Home » Gagasan » Pluralisme » Gagasan Toleransi dalam Islam dan Kristen

Gagasan Toleransi dalam Islam dan Kristen

5/5 (2)

IslamLib – Intoleransi beragama atau pelanggaran kebebasan beragama masih masalah laten yang kerap menggoyang bangsa ini. Intoleransi berpotensi meretak kesatuan, membenamkan persaudaraan dan menabur kebencian, yang jika tidak diupayakan penanganan serius, stabilitas kehidupan rukun bangsa ini terancam goyah.

Menarik menyimak laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan 2013 Wahid Institute di mana disebutkan bahwa perkembangan toleransi bangsa ini masih memprihatinkan, justru tambah ke sini wajah toleransi kita semakin buram.

Sepanjang Januari-Desember 2013 saja jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi mencapai 245 kasus dengan 278 tindakan. Bentuk pelanggaran itu sangat beragam, mulai intimidasi, pelarangan, hingga serangan fisik.

Jika ditotal dari tahun 2009 telah terjadi setidaknya 1095 kasus dengan rata-rata 219 kasus pertahun. Sebuah angka fantastis untuk bangsa Indonesia di mana masyarakatnya dikenal toleran. Dari data tersaji, pelanggaran kebebasan dari tahun ke tahun angkanya menanjak dan tidak mustahil di tahun berikutnya angka pelanggaran bisa melonjak lagi.

Sebenarnya ide toleransi bukan barang baru. Bukankah sejak dulu bangsa kita dari Sabang sampai Merauke dikenal sebagai bangsa toleran dan terbuka. Bangsa ini dalam perjalanan sejarah terbukti telah menyambut ramah kehadiran kultur dan budaya luar melalui proses akulturasi dan asimilasi (Hindu, Buddha, Islam, bahkan Konghucu, China).

Toleransi sudah menjadi local wisdom dalam denyut nadi leluhur kita, ditunjukkan dalam semangat gotong royong dan tepo seliro yang tinggi.

Tulisan ini akan menyajikan dua model toleransi dalam sejarah: model toleransi sebagaimana terdapat dalam pengalaman Nabi Muhammad (570-632 M) di Madinah dan gagasan toleransi filsuf Inggris, John Locke (1632-1704 M).

Locke menyadarkan pentingnya toleransi di dunia modern, sedangkan Nabi Muhammad dicatat sejarah sebagai pioner toleransi pertama dalam bermasyarakat (bernegara).

Pelajaran dari kedua model toleransi masa klasik itu kiranya dapat memberi sumbangsih bagi terbangunnya Indonesia yang bebas dari aksi intoleransi.

Locke menulis gagasan toleransi dalam buku Epistola de Tolerantia, diterjemahkan dalam bahasa Inggris: A Letter on Toleration. Sedang Nabi Muhammad menggagas langsung praktek toleransi yang dimuat dalam dokumen politik Watsîqah al-Madînah, diterjemahkan Piagam Madinah yang diakui para sarjana, salah satunya sosiolog Robert N. Bellah, sebagai percobaan negara terlampau modern di zamannya.

Tulisan ini berpretensi menyarikan apa inti gagasan Nabi Muhammad dan John Locke yang dapat kita petik untuk membingkai ide toleransi, dan hasilnya kita coba tawarkan di Indonesia. Kita ingin melihat apakah gagasan Nabi dan Locke memiliki kesamaan atau justru sebaliknya.

Piagam Madinah. Watsîqah al-Madînah diterjemahkan Piagam Madinah atau dikenal Konstitusi Madinah merupakan dokumen yang merangkum cita-cita politik masyarakat Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad. Di dalam Piagam itu termaktub ikrar dan janji politik penduduk Madinah untuk berpastisipasi dalam bermasyarakat dan bernegara. Dalam bahasa perpolitikan modern, Piagam tersebut merupakan common platform atau dalam bahasa al-Qur’an disebut kalimah sawâ.

Banyak sarjana Barat mengapresiasi ide Piagam Madinah, bahkan tak sedikit mengakui perannya cukup signifikan terkait ide menjadikan masyarakat Madinah yang berbudaya. Eksperimen di Madinah adalah pengalaman sejarah manusia pertama di dunia untuk mendirikan masyarakat yang cirinya ialah tunduk kepada hukum (konstitusi) bukan pada penguasa (Madjid, 2000:159).

Pengalaman Madinah merupakan pengalaman masyarakat Islam awal yang dapat disebut modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari segenap masyarakat yang hidup di masa itu (Bellah, 2000:211). Piagam tersebut menjadi cikal bakal lahirnya gagasan negara di tengah masyarakat yang sebelumnya didasarkan pada ikatan keluarga suku atau garis darah (Bellah, 2000:213).

Sosiolog Robert N. Bellah menyebut eksperimen Madinah terlalu modern untuk berhasil pada masa itu. Sistemnya terlalu maju bagi organisasi politik Arab yang ada sebelumnya.

Keberhasilan eksperimen Nabi di Madinah berkat rumusan undang-undang (dustûr) yang mencerminkan semangat keadilan, keterbukaan dan demokrasi. Berikut adalah isi dari Watsîqah al-Madînah:

Orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim dari suku Quraysh dan Yatsrib, dan orang yang ikut, bergabung dan berjuang bersama mereka adalah umat yang satu tanpa ada yang direndahkan. Sesungguhnya umat Yahudi adalah satu umat bersama umat Mukmin, bagi umat Yahudi berhak menjalankan agama mereka, dan bagi umat Muslim berhak juga menjalankan agama mereka.

Sesungguhnya umat Yahudi membiayai bersama umat Mukmin selama mereka diperangi. Dan sesungguhnya bagi umat Yahudi wajib mengeluarkan biaya untuk umat Muslim, dan bagi umat Muslim wajib juga mengeluarkan biaya untuk umat Yahudi. Sesungguhnya di antara mereka wajib saling membantu jika ada yang memerangi penduduk Madinah. Dan sesungguhnya di antara mereka harus saling menasehati, menunjuki, dan berbuat baik tanpa ada yang berlaku buruk.

Dan sesungguhnya jika terjadi perselisihan di antara penduduk Madinah yang dikhawatirkan dapat merusak maka hendaknya perselisihan tersebut diadukan kepada Allah dan Muhammad Sang Utusan Allah” (Humaidillah, 1959:15-21).

Gagasan Piagam Madinah ditulis dengan semangat inklusivitas, dijiwai prinsip keadilan serta menjunjung tinggi kebebasan. Prinsip keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak ada warga diistimewakan ataupun dinomerduakan.

Seorang Muslim tidak menjadi warga kelas satu kendati secara kualitas dan kuantitas adalah mayoritas, dan seorang Yahudi tidak menjadi warga kelas dua kendatipun minoritas.

Piagam Madinah mengajak seluruh warga mengedepankan toleransi, saling menghargai dan berpartisipasi menjaga kedaulatan wilayah. Semua pihak harus siap bahu membahu melawan agresi musuh yang merongrong Madinah.

Keamanan negara ditegakkan melalui partisipasi aktif, bukan partisipasi pasif. Piagam itu menjadi dasar hukum politik yang menjiwai pluralitas masyarakat Madinah di era Nabi.

Undang-undang Madinah yang mengakui kaum Yahudi satu umat dengan kaum Muslim menandakan bahwa kalangan Yahudi memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim.

Ini adalah eksperimen kewarganegaraan (al-muwâthanah) pertama dan merupakan hal baru bagi masyarakat Arab di mana sebelumnya mereka tidak mengenal kewargenegaraan dengan sistem terbuka dan partisipasif seperti ini (Khaliq, 2007:145-155).

Ikatan kewarganegaraan Madinah tidak lagi dijiwai suku dan agama, melainkan diganti lebih terbuka. Adapun sektarianisme suku dan agama sudah tidak memiliki tempat lagi.

Praktek Nabi akhirnya gagal, bukan karena gagasan politik partisipasif dan terbuka Nabi itu keliru, akan tetapi lebih pada faktor tidak adanya infrastruktur atau lembaga yang mendukung ide tersebut berjalan. Selepas Nabi meninggal kepemimpinan demokratis beralih menjadi kesukuan.

Para ahli mencatat kekebasan beragama dalam sejarah umat manusia untuk pertama kalinya dipraktekkan Nabi Muhammad, yaitu sesudah beliau hijrah ke Madinah dan harus menyusun masyarakat majemuk (plural) karena menyangkut unsur-unsur non Muslim. Sekarang prinsip kebebasan beragama itu telah dijadikan salah satu sendi sosial politik modern (Madjid, 2002:219).

Ideologi negara Madinah dibangun di atas prinsip pluralitas agama. Prinsip itu dikuatkan dengan jaminan serta perlindungan hak dan kewajiban bagi semua pemeluk Yahudi dan Muslim (Imarah, 1997:10). Jaminan perlindungan kaum Yahudi menjadi bukti bahwa Madinah dijalankan atas konstitusi yang toleran dan menghargai kebebasan beragama.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.