Para penganut agama Abrahimik sudah akrab dengan kisah Habil dan Qabil. Mereka adalah dua bersaudara, Putra dari manusia pertama, Adam. Kisah mereka terukir dalam 3 kitab suci : Taurat, Injil dan Al-Quran sebagai Fractricide, pembunuhan sesama saudara sekaligus pertama kalinya manusia menumpahkan darah sesamanya.
Elegi itu bermula, ketika Tuhan memerintahkan agar Habil dan Qabil menyajikan persembahan padaNYA. Qabil yang bekerja sebagai petani, mempersembahkan sayur mayur dan buah-buahan pada Tuhan sedangkan Habil yang seorang pemburu memutuskan untuk mempersembahkan seekor domba.
Aroma kompetisi sudah terasa sejak awal ketika Tuhan memberikan instruksi tersebut, sudah pasti hanya ada satu pemenang dan yang lain akan jadi pecundang. Tuhan menampik persembahan Qabil yang ijo royo-royo itu dan dengan isyarat bola api merah padam yang turun dari langit, Ia memfavoritkan jasad hewan tak bernyawa pemberian Habil yang disambut oleh Habil dengan takzim, bersyukur atas karunia tersebut.
Layaknya tukang sayur yang patah hati karena ditolak oleh gadis penghuni rumah mewah, Qabil merasa ia tak diperlakukan dengan adil oleh Tuhan, butir-butir keringatnya tak dihargai. Hal tersebut memercikkan amarah di hati Qabil, memberangus segala angan tentang cinta sesama saudara, mematri dendam dalam derita, mengelorakan api kemurkaan dalam jiwa.
Malang bagi Habil, Qabil pun melancarkan aksi balas dendam. Ketika Habil lengah, Qabil menumbuk kepala saudaranya itu dengan batu kelam. Benua darah pun menganga, membanjir deras membasahi luka.
Ali Shariati, seorang cendikiawan asal Iran yang dijuluki ‘ideolog’ Revolusi Iran, menganalisis kisah tersebut dalam bukunya yang berjudul Hajj. Ali Shariati berargumen bahwa peristiwa tersebut menandai proses bergeraknya sejarah manusia, dimana dinamika masyarakat bergerak dalam suatu dialektika dari fase Habil yang Pastoralis ke fase Qabil yang Agrikulturalis.
Ali Shariati, yang notabene adalah cendikiawan beraliran kiri, memproyeksikan realita sosial lewat skema oposisi biner dimana stratifikasi terbagi atas dua kutub bipolar, yaitu struktur Habilian yang merupakan refleksi golongan proletar yang tak memiliki alat-alat produksi dan struktur Qabilian yang berperan sebagai kelas penguasa, golongan borjuis dan selalu mengeksploitasi golongan proletar.
Relasi antara struktur Habilian dan Qabilian dapat dijelaskan dengan lebih mudah lewat eksplanasi historis. Pada awalnya, pertanian umumnya menghasilkan surplus pada masa panen, dimana biji-bijian, kentang atau padi bertimbun-timbun yang tentunya mustahil dimakan saat itu juga. Maka, kelebihannya harus disimpan dalam lumbung sebagai persediaan untuk menghadapi musim dingin atau musim kemarau.
Nah, pertanyaannya : siapa pemilik kelebihan itu ?. Tidak seperti masyarakat pastoralis yang mencari rusa di hutan lalu bisa habis dikonsumsi dalam sehari, masyarakat agrikulturalis memungkinkan Primus Interpares, orang terkuat dan paling berpengaruh dalam komunitasnya untuk memonopoli sumber energi siapapun dan mengaturnya.
Dengan berkembangnya pertanian, timbullah kelas tuan tanah yang mengutip hasil panen untuk mereka sendiri, sebanyak 50% hasil panen sudah tergolong lumrah, kendati mereka sama sekali tak berkeringat selama proses produksi. Surplus yang terpusat itu, kemudian menjadi pangkal lahirnya organisasi sosial.
Dengan terciptanya organisasi sosial, muncullah kelas penguasa yang menobatkan diirnya sebagai Raja, menggaji tentara untuk memaksa petani terus tunduk dan membayar cendikiawan atau pendeta untuk menggagas ide-ide agar para petani tetap bertekuk lutut dihadapan para aristokrat. Para petani, tak bisa kembali begitu saja menjadi penburu, karena kegiatan itu sudah diklaim oleh para bangsawan sebagai hobi eksklusif untuk mengeliminir kejemuan.
Masih menurut Ali Shariati, fenomena relasi Petani Raja, tentara dan Pendeta atau cerdik pandai dalam struktur masyarakat Qabilian, disebut Trinitas Sosial, dimana ketiga elemen itu berperan dalam proses penindasan masyarakat lewat kekuasaan politik, eksploitasi ekonomi dan pencucian otak lewat doktrin-doktrin legal maupun petuah untuk menyimpuhkan lutut dihadapan kekuatan yang transendental.
Stuktur yang demikian, dapat dengan mudah kita temukan dalam masyarakat Indo-Eropa klasik. George Dumezil, Pakar Filologi Komparatif asal Prancis, mengemukakan teori yang disebut Hipotesis Trifungsional. Ia mengatakan bahwa relasi antara kelas bangsawan, prajurit tempur dan petani dalam masyarakat Indo-Eropa klasik dapat diproyeksikan kedalam struktur teologi masyarakat yang bersifat pragmatis, dimana para Dewa memiliki fungsi-fungsi yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat.
Siapakah masyarakat Indo-Eropa klasik itu ? yaitu mereka yang menuturkan Bahasa Indo-Eropa, yang tersebar dari kepulauan Britania hingga anak benua India, yakni orang Iran, India Utara, Italia, Yunani, Jerman, Inggris, Belanda, Rusia, Prancis, Irlandia, dan masih banyak lagi.
Ekspansi teritorial maupun kultural masyarakat Indo-Eropa, memberikan implikasi, tersemainya wacana alam pemikiran Indo-Eropa pada masyarakat yang mereka datangi, dari mulai Benua Amerika hingga masyarakat di Bumi Nusantara.
Pengaruh struktur masyarakat Indo-Eropa kedalam kepercayaan mereka dapat kita gambarkan seperti ini : Di India, kita mengenal Trimurti: Brahma melambangkan kependetaan, Wisnu dengan senjata Gada serta Chakra Sudarshan melambangkan keprajuritan dan Mahadeva Shiva dengan Trisulanya melambangkan petani yang sedang mengolah jerami. Di Jerman dan Skandinavia, ada Odin yang melambangkan kependetaan, Thor melambangkan keprajuritan dan Freya melambangkan kesuburan.
Masyarakat Slavia seperti Rusia, Polandia, Serbia dan Ceko, mengenal konsep Triglav : Svarog sang Pekerja, Paron yang gemar berperang dan Stribog sang Penguasa. Di Yunani kita mengenal Zeus sang penguasa, Poseidon dengan kereta perang lautannya dan Hades sang penguasa dunia bawah yang penuh kesuburan. Sedangkan masyarakat Celtic Skotlandia, Irlandia dan Prancis kuno juga memuja Esus sang Dewa Petani Perambah Hutan, Taranis sang Dewa prajurit yang bersenjata mirip Chakra Dewa Vishnu dan Toutatis sang Dewa Pelindung Suku.
Mungkin kita bertanya-tanya? mengapa Stratifikasi Trifungsional dalam Agama, sangat kental mengendap dalam alam pikiran masyarakat Indo-Eropa? Bukannya bangsa Semit yang hidup di Timur Tengah dan menjadi lingkungan yang seringkali diimajinasikan sebagai latar kisah Habil dan Qabil?
Alasannya, karena kesuburan hara tanah di wilayah Timur Tengah tidak terdistribusi merata, sehingga meskipun fenomena serta praktik Stratifikasi dan Teologi Trifungsional eksis pula di Timur Tengah atau di wilayah lain di berbagai belahan bumi, derajat spektrumnya tak seperti di Benua Eropa atau anak benua India yang lebih subur.
Teologi Trifungsional yang dianut oleh masyarakat Indo-Eropa Klasik tersebut kemudian ikut berpengaruh pula terhadap cara masyarakat Eropa dalam menginterpretasikan teologi agama Kristen yang berasal dari Timur Tengah. Terciptalah varian baru monoteisme yang disebut Trinitas, esensinya tetap satu namun berdimensi tiga.
Struktur Qabilian yang bersumber dari feodalisme agrarian dan diadopsi teologi keagamaan dimana perkawinan kepentingan antara penguasa, aparat bersenjata dan pemuka agama, tentunya membawa penderitaan pada rakyat kecil yang terkungkung pada kasta terbawah.
Maka dari itu, Sekularisme diperkenalkan untuk menciptakan segregasi antara agama dan negara guna mereduksi kepedihan masyarakat. Lebih revolusioner dan menggebu-gebu, Komunisme juga ikut terlahir sebagai modus baru guna memberangus kelas bangsawan yang selalu memperbudak kelas marjinal dan agamawan yang dianggap sebagai kolaboratornya.
Namun, kenyataannya tak semudah yang dibayangkan atau seindah yang diharapkan. Struktur Qabilian telah mengakar dalam dan eksis selama lebih dari satu millennium, menembus berbagai macam rintangan dan perubahan zaman. Kita bisa melihat fakta dilapangan, Gereja Katolik Roma masih memiliki pengaruh di Polandia, Lithuania, Slovakia, Austria dan Jerman Selatan. Uni Soviet sebagai benteng kolosal Komunisme pun runtuh dan masyarakatnya berbondong-bondong kembali ke pangkuan para Patriarch Gereja Ortodox.
Kelihatannya, perjalanan menuju kebebasan masih sangat-sangat panjang.