Home » Kajian » Fikih » Sekularisasi Hukum: Dari Ruang Fatwa ke Parlemen  
Parlemen adalah lembaga "fikih" modern.

Sekularisasi Hukum: Dari Ruang Fatwa ke Parlemen  

4.35/5 (17)

IslamLib – Sekarang ini, ada suatu perkembangan hukum yang sangat penting tetapi luput dari perhatian umat Islam, yaitu beralihnya proses pembuatan hukum publik dari otoritas agama ke otoritas sekuler yang disebut parlemen. Setiap tahun, sekitar seratusan hukum dalam istilah yang dikenal sekarang sebagai undang-undang lahir di lembaga itu. Apa makna dari perkembangan ini? Dan apa dampaknya terhadap hukum agama sendiri? Apa implikasi teologisnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini belum banyak diangkat, didiskusikan, dan disadari oleh umat Islam. Bagi saya, fakta bahwa hukum publik kita lebih banyak dibuat di parlemen ketimbang di ruang fatwa para ulama memiliki makna yang mendalam, baik secara keagamaan maupun dari segi kehidupan publik. Fakta ini menunjukkan bahwa di negeri kita telah terjadi sekularisasi hukum publik, suka atau tidak suka.

Yang saya sebut sebagai sekularisasi hukum publik ialah proses di mana hukum yang berkenaan dengan kehidupan publik dibuat bukan oleh sekelompok ahli yang menjadi wakil Tuhan atau penafsir firman Tuhan, yang dalam istilah Kristen disebut “clergy”. Di Islam, secara formal, memang tak ada lembaga “clergy” ini. Tetapi dalam kenyataannya, sejak berabad-abad, lembaga ini ada dan memainkan peran penting dalam kehidupan umat Islam.

Hukum publik itu justru dibuat oleh lembaga yang sama sekali tak mendaku sebagai wakil Tuhan, juru bicara Tuhan, atau bahkan penafsir firman Tuhan sekalipun. Lembaga itu ialah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saat memproduksi sebuah hukum, lembaga ini tidak mendasarkan diri pada sebuah teks agama, melainkan kepada dua hal pokok: kepentingan umum dan konstitusi. Kita bisa tambahkan Pancasila, jika kita mau.

Dalam hukum Islam, dikenal sebuah teori hukum yang disebut ushul al-fiqh. Proses bagaimana sebuah hukum dilahirkan dan diproduksi (disebut dengan proses istinbath) harus melalui suatu aturan main dan prosedur penafsiran yang diulas dengan detil dalam ushul al-fiqh.

Secara ringkas, proses itu berlangsung melalui tahap-tahap ini: pertama adalah teks (Quran dan sunnah/hadis), lalu hadir seorang ulama-penafsir yang melakukan istinbath/mengeluarkan hukum dari teks itu.

Istilah yang dipakai menarik: istinbath yang secara harafiah artinya adalah menggali air dari tanah. Proses menderivasi sebuah hukum dari teks suci (Quran dan hadis) adalah sama dengan kegiatan menggali tanah untuk mengeluarkan  air dari sana. Teks suci diandaikan sebagai sebuah tanah atau ladang dari mana “air” yaitu hukum bisa ditimba. Dengan kata lain, istilah legal yang dipakai oleh Islam itu mencerminkan kehidupan pastoral (kehidupan para penggembala ternak di padang pasir).

Proses yang dilakukan oleh parlemen kita, pada dasarnya, kurang lebih sama. Apa yang berlangsung di gedung parlemen, saat lembaga ini sedang memperdebatkan dan membuat suatu hukum, adalah sama dengan yang dilakukan oleh para fukaha atau ahli hukum Islam: yaitu istinbath.

Parlemen kita, setiap bulan, melakukan istinbath ini. Bedanya ada pada sumber istinbath. Jika istibath fukaha didasarkan pada dua teks suci, Quran dan sunnah, parlemen kita mendasarkan istinbath-nya pada “teks tak suci”, yaitu konstitusi dan, yang paling penting, kemaslahatan umum (public goods).

Beda yang lain adalah pada aspek penegakan hukum. Hingga sekarang ini fukaha Islam tetap memproduksi hukum. Setiap dua ormas besar Islam, yaitu NU dan Muhammadiyah, mengadakan muktamar lima tahunan, berlangsung juga kegiatan “membikin hukum” melalui sebuah lembaga yang di dalam NU disebut bahtsul masa’il, dan di Muhammadiyah disebut majlis tarjih. Dari dua lembaga ini lahir banyak hukum yang tentu saja diderivasi dari Quran, sunnah dan sumber-sumber sekunder lain.

Hanya saja, hukum-hukum yang dibikin oleh dua ormas Islam itu masuk dalam kategori fatwa, artinya “legal opinion”. Hukum-hukum yang dibuat oleh dua ormas itu tidak bisa ditegakkan kepada publik, karena sifatnya yang sebatas fatwa. Dia tidak sesuatu yang “legally binding”.

Kekuatan fatwa, walaupun didasarkan atas Firman Tuhan, masih kalah jauh dibanding dengan UU bikinan DPR kita, walau yang terakhir ini tidak didasarkan pada firman yang suci. Dasar UU bikinan parlemen kita adalah “firman manusia” dalam bentuk Konstitusi.

Hukum yang dibuat oleh parlemen itu bersifat mengikat kepada seluruh warga negara, dan ia ditegakkan melalui sebuah lembaga gigantik/besar sekali bernama negara. Yang membangkang pada hukum publik ini akan menanggung akibat hukum yang serius, yaitu kriminalisasi yang berujung pada penjara atau bentuk-bentuk hukuman yang lain.

Dahulu, hukum agama menempati posisi hukum publik yang sekarang diambil alih oleh produk hukum bernama UU itu. Hukum syariat Islam, pada masa lampau, ketika negara belum mengalami sekularisasi seperti di era modern saat ini, persis berada pada posisi yang sekarang ditempati oleh UU: dia bersifat “legally binding,” mengikat secara hukum. Yang melanggar hukum syariat akan terkena akibat hukum yang serius. Daulah atau negara berada di balik hukum syariat ini sebagai “the sole enforcer,” penegak satu-satunya.

Kedudukan syariat sebagai hukum publik yang mengikat semua warga negara itulah yang sekarang ini diperjuangkan oleh para pendukung syariat Islam di banyak negara, termasuk di Indonesia pasca-reformasi.

Sebagaimana kita tahu, perjuangan ini pada umumnya gagal, mengecewakan bagi para pendukungnya sendiri. Hanya dalam lingkup yang sangat terbatas, yaitu hukum keluarga (kawin dan cerai) yang disebut akhwal syahsyiyya, hukum syariat bisa dijadikan sebagai “hukum publik” yang ditegakkan melalui aparatus negara.

Pertanyaannya: Kenapa hukum agama sekarang ini sulit dijadikan sebagai hukum publik, kecuali dalam wilayah-wilayah yang sangat spesifik? Kenapa sebagian besar hukum publik justru lahir saat ini melalui lembaga di luar agama?

Dengan kata lain, kenapa kegiatan ber-fikih di sektor publik saat ini, alih-alih berlangsung di ruang fatwa para ulama, justru pindah ke gedung parlemen? Pertanyaan-pertanyaan ini memiliki implikasi teologis yang penting sekali.

Jawabannya, saya kira, terletak pada karakter negara modern itu sendiri dan pada perubahan konsep kewarganegaraan (citizenship).

Dalam masyarakat tradisional, agama memiliki watak yang khas, yaitu sebagai “civic marker,” sebagai penanda seseorang dalam kehidupan publik. Kedudukan warga negara dalam sebuah negara ditandai oleh agama dan kepercayaannya. Sebab, negara yang ada adalah negara agama. Negara sekuler yang dibebaskan dari identitas agama belum lahir dalam zaman pra-modern.

Watak negara tradisional juga umumnya ditandai dengan penanda tertentu yang sifatnya relijius. Dengan kata lain, negara tradisional pada dasarnya adalah negara agama, atau sekurang-kurangnya negara yang merupakan kelanjutan dari otoritas langit di bumi (Baca telaah yang menarik oleh Fukuyama dalam The Origins of Political Order [2012]).

Bahkan negara Romawi (pra-Kristen) yang dianggap oleh orang-orang Kristen sebagai negara pagan pun (City of Man, dalam konsepsi St. Agustinus), pada dasarnya negara agama juga.

Karena itu, kewarganegaraan pun didefinisikan berdasarkan agama. Jika sebuah negara menganut agama Islam sebagai agama negara, misalnya, maka warga negara yang beragama yang sama akan menikmati privilege sosial-politik yang lebih, ketimbang warga negara yang memeluk agama atau kepercayaan lain.

Dalam konteks sosial-politik semacam ini, tak heran jika hukum agama yang bersumber dari Firman Tuhan menduduki posisi yang sekarang ditempati oleh hukum positif modern: yaitu sebagai hukum publik yang tegakkan oleh aparatus politik negara.

Sekarang, watak negara sudah berubah total. Kecuali dalam kasus-kasus perkecualian (seperti Saudi Arabia), sekarang ini konsep negara agama sudah nyaris punah, digantikan negara modern yang berbasis pada dua gagasan penting: konstitusi dan rule of law.

Keduanya bukan “diturunkan” dari langit oleh Tuhan dalam bentuk wahyu, tetapi dibikin di bumi oleh manusia. Hukum yang berlaku di sebuah negara modern pun bukan hukum Tuhan, tetapi hukum manusia yang dibikin di parlemen.

Konsepsi modern tentang hukum tak bisa dipisahkan dari konsep politik secara umum. Di dalam negara modern, kedaulatan diandaikan berasal dan bersumber dari “bawah”, di bumi, yaitu rakyat, bukan dari atas, yaitu Tuhan.

Karena itulah, setiap hukum yang dibuat di sebuah negara modern harus didasarkan pada kepentingan orang-orang di bumi, yaitu rakyat. Jika dalam fikih tradisional, Quran menempati kedudukan tertinggi, dalam hukum positif modern yang menempati kedudukan tertinggi adalah maslahat atau kepentingan umum (public goods).

Dalam negara modern, hukum agama tidak ditampik sama sekali. Masih ada ruang sosial bagi hukum agama, tetapi, harus jujur diakui, memang makin terbatas, yaitu dalam wilayah keluarga (akhwal syakhsiyyah).

Dalam negara modern yang tak lagi berdasar pada agama, tetapi pada konsep kesamaan warga di hadapan hukum, hukum agama berubah total, dari semula sebagai “hukum universal” yang berlaku buat semua warga, menjadi “hukum partikular” yang hanya berlaku untuk penganut agama bersangkutan.

Dengan kata lain, hukum syariat yang dalam negara khilafat tradisional dulu merupakan “qanun kulli,” hukum untuk semua, mendadak merosot di negara modern menjadi “qanun juz’i”, hukum partikular untuk orang Islam saja.

Bagi para pejuang syariat Islam, fakta semacam ini memang menyakitkan, sebab hukum agama dan firman Tuhan seperti mengalami de-koronasi, pemakzulan kekuasaan.

Tetapi bagi sebagian besar umat Islam yang lebih bersikap realistis dan pragmatis, kenyataan ini tak dianggap bermasalah. Umat Islam di negeri manapun sekarang ini tak ada yang keberatan dengan proses pembuatan hukum di lembaga parlemen, bukan di lembaga fatwa yang diisi oleh para juru bicara Tuhan atau penafsir firman Tuhan.

Sekarang ini, terjadi sekularisasi hukum. Dan umat Islam tak terlalu mempersoalkannya. Bahkan mereka ikut dengan penuh semangat dalam pemilu yang salah satu ujung akhirnya adalah memilih para “fukaha sekular”, yaitu para anggota parlemen yang bertugas membikin hukum (legislation).

Salah satu penjelasannya, mungkin, adalah: Karena umat Islam melihat proses perumusan hukum di parleman tidak sebagai hal yang bertentangan dengan Islam. Sebab, asas pembuatan hukum publik di parlemen yang didasarkan pada asas maslahat tidak berseberangan dengan ajaran Islam. Dalam hukum Islam pun asas maslahat diakui.

Di sini, kita bisa melihat bahwa Firman Tuhan dan Firman Manusia tidak dipandang sebagai dua hal yang kontradiktoris, saling berlawanan. Karena itu, sekularisasi hukum di negeri-negeri Muslim tidak mendapatkan resistensi yang luas, kecuali oleh segelintir kelompok saja.[]

** Disampaikan sebagai ceramah di IAIN Purwokerto, pada hari ini, Senin 19 Oktober 2015.

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.