IslamLib – Dalam tulisan yang lalu, saya berusaha memberikan definisi minimalis tentang istilah Muslim. Mengulangi apa yang sudah pernah saya tulis, Muslim ialah siapa saja yang mendeklarasikan dirinya sebagai Muslim. Deklarasi itu ditandai dengan ucapan syahadat (Asyhadu an la ilaha illa ’l-Lah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulu ‘l-Lah).
Setelah deklarasi ini meluncur dari mulut seseorang, secara otomatis dia menjadi Muslim dan masuk di dalam komunitas orang-orang beriman. Tak ada hak bagi siapapun untuk mengeluarkannya dari komunitas itu.
Sekarang, siapakah yang disebut murtad, orang yang telah keluar dari Islam? Istilah ini layak didiskusikan kembali pengertiannya, sebab kerap dipakai untuk menengarai orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda. Kita kerap mendengar apa yang disebut dengan gerakan takfiri: mudah menganggap kafir orang lain. Kedua istilah ini, murtad dan kafir, sering dipakai oleh kalangan takfiri itu.
Kita mesti me-redefinisi istilah murtad agar sesuai dengan kebutuhan kita untuk membangun masyarakat yang inklusif – masyarakat di mana setiap golongan di sana diakui sebagai bagian dari “kita/kami”, tanpa ada satupun yang disingkirkan dengan alasan memiliki pandangan yang “sesat”.
Dalam diskursus teologi Islam tradisional, yang disebut “murtad” ialah orang yang keluar dari Islam dan balik lagi menjadi kafir. Definisi ini tampak tak bermasalah. Masalah baru muncul saat kita masuk ke diskursus lain yang disebut “nawaqid al-iman”, hal-hal yang bisa meng-invalidasi atau membatalkan iman.
Diskurus mengenai “nawaqid al-iman” sudah muncul sejak era klasik dan bertahan hingga sekarang. Seorang penulis Saudi kontemporer yang juga dikenal sebagai ideolog Wahabisme Saleh Al-Fauzan dalam pamfletnya yang berjudul “al-Tauhid”, menyebut empat kategori perkara yang bisa membatalkan iman seseorang dan membuatnya menjadi murtad/kafir kembali.
Yaitu: murtad karena ucapan (ridda bi al-qawl), tindakan (ridda bi al-fi’l), keyakinan (ridda bi al-i’tiqad) dan keraguan (ridda bi al-syakk). Contoh ucapan yang membuat seseorang murtad: mencaci dan memaki Tuhan dan rasulNya. Contoh tindakan: membuang Qur’an ke tempat sampah dengan niat menghina. Contoh keyakinan: meyakini bahwa riba adalah halal. Contoh keraguan: meragukan relevansi hukum Islam di zaman sekarang.
Pengertian murtad semacam ini persis seperti “pasal karet” yang dapat direntangkan sejauh mungkin sehingga seseorang bisa saja dituduh murtad hanya karena punya penafsiran yang berbeda. Contoh yang terakhir adalah menarik: murtad karena keraguan. Dalam pandangan ulama Wahabi itu, seseorang yang meragukan kesesuaian hukum syariat di era modern adalah murtad.
Dengan pengertian murtad semacam ini, para intelektual Muslim yang mencoba melakukan penafsiran ulang serta rekontekstualisasi atas hukum-hukum Islam di era modern, bisa saja dituduh kafir dan murtad. Mantan Menteri Agama di era Orba Prof. Munawir Sjadzali yang pernah menyerukan rekontekstualisasi hukum waris Islam, per definisi ini, bisa langsung terkena tuduhan murtad.
Bahkan, menurut Al-Fauzan, seseorang yang menganggap haram hal-hal yang dihalakan agama, ia bisa disebut murtad. Misalnya, seseorang menjadi murtad karena menganggap roti yang mestinya halal sebagai haram. Seorang vegetarian yang mengharamkan bagi dirinya makan daging bisa-bisa terkena tuduhan murtad. Betapa elastisnya definisi semacam ini, dan betapa berbahaya!
Menurut saya, definisi murtad seperti inilah yang, antara lain, menjadi asal-usul gerakan takfiri — mengkafir-kafirkan mereka yang punya pemahaman yang berbeda. Jika definisi ini dibiarkan terus, umat Islam akan terjerumus dalam konflik sektarianisme internal yang menghancurkan tubuhnya sendiri. Dunia Islam akan sulit maju karena terus dirundung konflik doktrinal gara-gara definisi murtad yang seperti pasal karet.
Saya mengusulkan definisi lain mengenai murtad; sekali lagi, definisi minimalis. Sebagaimana seseorang menjadi Muslim karena sebuah deklarasi atau pernyataan diri masuk Islam melalui syahadat, dia juga hanya bisa disebut keluar dari Islam (murtad) jika telah menyatakan diri out secara verbal dari Islam, entah dengan menyebut dirinya telah beragama lain atau keluar dari Islam sama sekali tanpa pindah ke agama manapun.
Tindakan seseorang, bukan hanya ucapan, bisa juga menjadi indikasi ia telah keluar dari Islam. Misal: menjadi anggota organisasi eks-Muslim yang sekarang ini banyak bermunculan di negeri-negeri Barat, seperti Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Kanada.
Selama seseorang masih mengaku dan menyatakan diri sebagai Muslim, apapun paham dan tindakannya, kita harus tetap menyebutnya sebagai Muslim. Dengan definisi minimalis ini, misalnya, kita tak bisa menyebut anggota jamaah Ahmadiyah sebagai kafir atau murtad. Sebab mereka masih menganggap dirinya sebagai Muslim, dan mencintai Islam.
Sikap banyak kalangan Muslim yang seolah-olah “memaksa” orang Ahmadiyah membikin “agama baru” di luar Islam, sebagai pra-syarat agar mereka tak diganggu, sama saja dengan memaksa mereka keluar dari Islam. Sikap semacam ini jelas aneh, selain “lebay”. Bagaimana mungkin kita memaksa seseorang yang masih menganggap dirinya Muslim untuk keluar dari Islam?
Saya menyebut ini sebagai “confession principle”, prinsip pengakuan. Asal seseorang masih mengaku Muslim, kita tak boleh menyangkal pengakuannya itu. Soal apa keyakinan dan pemahaman dia mengenai aspek-aspek tertentu dalam ajaran Islam, bukan urusan kita. Itu urusan dia dengan Tuhan.
Saya berharap, dengan definisi yang minimalis mengenai murtad ini, pelan-pelan umat Islam bisa berdamai dengan dirinya sendiri, mengakui keragaman di dalam tubuhnya, dan tidak saling mencakar dengan tuduhan kafir atau murtad.[]
Catatan: Terima kasih untuk Tedi Sumardi untuk beberapa koreksi ejaan dan penggunaan istilah.