Home » Kajian » Fikih » Maria Ulfah Anshor: “Fikih Aborsi tidak Hitam-Putih”
Maria Ulfah Anshor (Foto: kpai.go.id)

Maria Ulfah Anshor: “Fikih Aborsi tidak Hitam-Putih”

5/5 (1)

Di negara lain, persoalan aborsi menjadi isu kampanye yang membelah sikap partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu antara yang pro dan kontra. Di Indonesia, isu ini belum menjadi perdebatan publik pada musim kampanye.

Meski demikian, persoalan aborsi tetap perlu menjadi isu yang diperhatikan. Sebab faktanya, tak kurang dari 2 juta perempuan Indonesia setiap tahun melakukan tindak aborsi karena kehamilan yang tidak mereka kehendaki.

Yang mengkhawatirkan, kebanyakan melakukan praktik aborsi secara tidak aman, sehingga ikut mendongkrak angka kematian ibu melahirkan di Indonesia. Lantas adakah payung hukum yang meregulasi persoalan aborsi dan menjamin keselamatan reproduksi perempuan? Bagaimana pula perspektif hukum Islam dalam pokok soal ini?

Untuk mendalaminya, Novriantoni Kahar dan Abd. Moqsith Ghazali dari Jaringan Islam Liberal (JIL) berbincang-bincang dengan Dra. Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum Fatayat NU. Perbincangan dengan penerima Saparinah Sadli Award untuk dedikasinya dalam pembelaan hak-hak reproduksi perempuan itu berlangsung Kamis (9/12) kemarin. Berikut petikannya.

 

Bu Maria, Agustus lalu Anda mendapatkan Saparinah Sadli Award untuk dedikasi Anda dalam membela hak-hak reproduksi perempuan melalui penelitian berjudul Fiqh Aborsi Alternatif untuk Penguatan Hak-hak Reproduksi Perempuan. Sebenarnya seberapa penting isu aborsi di Indonesia?

Saya kira sangat penting. Sebab, soal aborsi adalah persoalan yang sangat kompleks, tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang agama, hukum, atau medis saja. Dia harus dilihat secara komprehensif, karena pokok persoalan ini bukan berdiri sendiri. Ada berbagai faktor yang dapat kita lihat, termasuk agama, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

Selama ini, ketika kita bicara tentang aborsi, yang menjadi sasaran dan korban selalu kaum perempuan. Padahal penyebab orang melakukan aborsi beragam, termasuk partisipasi laki-laki yang selama ini tidak dilihat sebagai bagian dari pihak yang ikut berproses dalam kehamilan yang tidak dikehendaki.

Berdasarkan penelitian Anda, siapa yang banyak melakukan aborsi dan atas dasar apa?

Saya tidak melakukan penelitian baru, tapi berangkat dari penelitian yang sudah dilakukan Pusat Kesehatan UI dan Yayasan Kesehatan Perempuan tahun 2003. Di situ ditemukan bahwa 87 % mereka yang melakukan aborsi adalah ibu rumah tangga dengan suami yang sah.

Prof. Budi dan kawan-kawannya menemukan bahwa dalam setiap tahun terdapat 2 juta lebih kasus aborsi. Bahkan lembaga lain menemukan, dari 2 juta kasus pertahun itu, kebanyakan melakukan aborsi yang tidak aman.

Selain itu, saya juga mencermati dari sisi lain di mana angka kematian ibu di Indonesia termasuk kategori sangat tinggi dibanding negara lain. Di ASEAN, Indonesia yang tertinggi. Sampai saat ini, data valid menyebutkan angkanya berkisar antara 373-800 orang per 100,000 kelahiran hidup (selamat). Nah, salah satu faktornya adalah pendarahan.

Dalam kasus pendarahan inilah terdapat kasus aborsi yang tidak aman. Kasus aborsi yang menyebabkan kematian berkisar antara 13-50 % dari kasus kematian akibat pendarahan.

Apakah hukum kita membuka ruang bagi tindakan aborsi demi menjamin terselenggaranya aborsi yang aman?

Sama sekali tidak. Jadi, UU kita menutup sama sekali praktik aborsi dengan alasan apapun. Dalam UU Kesehatan terlihat sekali bahwa klausul tentang aborsi itu sangat bias (gender). Di situ diterangkan, dokter bisa mengambil tindakan tertentu untuk menyelamatkan ibu dan janinnya.

Klausul ini kan menyangkut dua hal yang tidak mungkin dilakukan dalam konteks aborsi, dengan alasan menyelamatkan nyawa kedua-duanya. Padahal, dalam aborsi pasti ada yang dikorbankan.

Sekarang mari kita mengelaborasi apa kata fikih Islam soal aborsi. Apa yang anda temukan dalam buku-buku fikih?

Saya mencoba melakukan penelitian literatur dari empat mazhab fikih: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dari situ, kita dapat menemukan pendapat-pendapat yang kontroversial di kalangan ulama.

Di kalangan penganut mazhab Syafi’i sendiri, ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Di mazhab lain juga sama. Ini memang isu khilafiah sejak zaman dulu. Makanya, saya tidak memilih mana pandangan yang paling baik dan paling benar. Saya hanya ingin menegaskan bahwa dalam fikih terdapat wacana yang begitu beragam tentang aborsi.

Nah, ini sebenarnya misi yang saya angkat. Sebab, hampir mayoritas orang Islam di Indonesia mengatakan bahwa aborsi itu haram. Padahal dalam kitab-kitab fikih, bahkan di kalangan Syafi’i yang nota bene menjadi panutan mayoritas umat Islam di Indonesia, juga ada yang membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.

Apakah dengan beragamnya pandangan ulama fikih menyangkut aborsi, umat Islam bisa punya wewenang untuk memilih mana yang dianggap baik bagi dirinya: melaukan aborsi atau tidak?

Kalau saya melihatnya dari perspektif perempuan, ya! Selama ini, ketika dihadapkan pada persoalan kehamilan yang tidak dikehendaki, perempuan yang paling terbebani dan paling bertanggung jawab. Untuk mendapat pelayanan aborsi yang aman saja, nyaris tidak ada dokter yang mau memberi pertolongan.

Begitu dia cerita kalau dia tidak menghendaki kehamilannya, apakah akibat perkosaan atau sebab lain, dokter selalu menolak. Sehingga kemudian mereka lari ke praktik-praktik dukun atau melalukan aborsi sendiri. Kasus seperti inilah yang paling sering menimbulkan resiko pendarahan.

Di sisi lain, masyarakat juga selalu menganggap kasus aborsi itu pasti akibat kehamilan di luar nikah. Mereka yang melakukannya dianggap berdosa. Padahal mereka punya beban yang sangat tinggi kalau anaknya sampai lahir.

Misalnya orang yang diperkosa lalu hamil. Mereka adalah korban. Tapi ketika menghadapi persoalan ini, masyarakat tidak ada yang berempati atau memberi solusi, dan selalu saja bertindak menghakimi.

Tadi Anda membahas fikih Islam yang belum tersingkap di masyarakat, sehingga terjadi resiko aborsi tidak aman bagi perempuan. Apa yang bisa ditimba masyarakat dari kajian Anda ini?

Untuk kasus kehamilan yang tidak dikehendaki karena bencana perkosaan, dilihat dari sisi apapun tentu sangat membebani perempuan. Untuk kasus seperti ini, mesti dicarikan solusi yang bijak.

Kalau si perempuan tidak mampu menanggung itu, baik secara medis maupun psikis, maka kalau mereka tidak menginginkan anaknya, segera saja digugurkan. Segera lakukan, dan jangan menunda.

Melihat sisi pertumbuhan embrio, masa yang paling aman untuk melakukan aborsi adalah sebelum sampai 42 hari masa kehamilan. Pertimbangannya, karena proses pertumbuhan embrio sebelum 42 hari masih tergolong belum sempurna. Masih dalam taraf pembentukan, tetapi belum sempurna.

Kalau dilakukan sebelum 40 hari, dia masih dalam bentuk sel. Jadi, 40 hari pertama, seperti diinformasikan Alqur’an dan Hadis masih dalam tahap nutfah, sel yang belum berbentuk organ-organ.

Secara medis, sebelum 40 hari masih tergolong aman, dan secara syar’i sendiri memiliki dasar hukum yang kuat. Dalam hadis diterangkan, apabila nutfah telah melewati masa 42 hari, Allah akan mengutus malaikat untuk membentuk rupa, penglihatan, daging, dan lain sebagainya.

Lalu malaikat berkata: wahai Tuhan apa akan dijadikan laki-laki atau perempuan? Ketika itulah Allah menentukan akan dijadikan laki-laki atau perempuan. Jadi, pada hadis ini sebetulnya tersirat bahwa sebelum 42 hari, prosesnya belum terbentuk, termasuk penentuan jenis kelamin.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.