IslamLib – Buya Syafii Maarif, melalui tulisannya di Republika (18/08), meratapi Sumatera Barat yang dia nilai begitu mundur. Kemunduran itu, menurut Buya Syafii terjadi karena hilangnya tradisi berpikir di sana. Sumatera Barat memang salah satu lumbung lahirnya para tokoh pemikir bangsa. Syafii menyatakan: “Dulu ranah ini mendapat julukan sebagai ‘industri otak,’ kini kita tidak tahu ke mana otak-otak itu bersembunyi.”
Kesimpulannya, menurut Syafii Maarif, Sumatera Barat dulu maju, sekarang mundur. Terlepas apakah kesimpulan tokoh Minang ini valid atau tidak, saya ingin mengajak pembaca membicarakan hal ini secara lebih luas tentang apa yang menyebabkan suatu bangsa maju dan yang lain mundur.
Ini sebetulnya adalah pertanyaan yang sudah sangat lama. Bermacam-macam penjelasan dikemukakan. Pertama, geografi. Banyak yang mengaitkan antara keterbelakangan wilayah Afrika, misalnya, dengan kondisi geografi mereka yang panas dan tandus. Tetumbuhan yang sangat dibutuhkan sulit berkembang di sana.
Penjelasan ini mudah dibantah dengan mengemukakan contoh wilayah lain yang memiliki kondisi alam yang parah terutama di musim dingin seperti Jepang dan Eropa dan toh mereka tetap maju. Sebaliknya, negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia, diliputi oleh kekayaan alam, namun tidak semaju negara-negara lain yang minim sumber daya alam.
Kedua, budaya. Penjelasan mengenai faktor budaya ini telah banyak sekali dikemukakan oleh para pemikir sosial. Dari tradisi Barat kita kenal Max Weber yang menyatakan bahwa kapitalisme yang merupakan penggerak utama kemajuan Barat itu memiliki keterkaitan dengan etika Protestan yang menekankan pada spiritualitas yang berorientasi pada dunia.
Di luar Protestantisme, misalnya Islam, tidak ada semangat mengejar surga duniawi semacam itu. Samuel Huntington, The Clash of Civilizations, bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa persoalan bagi Barat bukanlah fundamentalisme Islam, tapi Islam itu sendiri.
Di sisi yang lain, pemikir progressif Muslim, seperti Muhammad Abduh, justru melihat semangat kemajuan inheren dalam ajaran-ajaran Islam. Islam, oleh Abduh, digambarkan sebagai agama Samawi terakhir yang berbicara pada masyarakat yang sudah dewasa. Karenanya, dibanding dua Kitab Suci Samawi sebelumnya, Al-Quran lebih rasional.
Kemajuan yang dialami Barat, bagi Abduh, adalah suatu bentuk pengamalan hakikat ajaran Islam. Terkenal dari Abduh bahwa dia melihat Islam di Barat tapi tidak melihat orang-orang Islam, sebaliknya dia melihat orang-orang Islam di Timur tapi tidak melihat Islam. Artinya, orang Islam mengalami kemunduran karena meninggalkan ajaran Islam yang sebetulnya mendukung penuh gagasan-gagasan kemajuan.
Sebagaimana penjelasan mengenai letak geografi, penjelasan budaya juga tidak memadai. Timur Tengah dan Afrika Utara di masa lalu pernah menjadi pusat peradaban dunia namun sekarang mundur dan miskin, padahal penduduknya memiliki budaya dan agama yang sama: Arab dan Islam. Amerika Selatan pernah sangat maju di bawah peradaban Inca dan Aztec, namun sekarang mundur.
Wilayah Mexico dulu adalah pusat peradaban suku Maya, namun sekarang begitu mundur dibanding dengan negara sebelahnya, Amerika Serikat. Dan yang paling mencolok adalah perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan, sama-sama Korea tapi berbeda 180 derajat dalam kesejahteraan dan kemajuan.
Selain dua penjelasan populer ini, ada penjelasan lain yang lebih, yakni bahwa kemunduran suatu wilayah atau negara semata-mata karena ketidakmampuan pemimpinnya menyelesaikan persolan. Negara-negara Afrika miskin semata-mata karena para pemimpinnya tidak tahu bagaimana membawa negaranya maju. Namun penjelasan ini terlalu sederhana dan karenanya tidak memadai.
Jika demikian, lantas apa faktor utama yang membuat suatu wilayah atau negara maju sementara yang lain mundur? Saya ingin menggunakan argumen sebagaimana yang dijelaskan oleh dua ekonom terkemuka, Daron Acemoglu dan James A. Robinson.
Dalam buku, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, mereka menyebut bahwa alasan utama kemajuan dan kemunduran itu terletak pada institusi ekonomi dan politik suatu wilayah. Institusi ekonomi dan politik yang inklusif atau terbuka adalah alasan utama yang membuat sebuah negara menjadi maju. Sebaliknya, institusi ekonomi dan politik yang tertutup adalah penyebab kemunduran.
Sistem ekonomi yang terbuka, menurut Acemoglu dan Robinson, ditandai dengan adanya hak kepemilikan pribadi, inovasi, kompetisi dan kreatifitas. Sementara pada sistem ekonomi tertutup, hak milik pribadi sangat sempit, inovasi terkekang, kompetisi dicibir dan ruang kreatifitas tertutup. Hal yang sama terjadi pada sistem politik.
Dengan pengakuan pada hak kepemilikan pribadi, misalnya, para invator dan penemu memiliki hak mutlak atas karya mereka. Selanjutnya, iklim ekonomi yang terbuka memungkinkan mereka untuk memproduksi temuan itu secara massif dan ditawarkan ke pasar secara bebas.
Mari kita ambil contoh, Bill Gates, pendiri Microsoft. Menurut Acemoglu dan Robinson, Bill Gates diuntungkan pertama-tama oleh sistem sekolah di Amerika Serikat yang memungkinnya untuk mengasah skill dan memaksimalkan bakatnya. Institusi ekonomi Amerika yang bebas memungkinkannya memulai perusahaan dengan relatif mudah.
Pasar tenaga kerja AS yang sangat kondusif memungkinkannya merekrut tenaga-tenaga kerja professional dan berkualifikasi. Jaminan negara atas keamanan berusaha dan hak kepemilikan pribadi membuat perusahaannya bisa terus tumbuh dan semakin besar. Dan yang juga sangat menguntungkannya adalah institusi politik yang menjamin stabilitas dan kontinuitas usaha.
Inilah yang menjelaskan kenapa Amerika Serikat begitu maju sementara tetangganya, Mexico, terpuruk. Persis ini pula yang menjelaskan kenapa Korea Selatan gemerlap, sementara Korea Utara kelam. Pada halaman 72 buku mereka, Acemoglu dan Robinson menunjukkan sebuah foto satelit yang diambil di waktu malam. Di foto itu terlihat wajah dua Korea di waktu malam: Korea Selatan yang demokratis dan menganut ekonomi terbuka berbinar cahaya, sementara Korea Utara yang totaliter dan menganut sistem ekonomi tertutup gelap gulita.
Nah, apakah ratapan Buya Syafii Maarif tentang terpuruknya salah satu pusat peradaban Indonesia, Sumatera Barat, terkait dengan berkurangnya inklusifitas institusi ekonomi dan politik di sana? Sangat mungkin. Dan bukan hanya di Sumatera Barat, tapi di seluruh negeri.
Selama tiga puluh dua tahun, Orde Baru memang melumpuhkan inklusifitas politik Indonesia, tak terkecuali Sumatera Barat. Di pertengahan akhir Orde Baru, kroniisme membuat sektor ekonomi kita terjerumus ke dalam apa yang disebut ‘state capitalism’ di mana negara, melalui para kroni, mengatur hitam-putihnya ekonomi kita.
Khusus mengenai Sumatera Barat, beberapa tahun terakhir, muncul tantangan kekangan baru dalam bentuk pembatasan kebebasan berekspresi. Beberapa bentuk syariat Islam diberlakukan untuk membatasi warganya dari aktifitas publik. Di antara peraturan itu adalah Perda di Kabupaten Solok, Kota Padang, Pasaman, Limapuluh Kota, dan lain-lain tentang kewajiban baca Quran untuk siswa dan pengantin, Perda Kota Solok, Pesisir Selatang dan Kota Padang tentang kewajiban berbusana muslim dan muslimah, atau Perda Padang tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit masyarakat.
Kelompok-kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah, dipinggirkan sedemikian rupa. Dari wilayah ini pula, muncul kasus Aan, seorang calon PNS yang batal jadi PNS bahkan masuk penjara hanya gara-gara mendeklarasikan diri atheis di media sosialnya.
Kekangan yang datang dari pelbagai arah itu membuat warga tidak berada dalam kondisi yang baik untuk memaksimalkan kreatifitas dan inovasi. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan menempatkan provinsi Sumatera Barat di tingkat ketiga terbawah dalam indeks kebahagiaan nasional. Hilangnya keterbukaan dalam ekonomi dan politik tidak hanya mengurangi peluang suatu wilayah untuk meraih kesejahteraan, tapi juga bisa menjauhkan ketentraman jiwa.