Home » Gagasan » Pluralisme » Membumikan Dialog Agama-Agama
Seorang kardinal mengunjungi masjid Istiqlal (Foto: indonesia.ucanews.com)

Membumikan Dialog Agama-Agama Reportase Kuliah Pluralisme

5/5 (1)

IslamLib – Fondasi keislaman yang kuat  harus diimbangi pula dengan menguatnya kerukunan antarumat beragama. Hal itu perlu, lantaran masih banyak konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama memanas di sejumlah wilayah di Indonesia, yang kerap memicu beragam perilaku intoleran, hingga mengarah pada tindakan kekerasan. Salah satu upaya demi mencegah konflik-konflik semacam itu di antaranya dengan membumikan dialog agama-agama dan kepercayaan.

Dalam perkembangannya, dialog antaragama memiliki sejarah panjang, seumur agama-agama itu sendiri. Dalam konteks Abrahamic religions, pemeluk Yahudi, Kristen dan Islam telah terlibat dialog sedari era paling klasik. QS. Al-Baqarah: 113 telah memberikan informasi kepada kita bagaimana dialog-dialog antara kaum Yahudi dengan Nashrani terjadi.

Kaum Muslim pun turut terlibat di dalamnya. Ini misalnya tersirat melalui QS. Al-Ankabut: 46, yang menyeru umat Islam agar berdialog dengan cara sebaik-baiknya, sesuai dengan etika dialog (billati hiya ahsan).

Demikian topik “Kuliah Pluralisme” sesi ke-III, 22 Februari lalu, dengan Ulil Abshar-Abdalla sebagai pembicara utama. Dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai universitas, diskusi interaktif kali itu berjalan cukup hangat dan menarik.

Dalam upaya menerangkan pentingnya dialog lintas agama, Ulil memulainya dengan melakukan skala perbandingan di antara lima agama terbesar dunia. Bila dilihat dari segi kuantitas, perbandingan jumlah umat Islam dengan umat beragama lainnya bisa dikatakan terlampau cukup jauh. Berdasarkan data yang ada saat ini, jumlah umat Islam di seluruh dunia mencapai 1,2 Miliar atau sekitar 19,6 % dari total penduduk dunia.

Lebih besar dari pemeluk agama  Hindu yang berjumlah 811 juta atau sekitar 13,4%, pemeluk Konfusianisme yang berjumlah 385 juta atau sekitar 6,4% serta Buddha yang berjumlah 360 juta atau sekitar 5,9%. Jumlah tersebut tidak lebih besar jika dibanding dengan pemeluk Kristen/Protestan yang berada pada kisaran 2 Miliar atau sekitar 33%.

Kondisi umat beragama saat ini laiknya masyarakat yang menghuni pulau-pulau terpisah. Ketika satu kelompok masyarakat pada pulau tertentu tidak pandai beradaptasi dengan kelompok di pulau lain, maka masyarakat ini akan terisolasi dari yang lainnya; akan sulit bagi mereka meraih berbagai akses sebagaimana didapat oleh kelompok masyarakat lainnya di pulau-pulau tetangga.

Demikian pula, ketika ada satu dari kelompok umat beragama yang merasa agamanya sebagai kebenaran tunggal, maka akan sulit baginya untuk berbaur sekaligus berdampingan dengan umat beragama lainnya.

Di negara kita, cara pandang baku dalam melihat agama masih terasa kental. Ini sangat mengkhawatirkan. Karena ketika masing-masing umat beragama berada pada posisi ekstrem dengan memelihara pandangan bahwa agamanya paling benar, sementara agama lain salah, maka kemungkinan saling mengafirkan satu sama lain hingga menajamnya situasi keos menjadi besar. Lantas, yang paling ditakutkan, semua itu akan berujung pada perang agama sebagaimana telah terjadi di dunia Barat beberapa abad silam.

Karenanya, demi menghindari kemungkinan terburuk seperti itulah dialog agama-agama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Dalam hal ini, dibutuhkan lebih banyak ruang yang mempertemukan para pemeluk agama demi menjalin komunikasi yang baik serta kerekatan satu sama lain. Sebagaimana ditegaskan Hans Kung, “No peace among the religions without dialogue between the religions.“

Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan dialog? Tentu saja pengertian dialog berbeda dengan debat. Sifat atau tujuan yang terkandung dalam debat cenderung membawa kita kepada persaingan  antara dua orang/kelompok, demi membuktikan argumen siapa yang paling benar.

Lain halnya dengan tujuan dan sifat dialog yang lebih mengarah pada terjalinnya komunikasi yang baik demi mewujudkan hubungan harmonis antara kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya. Di samping itu, dalam prosesnya, dialog diarahkan agar menghasilkan kebaikan bersama, tidak berpihak pada salah satu kelompok. Juga, ia diarahkan untuk menumbuhkan sikap saling pengertian (understanding) satu sama lain.

Menurut Ulil, salah satu visi terwujudnya dialog antaragama adalah untuk saling memahami kekhususan dari masing-masing agama. Di samping itu, berdialog seyogyanya bukan bagian dari berdakwah, melainkan untuk saling memahami satu sama lain. Dan yang paling penting, dialog bisa menjadi cara jitu untuk mencari titik temu di antara agama-agama.

Sesungguhnya, kita bisa belajar dari sahabat-sahabat Nabi dalam hal ini. Misalnya, dalam kitab Musnad Ahmad telah diceritakan bagaimana hubungan manis terjalin antara Abu Hurairah dengan Ka’ab al Akbar, seorang rabbi(ulama) Yahudi di Madinah. Diceritakan bahwa dua orang tersebut sering berkumpul di masjid untuk mendiskusikan hal-hal yang bersifat teologis.

Konon Abu Hurairah kerap  menceritakan kepada Ka’ab segala ucapan-ucapan yang didengarnya dari Nabi Muhammad. Begitupun sebaliknya, Ka’ab al-Ahbar sering menjelaskan kepada Abu Hurairah mengenai kandungan Taurat beserta pokok-pokok ajaran agama dalam kepercayaan Yahudi.Hubungan antara Abu Hurairah dengan Ka’ab al-Ahbar setidaknya bisa menjadi bukti betapa seorang sahabat Nabi sekalipun telah lebih dulu memahami pentingnya berdialog dengan agama lain.

Teladan yang diceritakan dalam kitab Musnad Ahmad tersebut sekaligus memberikan stimulus akan pentingnya dialog lintas agama hingga pada persoalan yang bersifat teologis, yang lebih mendalam. Bahwa dialog tidak hanya mencari titik temu dalam batas persoalan yang bersifat sosial. Hingga saat ini, masih banyak kalangan masyarakat yang mempercayai bahwa dialog agama-agama hanya bisa dilakukan jika itu menyangkut pembicaraan yang bersifat humanis dan sosial.

Menanggapi fenomena tersebut, seharusnya masyarakat diberikan bekal pengetahuan yang mendalam tentang visi dialog agama-agama seperti yang sudah disebutkan di atas. Bahwa proses dialog agama-agama bukan lagi menjadi agenda dakwah, melainkan untuk saling memahami, termasuk untuk menumbuhkan saling pengertian dalam hal-hal yang bersifat teologis.

Dialog antaragama bagi kalangan Islam hendaknya tidak ditujuan untuk memaksa pemeluk agama lain agar mengimani Islam. Sebab, al-Quran telah menjunjung tinggi kebebasan beragama dalam ayat la ikraha fi din, ‘tidak ada paksaan dalam beragama’. Dan, sebagaimana telah disinggung sebelmnya bahwa tujuan dialog antaragama adalah untuk menjalin komunikasi dan saling memahami, bukan menyamakan keyakinan atau memaksa orang lain berpindah agama (conversion) dan menciptakan agama universal baru.

Dalam menciptakan hubungan yang lebih harmonis di antara pemeluk agama-agama, setidaknya ada sepuluh prinsip utama yang harus dijunjung hingga dialog antaragama bisa terjalin dengan erat. Gagasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Leonard Swidler.

Yang pertama adalah adanya keinginanan untuk belajar. Tujuan penting dari dialog adalah untuk belajar. Demi mendapatkan pengetahuan yang luas tentang bermacam agama-agama yang ada. Paling tidak, untuk menjadi mitra dialog dalam memandang dunia melallui beragam pemahaman keagamaan.

Prinsip kedua adalah mengupayakan pendekatan dialog dua arah. Hal ini menuju pada paradigma atau keberpihakan yang bersifat adil. Dalam proses dialog agama-agama tidak diperkenankan hanya melalui satu sudut pandang saja, melainkan diperlukan juga sikap bijaksana serta tidak berpihak pada satu agama yang dianut saja.

Yang ketiga, adanya rasa kejujuran. Hal ini sangat penting untuk mengarahkan pembicaraan menjadi lebih mendalam. Setiap pemeluk agama harus bersikap jujur terhadap urusan internal agamanya. Hal ini untuk menjaga transparansi dan menghindari sitasi menjadi kaku karena rasa saling menutupi dalam proses dialog.

Keempat, adanya perbandingan yang adil. Dalam proses dialog tentu akan tercipta roses perbandingan antara afiliasi sikap umat beragama dengan doktrin keagamaan. Penuilis sendiri meyakini bahwa setiap agama mengajarkan hal-hal yang mengarah pada kebaikan bersama.

Namun kerap kali umat beragama seakan lupa akan doktrin kebaikan yang diajarkan agamanya itu. Perbandingan tersebut harus disertai juga dengan prinsip keadilan, sehingga dalam proses dialog tidak terjadi perdebatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap satu agama yang dianut.

Yang kelima, adanya identitas yang otentik. Setiap peserta dialog diharuskan menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi pada diri serta agamanya. Hal ini penting dalam menjaga keotentikan suatu cara pandang.

Misalnya dalam dialog antara umat Islam dan Kristen, umat Islam harus menjelaskan realitas yang terjadi di agamanya sendiri secara jernih. Begitupun dengan umat Kristiani. Dalam hal ini tidak diperkenankan umat Iislam menjelaskan hal-hal yang terjadi dalam agama kristiani, begitupun sebaliknya.

Poin keenam adalah menghilangkan prasangka buruk. Ini sangat penting dalam upaya menjaga keharmonisan antar pemeluk agama. Biasanya, setiap pemeluk agama yang diajak untuk berdialog, terutama mengenai hal-hal yang bersifat teologis, selalu berada dibawah bayang-bayang kekhawatiran akan adanya hal buruk yang memungkinkan terjadi setelah proses dialog.

Misalnya, seringkali ada yang beranggapan bahwa proses dialog tersebut adalah salah satu cara berdakwah demi mempromosikan ajaran-ajaran agama yang bersangkutan. Padahal, alangkah lebih baik bila setiap pemeluk agama tidak berprasangka buruk seperti demikian. Karena, sebagaimana berulangkali ditegaskan, visi dari adanya dialog agama-agama bukan untuk berdakwah melainkan untuk saling mengenal dan  menjalin komunikasi antar pemeluk agama.

Yang ketujuh adalah adanya kesetaraan. Hal ini memberikan stimulus bahwa tiap agama memiliki kebaikannya masing-masing. Prinsip kesetaraan di sini digambarkan bahwa tiap pemeluk agama tidak berhak untuk merasa paling benar dari agama lain. Prinsip kesetaraan harus dibangun dalam kerangka menjaga keharmonisan antar sesama pemeluk agama.

Point kedelapan adalah adanya rasa saling percaya. Masing-masing pemeluk agama diharuskan memiliki sikap saling percaya demi meruntuhkan segala macam prasangka buruk dalam mengkonsolidasikan dialog agama-agama ini. Sikap saling percaya juga perlu ditumbuhkan supaya bisa memperkuat tingkat keharmonisan dalam proses bermasyarakat.

Point kesembilan, dibutuhkan sikap kritis terhadap tradisi sendiri. Setiap agama tentu memiliki tradisinya masing-masing. Demi menciptakan proses dialog yang sehat, diperlukan pula sikap kritis terhadap tradisinya sendiri.

Dengan demikian, sikap kritis ini diharapkan mampu menumbuhkan dorongan saling mengisi antara tradisi pada suatu agama dengan tradisi di dalam agama lainnya. Karena salah satu tujuan adanya dialog agama ini adalah untuk belajar, maka mustahil apabila tradisi setiap agama mampu menjawab berbagai persoalan di dunia.

Dan yang kesepuluh adalah merasakan dari dalam. Poin terakhir inilah yang menjadi pokok dalam mewujudkan sikap keharmonisan yang erat di antara para pemeluk agama. Memang, poin  terakhir ini secara pandangan umum dianggap melewati batas otoritas. Namun poin ini teramat perlu  demi menangkal tindakan anarkis dan kaku dalam memahami agama.

Prinsip yang terakhir ini populer dengan sebutan passing over”,  sebuah upaya demi merasakan kesejukan dari agama lain di luar agama yang kita anut. Prinsip Passing Over ini bisa dikatakan sebagai tingkatan paling tinggi di antara tahapan-tahapan dialog antariman. Konsep yang diperkenalkan oleh Prof. Leonard Swidler ini menjadi sebuah upaya penting dalam mewujudkan dialog agama-agama yang lebih erat dan harmonis.

Dalam konteks Indonesia, gagasan dialog agama-agama pernah diutarakan oleh Mukti Ali pada tahun 1970. Saat itu Mukti Ali menghadiri dialog antaragama yang diselenggarakan Sidang Dewan Gereja Sedunia di Ajaltoun, Libanon.

Dalam acara tersebut iamembawakan makalah dengan judul “Dialogue Between Muslims and Christians in Indonesia and it’s Problem“. Tulisannya itu merupakan ungkapan jujur, betapa dialog antaragama masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Kerap masih ada kelompok-kelompok yang berhasrat mencederai dialog yang selama ini dibangun.

Dialog antaragama semakin penting untuk mengikis fanatisme sempit yang mulai banyak bermunculan. Upaya dialog antaragama ini harus terus dilakukan secara intensif. Meski kita harus mengakui bahwa dalam tataran praktis, dialog-dialog yang terjadi masih menyiratkan banyak kelemahan.

Namun dialog harus terus digalakkan untuk mengatasi kekurangan yang ada sehingga interaksi antarumat beragama dapat berjalan dengan baik. Karena dialog sejatinya bisa menjadi sarana untuk saling berbagi dan bertukar pengalaman.

Dengan demikian, perbedaan yang ada justru dapat menumbuhkan sikap saling mengerti dan memahami. Namun, langkah lanjut yang perlu dilakukan setelah mengadakan dialog adalah mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, maka dialog akan memiliki pengaruh nyata dalam menciptakan hubungan yang harmonis antarumat beragama. (Hendra Sunandar)

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.