Home » Gagasan » Q&A Islam » Masih Layakkah Istilah “Kafir” Dipakai Sekarang?
Kalangan sufi sering menjadi sasaran penyesatan dan peng-kafiran.

Masih Layakkah Istilah “Kafir” Dipakai Sekarang? Q&A Islam

4.3/5 (27)

IslamLib – Saat naik kereta commute-line beberapa hari lalu, ada hal yang menarik perhatian saya. Sebuah pengumuman disuarakan secara berulang-ulang dari pengeras suara: Agar para penumpang memberikan kursi kepada perempuan hamil, perempuan yang membawa anak, orang tua dan orang-orang yang memiliki “dis-ability”.

Tak ada yang spesial dari pengumuman ini, kecuali istilah “dis-ability” yang dipakai di sana. Dulu, ketika saya masih kecil, masyarakat biasa memakai istilah “penyandang cacat”. Bahkan ada sebuah yayasan yang populer dulu di Solo: YAPC (Yayasan Anak Penyandang Cacat).

Istilah “penyandang cacat” nyaris punah saat ini. Mungkin karena dianggap mengandung konotasi yang merendahkan. Istilah lain yang jauh lebih dianggap manusiawi dipilih sebagai alternatif: people with dis-ability, orang-orang dengan ketidak-mampuan. Istilah ini pun belakangan masih dianggap kurang sensitif, sehingga diganti dengan istilah lain: people with different ability, orang-orang dengan kemampuan berbeda (disingkat: diffable).

Semua hal mengalami evolusi, termasuk bahasa dan istilah. Dulu orang memakai istilah “buta”. Sekarang istilah lain muncul: tuna netra. Dulu ada istilah kakus. Sekarang istilah itu dihindari, digantikan: toilet atau rest-room (ruang istirahat), seolah-olah mereka yang sedang buang hajat sedang istirahat di toilet. Demikian seterusnya.

Tak ada yang keberatan dengan evolusi istilah ini. Bahkan dianggap sebagai hal yang baik. Baik. Sekarang saya mengajak anda untuk bergerak lebih jauh. Bagaimana dengan istilah “kafir”? Kenapa istilah itu sekarang muncul kembali dan ramai dipakai oleh banyak kalangan? Apakah istilah “kafir” masih layak saat ini?

Dalam Qur’an, ada dua pengertian tentang istilah kafir: pengertian teologis dan non-teologis. Sebagian besar, istilah kafir dipakai di Qur’an dalam pengertian teologis: yakni orang-orang yang tak percaya kepada misi yang dibawa Nabi Muhammad.

Ada beberapa kasus di mana istilah itu dipakai dalam pengertian non-teologis, seperti dalam QS 14:7: la-in shakartum la-azidannakum wa la-in kafartum inna ‘adzabi la shadid. Jika kalian bersyukur, Aku (Tuhan) tambahkan lagi nikmat-Ku. Jika kalian kafir atas nikmat-Ku, maka azab-Ku sangat pedih. Kata “kafir” di sini dipakai sebagai antonim dari kata syukur. Seorang yang tak bersyukur bisa disebut sebagai orang kafir.

apa itu  kafir

Konon, menurut sebagian penafsir, kata “kafir” bisa juga bermakna “petani”, sebagaimana terbaca dalam QS 57:20. Kata “kuffar” (bentuk jamak dari “kafir”) dalam ayat itu oleh sebagian penafsir dipahami sebagai orang-orang kafir; oleh penafsir lain, sebagai para petani. Akar kata “k-f-r” mempunyai pengertian “menutupi”. Seorang petani biasa menutupi benih yang mereka tanam dengan tanah. Karena itu para petani disebut sebagai “kafir”. Tentu saja, bukan kafir secara teologis atau keimanan, melainkan kafir botanik.

Dalam pandangan saya, kata kafir dalam pengertian teologis sebaiknya dihindari saat ini, sebagaimana kita menghindari kata “buta” dan lebih memakai kata “tuna-netra”, sebab lebih tidak menyinggung. Istilah kafir jelas sekali mengandung konotasi penghakiman dan merendahkan sasaran yang dikafirkan.

Apalagi jika kita pertimbangkan bahwa sasaran pengkafiran saat ini (sebagimana tercermin dalam gerakan kaum takfiri) lebih banyak adalah kalangan internal umat Islam sendiri ketimbang orang yang ada di luar Islam. Obyek pengkafiran sekarang, anehnya, adalah orang-orang Islam yang dianggap oleh kalangan mayoritas sebagai sesat dan menyimpang: Syiah, Ahmadiyah, intelektual Muslim yang kritis, kalangan sufi, dsb.

Tujuan penggunaan istilah itu jelas: ingin merendahkan dan meng-eksklusi sasaran yang dikafirkan. Dengan kata lain, istilah kafir adalah bagian dari “the politics of exclusion” yang dilakukan oleh kalangan mayoritas untuk menyingkirkan lawan-lawannya. Penggunaan istilah ini jelas mencerminkan sikap arogansi kaum ortodoks atas orang-orang yang dianggap heterodoks.

Umat agama manapun tentu tak ada yang mau disebut dengan istilah yang “menghina” seperti “kafir” itu. Kalaupun istilah ini dipakai dalam Qur’an, itu terkait dengan situasi yang spesifik pada zaman Nabi, dan tak mungkin kita ulang sekarang. Di sinilah pentingnya kita memahami Qur’an secara kontekstual: sesuai dengan semangat zaman.

Ketimbang menggunakan istilah “kafir”, sebaiknya kita mamakai istilah lain yang lebih sopan dan secara moral bisa diterima saat ini: yaitu, orang-orang yang memiliki iman atau agama berbeda, people with different faith. Mungkin bisa diringkas menjadi: “diffaith”.

Sekali lagi, istilah dan bahasa mengalami evolusi sesuai dengan kematangan peradaban manusia. Istilah kafir dalam pengertian teologis sudah sebaiknya dihindari, karena jelas merendahkan dan menyinggung perasaan golongan lain. Saya yakin, merendahkan golongan yang berbeda bukanlah sikap yang diajarkan oleh Islam.

Sebaliknya, Islam, sebagaimana tergambar dalam QS 49:13, justru mengajarkan “the ethics of mutual understanding”, etika saling mengenal dan memahami (li ta’arafu).[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.