan sebuah regulasi yang jelas tentang definisi agama. Pandangan popular biasanya mengatakan agama itu formalnya ya ada kepercayaannya, ada nabinya, ada kitabnya, ada ritualnya.

Ini semua kan sebetulnya hanya lambang-lambang, simbol-simbol. Dan yang kita lihat selama ini, definisi agama dari Depertemen Agama itu ya agama pendatang yang berjumlah 6 (enam) itu. Padahal sejatinya orang Indonesia itu sudah hidup dengan spiritualitasnya sendiri sejak dulu.

Jadi bagaimana agar definisi itu bisa diberikan dengan lebih baik?

Begini, saya mau berbicara dari diri saya sendiri. Saya ini masyarakat adat yang lahir di Pulau Timor. Saya memiliki kepecayaan adat sendiri. Kemudian datang agama Kristen, lalu saya memakai “baju” itu. Kadang saya merasa asimilasi itu belum terjadi, sehingga saya merasa berdaging agama adat tapi berbaju agama baru.

Nah ini harus dibahas secara baik. Bagi saya ini harus diredefinisi karena seluruh bangsa Indonesia itu tidak akan menyangkal bahwa mereka adalah masyarakat adat. Dan, kalau bicara soal masyarakat adat, itu bukan saja simbol-simbol adat di rumah. Tapi mereka memiliki sebuah ritual yang basisnya adalah spiritualitas.

Kalau begitu jumlah agama asli Indonesia banyak sekali ya…..

Sangat banyak. Saya berikan contoh di daerah saya yang saya paham betul. Di Nusa Tenggara Timur itu ada tiga agama lokal yang mulai eksis. Mereka mulai memanifestasi setelah sebelumnya bersembunyi di balik agama-agama besar ini. Misalnya di Sumba itu ada agama Merapu, dan sekarang ini populasinya meningkat sekitar 40%.

Sejak tahun berapa itu meningkat?

Itu sekitar tahun 1980-an.

Bagaimana peningkatan itu bisa terjadi?

Kami mencoba mendekati dan bergaul dengan mereka. Dan pendekatan yang kami lakukan agak berbeda, pendekatan yang sifatnya lebih kepada kehidupan sehari-hari. Agama pendatang ini kan lebih banyak berbicara tentang surga, dan kadang-kadang lupa bahwa kita ini ada di bumi.
Nah, ini menarik soal perbedaan orientasi agama lokal dan agama pendatang; agama lokal lebih down to earth, sedangkan agama pendatang lebih utopis.

Kenapa bisa demikian?

Betul. Saya melihat agama-agama resmi di Indonesia ini, termasuk agama saya, yaitu Kristen, banyak sekali membahas soal surga. Begitu banyaknya sampai kadang-kadang seolah kita lebih tahu tentang urusan surga daripada urusan-urusan di bumi.

Bagaimana mengatasi orientasi demikian itu?

Sebetulnya ada media tafsir bagaimana membuat bumi ini seperti surga. Nah, ini merupakan perbedaan yang asasi dengan teman-teman penganut agama asli atau agama lokal. Mereka mencoba melihat bagaimana harmonisasi alam, misalnya harmonisasi dengan sesama manusia itu adalah sebuah personifikasi dari surga.

Jadi mereka mencoba menurunkan keadaan ideal surgawi itu ke atas bumi ini melalui berbagai ritual dan media-media dan berbagai simbol-simbol. Dan kita lihat simbol mereka itu sangat manusiawi sekali.

Kalau kita lihat masyarakat adat di Papua, misalnya, simbol yang paling menonjol adalah alat-alat kelamin yang kemudian dipornokan (dianggap sebagai porno–red.) oleh agama yang mencoba membawa kita ke surga itu. Akibatnya menjadi konflik dan kemudian ada semacam hegemoni dengan mengatakan bahwa agama mereka adalah agama kafir.

Lalu ada juga kepercayaan bahwa pohon dan batu itu mempunyai nyawa, karena itu mereka sangat menghormatinya. Nah, di agama saya (Kristen), dan juga di agama semitis lain, ada pandangan bahwa manusia itu adalah mahkota ciptaan Allah. Akhirnya manusia itu sangat diunggulkan, dan dia bisa melakukan apa saja karena diberi mandat untuk mengurus bumi ini. Akibatnya, kita lihat manusia mengekploitasi alam secara eksesif sekali.

Sementara agama asli kita itu sangat ekosentris (sangat menghargai alam–red.), dengan kepercayaan mereka bahwa pohon itu juga bernyawa. Kita bisa lihat, misalnya, penentangan kaum adat ketika perusahaan Freeport memangkas gunung di Papua. Bagi mereka gunung itu bukan sekadar tanah adat saja, tapi, lebih dari itu, adalah simbol spiritualitas suku Amumia.

Dan itu berarti pemangkasan gunung tersebut adalah sekaligus pembunuhan atas simbol spiritualitas mereka. Dan bagi mereka itu adalah tindakan kejam sekali, sebab pohon-pohon di gunung itu pun punya nyawa dan harganya sama dengan harga nyawa manusia. Jadi, mereka sangat ekologis dan menganggap bumi ini adalah surga sebetulnya.

Oleh karena itu banyak sekali kearifan masyarakat adat yang sangat berperan di dalam agama-agama baru kita ini. Saya belajar itu dari Nusa Tenggara Timur. Misalnya mereka mempunyai Tuhan yang memakai nama orang Timor: Uis Pah dan Uis Neno–Tuhannya Suku Boti.

Apakah ada akulturasi antara agama lokal dan agama pendatang itu?

Akulturasi sebetulnya bajunya doang, dagingnya mereka buang. Itu sebetulnya pembunuhan terhadap kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin ini terlihat agak filosofis ya, dan akan membuat orang sakit telinga kalau mendengar. Memang agama-agama besar, agama-agama pendatang ini menguasai ruang kemanusiaan kita.

Yang ingin saya tekankan adalah bahwa sepanjang tidak ada benturan antara agama lokal dan agama pendatang, maka it’s fine. Tapi ironinya ada aturan-aturan negara yang justru membenturkan agama lokal dengan agama pendatang.

Banyak sekali, misalnya, peraturan-peraturan yang sangat mendiskriditkan mereka. Contoh paling sederhana adalah Adminduk (Administrasi Kependudukan). Orang berfikir itu hanya soal KTP, padahal itu persoalan keseluruhan, persoalan kemanusiaan yang dibekuk habis-habisan.

Berkaitan dengan persoalan yang lebih luas, tentang pertarungan eksistensi dan identitas ya….

Betul. Identitas yang melekat pada dia yang dikasih oleh Tuhan lalu negara membekuk itu. Itu merupakan pelanggaran HAM. Misalnya ketika dia tidak bisa membuktikan bahwa dia pemeluk agama yang diterima oleh masyarakat luas, maka dia tidak bisa diterima sebagai pegawai negeri, anaknya tidak bisa sekolah, anaknya tidak mempunyai akta kelahiran dengan akibat berupa tidak tercatat sebagai warga negara yang haknya harusnya dilindungi oleh negara.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.