Jamal kemudian berangkat lebih lanjut untuk melihat doktrin ini dalam konteks pengaturan kehidupan bersama manusia di muka bumi. Ia juga menemukan landasan keagamaan bahwa pada dasarnya segala yang ada di muka bumi ini bebas, boleh atau halal. Ketidakbebasan, pembatasan atau keharaman adalah pengecualian belaka.
Sebagai pengecualian, maka ia adalah sedikit sekali. Secara umum ia mengemukakan, batasan-batasan tersebut diberlakukan dalam hal-hal : bentuk peribadatan, barang-barang yang merusak diri tubuh (dharar) dan aktifitas-aktifitas yang melanggar hak-hak dasar manusia : kultus atau menuhankan selain Allah (isyrak/musyrik), penindasan (kezaliman), perendahan martabat dan kesucian tubuh, perampasan hak ekonomi.
Jamal mengatakan :“Inna Ashl al-Ibahah La yaqtashir ‘ala al-Asy-ya wa al-A’yan, bal Yasymal al-Af’al wa al-Tasharrufat allati Laisat min Umur al-Ibadah. Wa Hiya allati Nusammiha al-‘Adat aw al-Mu’amalat. Fa al-Ash fiha ‘Adam al-Tahrim”.
(Prinsip dasar pilihan (kebolehan) tidak terbatas pada barang-barang (seperti makanan, pen.) dan benda-benda, tetapi meliputi tingkah-laku dan tindakan-tindakan selain urusan ibadah. Kita menyebutnya adat-istiadat, tradisi-tradisi dan pergaulan sosial).
Para ahli fiqh sebenarnya mengakui kaedah ini. Mereka mengungkapkan dalam redaksi yang beragam : “Al-Ashl fi al-Asy-ya al-Ibahah”, “Al-Ashl fi al-Mu’amalat al-Ibahah”, Al-Ashl Bara-ah al-Dzimmah”, “al-Ashl fi al-Tasharrufat al-Ibahah”dan sebagainya.
Meski demikian, mereka acap mengabaikan kaedah-kaedah ini. Mereka lebih senang dan memilih menggunakan kaedah yang sebaliknya : Yakni “Sadd al-Dzari’ah” (menutup pintu/peluang bagi terjadinya keburukan/bahaya). Ini merupakan mekanis hukum guna membatasi, mengontrol dan proteksionistik.
Dengan kaedah ini mereka seakan-akan melihat bahwa segala hal, baik makanan maupun perilaku dan relasi antara manusia adalah buruk, membahayakan, mengancam, atau paling tidak, patut dicurigai, dikhawatirkan atau diduga membahayakan. Seakan-akan tak ada lagi yang halal. Imam al-Ghazali mengkritik cara melihat seperti ini dengan mengatakan :
يظن الجاهل أن الحلال مفقود وأن السبيل اليه مسدود حتى لا يبقى من الطيب إلا المآء والحشيش النابت فى الموات . وما عداه أحالته (أخبثته) الايدى العادية وأفسدته المعاملة الفاسدة . وليس كدلك.
“Yazhunn al-Jahil anna al-Halal Mafqud, wa anna al-Sabil ilaihi Masdud Hatta La yabqa Min al-Thayyib Illa al-Ma wa al-Hasyisy al-Nabit fi al-Mawat. Wa Ma ‘adahu Ahalathu al-Aydi al-‘Adiyah wa Afsadathu al-Mu’amalah al-Fasidah. Wa Laisa Kadzalik”.
(orang bodoh mengira bahwa makanan yang halal telah hilang. Jalan ke arahnya tertutup, sehingga (sumber hidup) yang baik hanyalah air dan rumput-rumput di padang tandus. Selainnya telah dicemari oleh tangan-tangan kotor dan transaksi-transaksi yang merusak. Padahal tidaklah demikian).
Di bawah cara pandang seperti itu, para ahli fiqh kemudian memproduksi secara besar-besaran hukum-hukum yang melarang, mengharamkan, membatasi, mengontrol dan memproteksi tingkah-laku manusia, baik secara individu maupun sosial.
Produk-produk ini jauh lebih banyak daripada produk-produk hukum yang membolehkan, menghalalkan, membebaskan, memberikan pilihan dan membuka lebar ruang bergerak, kreatifitas dan inovasi masyarakat manusia.
Dalam waktu yang sama mereka juga memproduksi sebaliknya : mewajibkan atau mengharuskan melakukan ini dan itu. Mereka, misalnya, mengharamkan keterbukaan tubuh perempuan sekaligus mewajibkan mereka memakai hijab, cadar dan sejenisnya.
Mereka melarang mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman-teman yang beragama Nasrani. Ini merupakan cara pandang negatif terhadap manusia. Hanya karena identitas sosial atau agamanya, ia sudah dianggap buruk, salah atau musuh.
Tak dapat dielakkan jika hal ini pada gilirannya melahirkan, bukan hanya stagnasi (kemandegan) peradaban Islam dan kaum muslimin, melainkan juga sangat berpotensi mengkriminalisasi dan memusuhi manusia (orang lain, liyan), mereduksi dan mencabut hak-hak dasar mereka.
Jamal al-Banna mengatakan betapa jauhnya pandangan para fuqaha ini dengan gagasan dan cara pandang Tuhan dan Nabi. Hari ini, kita seringkali menemukan di media publik tentang fatwa-fatwa keagamaan yang lebih banyak menggunakan perspektif “Sadd al-Dzari’ah” di atas.
Contoh yang hangat, tubuh perempuan harus ditutup rapat, berjilbab/berhijab, karena berpotensi mengundang pelecehan dan kekerasan seksual dan dalam arti umum menimbulkan fitnah (kekacuan sosial). Perempuan juga dilarang keluar rumah sendirian atau bekerja malam hari, atau bahkan berpartisipasi di ruang publik/politik, dengan menggunakan alasan yang sama.
Ini, menurut Jamal, adalah fatwa-fatwa yang lucu sekaligus menyedihkan. Kenyataan ini juga banyak ditemukan di negeri kita dalam waktu beberapa tahun belakangan ini. Misalnya soal fatwa MUI: “Label Halal”, dan yang paling dahsyat adalah “Haramnya Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme”, dan lain-lain.
Kebijakan hukum untuk membatasi hak-hak manusia semacam itu, bahkan tidak hanya dikonstruksikan melalui fatwa lembaga-lembaga keagamaan, melainkan juga oleh kebijakan-kebijakan Negara, misalnya tentang UU Pornografi dan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang diproduksi di daerah-daerah.
(Baca; Laporan Komnas Perempuan : Atas Nama Otonomi Daerah ; Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara Bangsa). Betapa sempitnya hidup di bumi manusia ini.
Aqidah, Syari’ah dan Fiqh Pada bab dua buku pertama “Nahwa Fiqh Jadid” ini, Jamal al-Banna membicarakan sekaligus mengkritisi terma-terma keagamaan yang amat popular dewasa ini dan dipahami secara tumpang-tindih, sporadis. Ia adalah Aqidah, Syari’ah dan Fiqh.
Tiga terma ini sudah sejak lama diperdebatkan para ulama tentang pemaknaannya atau pendefinisiannya, dan tak kunjung selesai. Sebagian memahami Syari’ah sebagai keseluruhan dimensi-dimensi keagamaan dalam Islam : Keyakinan, aturan perilaku manusia secara individu maupun relasi sosial dan etika.
Definisi ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Ali al-Tahanawi, penulis “Kisyaf Ishtilahat al-Funun”, ensiklopedi terminology ilmu pengetahuan dan sains. Pendefinisian tersebut telah mengidentikkan “al-Syari’ah” dengan “al-Din” (keyakinan).
Sebagian ulama, antara lain Mahmud Syaltut, membedakan antara makna Syari’ah dan Aqidah. Ia menulis buku terkenal “Al-Islam Aqidah wa Syari’ah”. Artinya Aqidah bukanlah atau berbeda dengan Syari’ah.
Aqidah bicara tentang Keimanan/Kepercayaan dan Syari’ah bicara soal aturan-aturan bagi perilaku lahiriyah manusia baik dalam relasi individu dengan Tuhan maupun dalam relasi antar manusia. Ada yang mengatakan Aqidah sama dengan Iman dan Syari’ah sama dengan Amal (kerja).
Lalu bagaimana hubungan Syari’ah dengan Fiqh? Sebagian orang membedakan antara Syari’ah dan Fiqh. Syari’ah hukum-hukum yang ditetapkan Tuhan dan Nabi, sementara fiqh adalah hukum-hukum produk pikiran manusia selain Nabi.
Musthafa Abd al-Raziq menggunakan kata “Din”, sebagai ganti kata “Aqidah”, dan sekaligus membedakannya dari terma “Syari’ah”. Ia mengutip pandangan sejumlah ahli tafsir, antara lain Ibnu Jarir al-Thabari atas ayat:
“Li Kullin Ja’alna minkum Syir’atan wa Minhajan”, (masing-masing umat Kami jadikan jalan dan metode), yang mengatakan bahwa “Din” adalah Satu, sedangkan “Syari’ah” adalah berbeda-beda (Al-Din Wahid wa al-Syari’ah Mukhtalifah).
Jadi Din adalah keyakinan sedangkan “Syari’ah” adalah aturan hidup, dan ini bisa berbeda-beda. Din para nabi adalah sama, sedangkan aturan hukum mereka berbeda-beda. Thabari mengatakan perbedaan syari’ah tersebut karena ruang dan waktu (konteks) hidup mereka yang berbeda-beda.
Jika demikian, maka “Din” (keyakinan) adalah ajaran yang tetap/mapan dan universal, sementara “syari’ah” adalah ajaran yang kontekstual, plural, berbeda-beda dan berubah-ubah.
Bila syari’ah adalah kontekstual, lalu apakah yang membedakannya dari terma “fiqh”? Bukankah fiqh adalah produk nalar intelektual para ahli, dan ia bersifat plural, beragam atau berbeda-beda?
Keragaman ini juga lebih karena ia merupakan produk dari ruang dan zaman mereka masing-masing.
Jamal al-Banna mengurai lebih detail soal ini. Dalam bukunya “Hurriyah al-I’tiqad” (Kebebasan Beragama/berkeyakinan), ia mengatakan :
“Islam pada dasarnya, tetapi tidak terbatas, memang adalah aqidah dan syari’ah. Fokus kajian aqidah adalah Ketuhanan, Kenabian (Kerasulan), Hari Akhirat dengan segala peristiwanya, dan juga tentang relasi antara manusia dengan Tuhan”. (hlm. 31).
Sedangkan Syari’ah adalah aturan-aturan yang terkait dengan pergaulan (relasi) antar manusia dalam kehidupan bersama, baik dalam bentuk kebijakan-kebijakan Hukum, Politik, Ekonomi dan sebagainya.
Jamal menegaskan : “Aqidah adalah prinsip/pokok, sedangkan Syari’ah adalah cabang. Fokus Aqidah adalah hati dan individu dan fokus syari’ah adalah perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain”. (hlm. 32).