Home » Kajian » Fikih » Dari Nalar Qiyas, Menuju Nalar Maslahah

Dari Nalar Qiyas, Menuju Nalar Maslahah

4.56/5 (18)

IslamLib – David Johnston dalam artikelnya, A Turn in The Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Ushul al-Fiqh, menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma hukum Islam di era modern. Kesimpulan ini berangkat dari fakta masifnya penggunaan nalar maslahah dalam menganalisis kasus-kasus baru. Padahal beberapa abad silam, pendekatan ini sangat jarang digunakan, bahkan ada kesan sarjana Islam awal sangat anti menggunakannya.

Menurut Johnston, logika maslahah sebenarnya sangat identik dengan teologi Mu’tazilah. Sebab kalangan inilah yang paling getol mewacanakan maslahat dalam konteks perdebatan teologis. Wacana yang digulirkan Mu’tazilah ini banyak dikritik oleh lawan debatnya, yaitu dari kubu Asy’ari. Menurut mereka, tidak perlu mempertanyakan apakah tuhan akan memberikan kemaslahatan manusia atau tidak. Yang paling penting tugas manusia adalah mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, tanpa mempertanyakan makna yang terbesit dalam setiap perintah dan larangan.

Tanpa disadari, perdebatan dua madzhab teologis ini juga berpengaruh terhadap logika hukum Islam. Karena  madzhab Asy’ari adalah madzhab teologis yang dominan kala itu, sehingga sangat jarang ditemukan maslahah dijadikan sebagai pertimbangan dalam memformulasikan hukum. Meskipun maslahah digunakan dalam beberapa kasus, namun penggunaannya masih bersifat apologetik. Maslahah dibatasi hanya untuk mengukuhkan hukum yang sudah ada, bukan untuk memproduksi maupun merekontruksi hukum yang sudah baku.

Qiyas dijadikan sebagai metode alternatif oleh sarjana Islam klasik untuk menjawab masalah-masalah baru yang tidak ditemukan landasannya dalam Qur’an dan hadis. Dilihat dari sejarah kemunculannya, qiyas sebenarnya adalah respons terhadap penggunaan rasionalitas yang sangat masif waktu itu. Bahkan, Ahmad Hassan menunjukan beberapa ulama pra-kodifikasi ushul fikih, yang berfatwa tanpa menggunakan legitimasi teks secara langsung, namun menjawab pertanyaan dengan dalil ‘aqli.

Patokan utama (al-ashl) metode qiyas adalah teks (nash). Qiyas dianggap batal ketika tidak ada teks yang mendukung analogi tersebut. Akhirnya, mau tak mau seorang ahli hukum harus mampu menemukan teks yang cocok untuk jawaban atas kasus-kasus baru. Walaupun hakikatnya teks tersebut tidak berhubungan langsung dengan kasus baru itu. Ia bisa dikorelasikan dengan kasus baru jika ada ada kesamaan ‘illat di antara keduanya.

Dalam proses qiyas, maslahah tidak bisa dijadikan ‘illat kerena ia masih bersifat abstrak dan tidak jelas. Antara satu orang dengan lainnya bisa jadi berbeda dalam penentuan maslahah dan  kriterianya sangat subjektif. Dengan tidak dijadikannya maslahah sebagai ‘illat hukum ini, membuat epistemologi hukum Islam kaku dan mandul. Oleh karenanya, beberapa pemikir kontemporer mengusulkan agar maslahah dijadikan tumpuan utama dalam menentukan hukum.

Tentu tawaran ini tidak disetujui oleh banyak orang. Masih banyak juga sarjana Islam kontemporer yang mendukung teori qiyas dan mengkritisi penggunaan maslahah sebagai metodologi. Keinginan untuk mewacanakan maslahah ialah lebih didasari atas keprihatinan para akademisi terhadap stagnansi metodologi hukum Islam.

Dengan masuknya arus modernisasi dalam tubuh umat Islam, ada banyak kasus baru yang hampir tidak ditemukan legitimasinya dalam teks-teks keagamaan. Terlebih lagi, kondisi politik dunia yang mengharuskan umat Islam agar mampu bernegosiasi dengan nilai-nilai yang terlahir dari Barat, semisal HAM, demokrasi, dan lain-lain.

Oleh karenanya, al-Jabiri menawarkan perlunya rekontruksi bangunan epistemologi hukum Islam secara utuh. Rekontruksi hukum Islam ini sebenarnya sudah dicontohkan oleh al-Syatibi sejak beberapa abad silam. Ia berhasil menawarkan epistemologi hukum yang berbeda dengan sarjana Islam klasik sebelumnya. Sebab situasi yang dihadapinya sangat berbeda dengan kondisi sosial para pendahulunya.

Bagi al-Jabiri, semua perintah dan larangan tuhan itu memiliki dimensi maslahah dan bisa dirasionalkan. Mestinya, Tugas seorang seorang mujtahid ialah berusaha untuk menelusuri rasionalitas syariat dan mengaplikasikannya ke dalam setiap putusan hukum. Dalam bahasa lain, maqashid syari’ah (filosofi syari’at) lebih diprioritaskan ketimbang bentuk formal hukum itu sendiri.

Dalam tataran praktis, penggunaan qiyas seringkali mengabaikan prinsip ini, lantaran terlalu fokus pada teks dan melupakan makna di balik teks. Supaya mendapatkan gambaran utuh tentang kelemahan qiyas, perlu kiranya dijelaskan di sini kritik penting al-Jabiri terhadapnya. Setidaknya ada dua kritik al-Jabiri terhadap qiyas.

Pertama, pendekatan qiyas seringkali terjebak dalam ketidakpastian. Ketidakpastian itu berasal dari pemberian porsi yang sangat besar terhadap pendekatan kebahasaan. ketika menjelaskan hukum khamar, maka yang pertama kali dilakukan adalah mendefenisikan khamar itu sendiri. Apakah khamar sama dengan minuman beralkohol atau tidak. Sudah barang tentu antara masing-masing pakar akan berbeda-beda menafsirkannya. Setelah muncul hukum haram khamar, maka status hukum itu hanya berlaku untuk barang-barang yang sejenis dengan khamar. Sehingga akan menjadi perdebatan di sini, misalnya bagaimana dengan narkoba. Apakah narkoba masih bisa dianalogikan dengan khamar atau tidak?

Al-Jabiri mengusulkan bagaimana kalau dalam proses pemutusan hukum, langsung saja berpatokan kepada dimensi maslahah dari syari’at. Sebab ia lebih bersifat universal dan kompleks, tidak seperti qiyas yang sangat parsial. Ketika maslahah yang menjadi patokan, maka setiap kasus yang menegasikan kemaslahatan akan dihukumi haram.

Kedua, pendekatan qiyas tidak mampu untuk menangkap makna terdalam di balik hukum. Misalnya,  kebanyakan orang percaya bahwa hikmah dari potong tangan untuk pencuri adalah demi menjaga harta. Namun jika ditanya, kenapa hukumannya harus potong tangan dan bisakah diganti dengan hukuman yang lain? Atau kenapa orang yang zina harus dirajam? Bisakah hukuman untuk orang yang berzina diganti dengan kebiri? Pendekatan qiyas bisa dipastikan tidak akan mampu menjawab pertanyaan ini.

Hal ini berbeda dengan pendekatan maslahah (Felicitas Opwis mengistilahkannya dengan substansive rationality) yang menekankan kepada tujuan di balik hukum.

Untuk mengungkap aspek maslahah dan rasionalitas dari hukum ini tidak cukup berpatokan kepada teks. Tetapi juga harus menggunakan pendekatan sosio-historis guna mengetahui  alasan logis kenapa Allah SWT menyebutkan hukuman semacam itu dalam Qur’an. Melalui pendekatan ini dimungkinkan untuk mengubah hukum yang termaktub dalam Qur’an dengan hukum baru yang sesuai dengan zaman modern.

Menurut al-Jabiri, hukuman potong tangan adalah pengaruh dari hukum yang berlaku di waktu itu. Sebab Nabi Muhammad SAW hidup di zaman nomaden. Di mana mereka tidak akan mungkin membuat hukuman penjara seperti zaman sekarang. Tujuan dari pemberlakuan hukum ini ialah mencegah pencuri untuk mengulangi perbuatannya dan memberi tahu kepada khalayak bahwa statusnya sebagai pencuri.

Berdasarkan kritikan ini, ahli hukum Islam kontemporer perlu rasanya menimbang maslahah sebagai metodologi hukum Islam guna merumuskan hukum Islam yang produktif dan profresif. Maslahah yang ditekankan di sini, bukan saja maslahah yang berbasis pada teks, namun juga mengusulkan sebuah maslahah yang diperoleh dari penalaran akal sehat yang bisa dijadikan pertimbangan dalam putusan hukum.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.