Catatan pendek ini saya tulis di rumah yang terletak di pinggir kota Jakarta. Tulisan ini tiba di tangan redaksi tak berapa lama setelah saya menyelesaikannya. Saya tak perlu amplop untuk membungkus artikel ini. Saya tak perlu pergi ke kantor pos untuk mengirim ke redaksi suatu surat kabar. Saya tak perlu membeli prangko.
Yang saya lakukan hanyalah sederhana, sesederhana “kun, fayakun“. Usai menulis, saya hanya perlu membuka internet, memasukkan artikel ini dalam attachment atau sisipan, memencet tikus (mouse), “klik”, dan dalam waktu yang kurang dari dua menit artikel itu sudah sampai di meja redaksi. Begitu cepat, begitu sederhana.
Saya tetap di rumah, tak perlu bergeser seinci pun dari sana.
Saat isteri saya pergi haji tahun ini, sebuah peristiwa sederhana terjadi dan amat mencengangkan buat saya. Hingga sekarang, peristiwa itu masih menjadi bahan pikiran dan kekaguman saya. Peristiwa itu sendiri boleh jadi terlalu sederhana dan lewat dari perhatian banyak orang.
Selama setengah bulan di Tanah Suci, isteri saya selalu mengirim layanan pesan pendek (SMS) setiap hari, mengabarkan perkembangan perjalanan ibadah dari detik ke detik. Isteri saya mirip dengan seorang wartawan yang melaporkan peristiwa penting dari menit ke menit ke meja redaksi.
Saya yang berada di rumah merasa seperti berada di antara jutaan hujjaj lain di tanah suci. Peristiwa di tempat lain yang amat jauh bisa ’dipindahkan’ ke tempat lain dengan cepat, dengan sederhana, dan, ini yang penting, murah. Harga mengirim pesan dari tanah suci ke Indonesia berkisar antara Rp 500 hingga Rp 1000.
Kita baru saja menyelesaikan pemilu presiden yang hasil akhirnya bisa diketahui dengan cepat melalui metode quick count. Tetapi, sebelum pemilu itu, sebetulnya ada pemilu lain yang tak kalah menariknya. Selama berbulan-bulan, pemirsa televisi kita mengikuti suatu “pemilihan” atau referendum populer untuk memilih penyanyi terbaik di negeri ini melalui dua acara yang sangat populer, AFI (Akademi Fantasi Indosiar), Indonesian Idol, dan KDI (Kontes Dangdut TPI).
Cara mereka memberikan suara pun sangat unik: dengan mengirim SMS. Dalam waktu yang teramat cepat, suara mereka terekam dan mempengaruhi nasib kontestan setiap minggu.
Saya membayangkan, suatu ketika, tidaklah mustahil, dengan perkembangan tekonologi telekomunikasi yang kian canggih, kita bisa memilih seorang presiden melalui tombol telepon seluler. Kita tak perlu datang ke bilik suara. Kita tak butuh petugas PPS. Kita tak butuh saksi yang menunggui kotak suara berjam-jam.
Kita tinggal pencet tombol pagi hari, dan siang hari presiden terpilih sudah kita ketahui. Kampanye juga tak perlu memakai biaya yang mahal. Cukup mengirimkan informasi ke kotak email para konstituen, tentang platform kandidat, visinya, programnya, dan lain-lain.
Ini sangat mungkin terjadi saat semua penduduk Indonesia sudah memiliki komputer pribadi, jaringan telepon, dan alamat email. Kita tak tahu, kapan hal itu terjadi. Saya hanya berandai-andai. Andaian itu bukan sesuatu yang jauh. Suatu ketika sangat mungkin terjadi.
Kecepatan, kecepatan, kecepatan. Itulah kata kunci yang menjadi ciri kehidupan kita sekarang. Seorang sosiolog Inggris terkemuka saat ini, Anthony Giddens, menyebut dunia kita saat ini sebagai “run away world” atau dunia yang mberot, lari cepat, tunggang langgang.
Ada sejumlah hal yang patut dipikirkan tentang dunia yang bergerak cepat semacam ini. Pertama, betapa hebatnya kemampuan manusia untuk mencapai kemajuan-kemajuan yang membawa kemudahan bagi kehidupan mereka.
Fakta ini perlu digaris bawahi untuk menjawab sinisme kaum agama (terutama yang fundamentalis) yang biasanya memandang rendah potensi akal manusia. Mereka selalu mengatakan bahwa akal ada batasnya. Benar, akal ada batasnya, tetapi kita tidak tahu di mana batas itu, sehingga akhirnya kita tak salah jika mengatakan: kemampuan akal manusia tak berbatas.
Kedua, di manakah sumbangan umat Islam dalam perkembangan teknologi yang kian cepat ini. Islam dikenal sebagai agama yang pro-pengetahuan. Tetapi, lihatlah betapa terlambatnya perkembangan dunia sains dan teknologi di dunia Islam saat ini. Siapakah sarjana Islam modern yang pernah menerima hadiah Nobel di biang sains setelah Profesor Abdussalam dari Pakistan (kebetulan pengikut sekte Ahmadiyah, bukan sekte besar Sunni atau Syiah).
Tantangan bagi dunia Islam adalah memajukan pendidikan seluas-luasnya dan setinggi-tingginya, sebab hanya dengan cara itulah dunia Islam bisa “melawan” Barat (jika benar “Barat” harus dilawan; bagi saya, Barat lebih tepat dianggap sebagai teman setara untuk belajar).
Ketiga, kecepatan semacam itu tentu akan berdampak luas dalam struktur sosial dan pola hidup masyarakat modern. Dampak itu ada yang positif, tentu pula ada yang negatif. Nilai dan norma masyarakat tentu akan cepat berubah: ada yang berubah semakin baik, ada yang semakin jelek.
Di sini satu hal layak dikemukakan. Nabi, konon pernah bersabda, bahwa Tuhan akan mengutus seorang pembaharu pada pembukaan abad. Kelahiran seorang pembaharu sosial, menurut hadis itu, mengikuti siklus seratus tahunan.
Hadis itu relevan dalam konteks masyarakat pra-modern yang tingkat kecepatan perubahannya masih lamban sekali. Dalam abad internet, email, dan SMS, sudah tentu siklus pembaharuan masyarakat tidak bisa mengikuti langgam yang lamban semacam itu. Umat Islam membutuhkan pembaharu-pembaharu dalam semua bidang setiap tahun, bahkan bulan dan minggu. Bukan setiap seratus tahun.