IslamLib – Akhir-akhir ini istilah Islam moderat kerap kita dengar dalam sejumlah diskusi, seminar dan cermah-ceramah. Istilah ini belum terlalu lama dipergunakan secara luas, baik di lingkungan akademis atau non-akademis. Saya kira, hanya setelah peristiwa 9/11 lah istilah ini mendadak populer di seluruh dunia.
Pengertian istilah ini kerap tidak terlalu terang juga. Tetapi secara umum, maknanya ialah suatu jenis penafsiran atas Islam yang tak menyetujui kekerasan sebagai metode perjuangan. Istilah Islam moderat, harus jujur kita akui, lahir dalam konteks “war on terror” yang dilancarkan oleh Amerika Serikat sejak 2001.
Oleh karena istilah ini dipakai dalam kerangka demikian, maka maknanya juga hanya sebatas “Islam yang tak setuju dengan tindakan terorisme”. Bagi saya, pengertian Islam moderat yang demikian itu tidaklah memuaskan. Pengertian yang terlalu “tipis”. Isu yang menjadi bahan perdebatan umat Islam saat ini bukan hanya sebatas soal terorisme. Ada banyak isu yang menjadi pusat keprihatinan umat. Isu terorisme hanyalah salah satu saja.
Sikap “Islam moderat” dalam isu-isu di luar terorisme belum tentu menggambarkan semangat zaman sekarang. Jika istilah “moderat” dimaknai sebagai sikap yang ada di tengah-tengah, maka sejumlah pertanyaan patut diajukan.
Saya akan ambil satu contoh. Jika di masyarakat berlangsung perdebatan tentang status Syiah: apa bagian dari Islam atau tidak? Ada kelompok yang berpandangan bahwa Syiah bukan Islam. Ada kelompok lain yang berpandangan sebaliknya. Bagaimana sikap Islam moderat dalam hal ini? Apakah makna “mengambil jalan tengah” di antara kedua pandangan tersebut? Seperti apa bentuk “jalan tengah” antara pandangan “Syiah bukan Islam”, dan “Syiah adalah Islam”?
Sejauh yang saya pahami dari pelbagai diskusi yang berkembang di kalangan Muslim, istilah Islam moderat tampaknya dimaknai berdasarkan pengertian sebuah ayat dalam Surah al-Baqarah:143. Dalam ayat itu, umat Islam digambarkan sebagai umat yang “wasat”. Istilah “wasat” selama ini dimaknai sebagai “tengah”. Umat yang wasat, dengan demikian, artinya ialah umat yang mengambil jalan tengah antara ekstrim kanan dan kiri.
Mari kita telaah redaksi ayat itu secara lengkap: wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasatan li-takunu syuhada’a ‘ala al-nas. Makna ayat itu secara harafiah: Dan demikian Aku jadikan kalian sebagai “umat tengah-tengah” (ummatan wasatan) agar kalian menjadi “syuhada’” atau saksi-saksi atas seluruh umat manusia.
Meskipun istilah Islam moderat dalam pengertian Islam yang mengambil jalan tengah antara ekstrim kiri dan kanan tak seluruhnya salah, tetapi jika kita rujuk ayat dalam Al-Baqarah:143 tersebut, ada pengertian lain yang mungkin untuk istilah “wasat”. Dalam konteks ayat di atas, istilah “wasat” harus dihubungkan dengan istilah yang muncul sesudahnya, yaitu “syuhada’”. Kita tak bisa memahami istilah yang pertama tanpa memperhatikan istilah yang kedua. Keduanya, menurut saya, saling menerangkan.
Jika istilah wasat kita kaitkan dengan istilah syuhada’, maka pengertiannya justru bukan “sesuatu yang tengah-tengah”. Istilah wasat di sana bermakna suatu sikap yang boleh jadi malah berwatak radikal, bukan tengah-tengah. Sebab wasat artinya adalah kemampuan kita untuk berdiri di tengah-tengah manusia untuk mendeklarasikan suatu sikap yang kita yakini benar, agar orang-orang lain menyasikannya (syuhada’). Meskipun sikap kita itu bertentangan dengan keyakinan publik.
Kata syuhada’ dalam ayat tadi, bagi saya, memiliki pengertian yang amat penting. Secara harafiah, syuhada’ artinya adalah “menjadi saksi”. Seorang yang mati syahid disebut demikian karena dia menyediakan dirinya sebagai saksi atas kebenaran di tengah-tengah publik luas. Seseorang disebut sebagai syahid karena dia siap mengorbankan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang benar, walau bertentangan dengan keyakinan umum.
Dalam istilah syahid tak ada konotasi “moderat” sama sekali. Syahid adalah tindakan heroik untuk menjadi saksi akan kebenaran yang tak populer. Bukan sikap moderat yang memiliki konotasi “lembek”.
Dalam bahasa Inggris, istilah syahid biasanya diterjemahkan sebagai “martyr”. Istilah yang terakhir ini secara harafiah artinya adalah seorang saksi, a witness. Seseorang disebut sebagai saksi karena ia melihat suatu kebenaran, suatu bukti. Seorang saksi dalam pengadilan disebut demikian karena ia melihat suatau “evidence”, bukti, kebenaran. Seorang martir adalah dia yang siap membiarkan nyawanya melayang untuk menjadi saksi atas kebenaran yang dibenci oleh opini umum.
Penggunaan kata “wasat” yang disandingkan dengan kata syuhada’ dalam ayat 2:143 di atas sama sekali tak menandakan bahwa istilah itu dimaksudkan sebagai “sikap tengah-tengah”. Bagi saya, yang dimaksudkan dengan “tengah-tengah” di sana bukanlah sikap itu sendiri. Apa yang dimaksud “tengah-tengah” di sana adalah keberanian kita berdiri di tengah-tengah khalayak ramai untuk mengumumkan kebenaran yang tak populer. Keberanian berdiri di tengah-tengah publik untuk menyiarkan keyakinan seseorang yang tak populer, itulah yang disebut dengan syuhada’.
Dengan demikian, ciri umat Islam yang dikehendaki oleh ayat 2:143 bukanlah umat yang mengambil sikap tengah, melainkan umat yang berani mengumumkan sebuah sikap yang mereka yakini benar di tengah-tengah opini publik yang bergerak justru ke arah lain. Umat yang wasat, dengan demikian, bukan umat tengah-tengah, melainkan “an ummah who dares speak the truth”, umat yang berani mengatakan kebenaran yang tak populer.
Istilah syuhada’ dalam ayat tadi diikuti oleh sebuah preposisi ‘ala, sehingga berbunyi: syuhada’ ‘ala al-nas – menjadi saksi atas khalayak ramai. Preposisi ‘ala, secara semantik, mengandung pengertian isti’la’ yang bisa kita terjemahkan sebagai “standing on a higher moral ground”, berdiri di suatu ketinggian moral. Menjadi saksi, dengan demikian, mengandung makna: seseorang bediri di atas posisi yang secara moral lebih tinggi, sebab dia meyakini kebenaran apa yang ia katakan, walau bertentangan dengan keyakinan publik.
Di sini, kita mendapatkan suatu pengertian baru tentang etika tawassut yang kerap dikutip oleh taman-teman di lingkungan Nahdlatul Ulama. Istilah tawassut selama ini juga dimaknai sebagai sikap tengah-tengah. Dengan pemahaman ulang atas ayat 2:143 di atas, saya mencoba memberikan pengertian baru atas istilah itu. Tawassut bukan sikap tengah-tengah, tetapi keberanian berkata benar walalu bertentangan dengan keyakinan publik.
Istilah “wasat” dalam pengertian yang saya sebutkan tadi berkorelasi dengan sebuah hadis riwayat Tirmizi yang cukup populer. Dalam hadis itu disebutkan bahwa salah satu jihad yang paling “top markotop” adalah keberanian mengatakan kebenaran kepada kekuasaan yang despotik, qawlu haqqin ‘inda sulthanin ja’ir. Atau, dalam istilah yang populer di kalangan Kristen Quaker, “speaking truth to the power”.
Keberanian mengatakan kebenaran yang tak populer ini, bagi saya, merupakan salah satu kebajikan yang sangat kita butuhkan hari-hari ini. Di tengah-tengah opini publik yang hari-hari ini digiring untuk, misalnya, menyesatkan Syiah dan menganggapnya sebagai kelompok di luar Islam, menjadi seorang Muslim yang moderat dalam pengertian “wasat” artinya adalah keberanian mengatakan kebenaran yang satu ini: bahwa Syiah adalah bagian yang sah dari Islam.
Menjadi Muslim moderat bukan berarti mengambil sikap tengah-tengah dalam pengertian menghindari ekstrimitas. Menjadi Muslim moderat artinya adalah keberanian mengatakan kebenaran yang tak populer, sekalipun itu kebenaran yang menurut “standar umum” dipandang ekstrim. Sebab, saat Nabi Muhammad membawa misi kebenaran di tengah-tengah masyarakat Arab saat itu, ia tak memilih jalan tengah. Dia memilih jalan “wasat” dalam pengertian: speaking truth to the power that be![]