Home » Kajian » Fikih » Siti Musdah Mulia: “Kompilasi Hukum Islam Sangat Konservatif!”
Musdah Mulia

Siti Musdah Mulia: “Kompilasi Hukum Islam Sangat Konservatif!”

3/5 (3)

Paradigma unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat secara nyata diterapkan negara pada kasus Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penyeragaman sistem hukum ini absah saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip keadilan gender dan pluralisme beragama. Tapi kenyataan di lapangan seringkali berkata lain.

Banyak produk fikih yang direkrut dalam KHI justru bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap kepentingan anak-anak. Berikut petikan wawancara Ulil Absar-Abdalla dengan Dr. Siti Musdah Mulia, MA., staf ahli Menteri Agama bidang Organisasi dan Hukum pada Kamis, 28 Agustus 2003:

 

Bu Musdah, KHI akan dinaikkan derajatnya dari sekadar Inpres menjadi UU. Bukankah KHI itu isu lama?

Memang pembahasan KHI sudah lama digagas, yakni sejak tahun 1985 dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB itu diterbitkan untuk merespon sejumlah persoalan di lembaga peradilan agama ketika itu. Misalnya, kita menjumpai kenyataan bahwa sejumlah kasus peradilan agama di berbagai wilayah, memutuskan kasus yang sama dengan cara berbeda-beda.

Nah, KHI itu semacam kumpulan perundang-undangan, pasal per-pasal yang dibakukan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. I tahun 1991. Lalu KHI ini disosialisasikan sebagai pedoman hukum bagi para hakim di berbagai peradilan agama di seluruh Indonesia.

KHI muncul karena adanya kebutuhan untuk menyeragamkan atau unifikasi hukum. Sebelum adanya KHI, para hakim agama mempunyai independensi dalam menetapkan keputusan atas kasus-kasus yang mereka jumpai, berdasarkan ijtihad mereka masing-masing.

Biasanya ijtihad itu bersumber dari bacaan mereka atas kitab-kitab (khususnya fikih) yang dapat mereka akses. Dengan begitu, tak ayal lagi, lahirlah produk hukum yang berbeda-beda, meski kasusnya kadang sama.

Berdasarkan perkembangan terakhir, apa pokok masalah yang terdapat dalam KHI?

Dari perspektif pemerintah, KHI ingin ditingkatkan statusnya dari sekadar Inpres menjadi UU. Sekarang, kita punya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang wakaf, yang menjadi salah satu bagian dari KHI. KHI itu sendiri berisi tiga masalah pokok, yaitu soal perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.

Kita sudah punya UU Perkawinan tahun 1974, dan seluruh isi UU itu sudah tercakup dalam KHI. Sekarang, soal perwakafan juga ingin ditingkatkan statusnya menjadi UU. Soal perwakafan, sejauh ini baru diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 1977. Makanya, saat ini RUU-nya sedang kita godok. Naskahnya sudah selesai dikerjakan di Direktorat Peradilan Agama.

Bila perwakafan sudah punya UU tersendiri, lantas apa guna KHI?

KHI mungkin masih berguna bagi hakim agama untuk menjadi landasan persoalan keluarga. Hanya saja, kalau ketiga-tiganya sudah selesai dan menjadi UU, saya piker, memang tidak ada gunanya lagi.

Apalagi ditilik dari segi isi, KHI sangat konservatif. Dilihat dari perspektif kalangan feminis, khususnya dari aspek kesetaraan gender, banyak sekali pasal yang tak sesuai dengan aspirasi keadilan gender.

Misalnya, pasal kewajiban suami-istri, pembagian harta kekayaan, dan hak perwalian. Menurut saya, nyaris semua pasal yang ada mengandung persoalan, khususnya dalam hal inkonsistensi. Karena itu, kami ingin sekali melakukan reformasi atas butir-butir KHI ini.

Lebih spesifik pada soal hak dan kewajiban suami-istri, adakah pasal yang diskriminatif terhadap perempuan?

O, ya! Ketika berbicara kedudukan suami-istri pada pasal 79 dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Jika dicermati lebih jauh, pasal ini telah berhasil membakukan peran domestik rumah tangga pada perempuan. Perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara laki-laki selalu di luar. Laki-laki adalah pemimpin, sementara perempuan adalah yang dipimpin.

Padahal kenyataan di masyarakat tidak selamanya demikian. Kalau dalam pasal tersebut laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga, Biro Pusat Statistik (BPS) justru mengatakan bahwa satu dari sembilan keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Maka dari itu, saya melihat bahwa KHI kurang melihat realitas yang ada di masyarakat.

Dalam hukum Islam, suami bisa menceraikan istrinya kapan saja, meski tidak di depan peradilan. Sejumlah negara coba mereformasi hukum keluarga dengan cara membatasi dan mempersulit proses perceraian. Bagaimana Anda melihat masalah ini?

Itu sudah diatur dalam UU Perkawinan maupun KHI yang berisi bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan pengadilan atau pemerintah yang berwenang. Tak boleh ada perceraian yang dilakukan tanpa peradilan.

Tapi kenyataan di masyarakat berbicara lain. Suami bisa saja melakukan perceraian tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya, perempuan, tidak semudah itu bisa melakukannya. Ia harus melakukan gugatan perceraian lebih dulu.

Ada istilah yang berbeda menyangkut prosedur perceraian antara suami dan isteri. Untuk laki-laki digunakan istilah permohonan bercerai, sementara bagi perempuan digunakan istilah gugatan bercerai. Kalau perempuan sudah masuk dalam kasus ini, persoalannya tentu menjadi tidak mudah.

Anda bicara mewakili perasaan perempuan atau diri sendiri?

Saya punya fakta berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang kita lakukan. Misalnya, penelitian tentang dampak poligami di berbagai tempat di Indonesia. Kita juga punya penelitian dalam bentuk tesis dan disertasi mengenai fakta pelaksanaan KHI di berbagai tempat. Saya kira, saya tidak hanya berbicara mewakili diri sendiri.

Lantas, bagaimana poligami diatur dalam KHI?

Saya memperhatikan adanya inkonsistensi KHI dalam persoalan ini. Dikatakan bahwa asas perkawinan Islam adalah monogami. Tapi ayat lain mengatakan bahwa poligami dibolehkan dengan empat syarat yang dikemukakan dalam pasal yang sama.

Saya pikir, ada inkonsistensi antar-ayat dalam satu pasal yang sama. Jika asasnya adalah monogami, maka tidak boleh ada celah bagi poligami agar tak terjadi keresahan sosial. Ruang untuk itu mesti dibatasi sesempit mungkin.

Ternyata KHI masih memberi kelonggaran bagi terjadinya poligami. Itulah yang menjadi titik keresahan kita, karena poligami menimbulkan berbagai dampak dalam wujud problem sosial-budaya di masyarakat. Kita mempunyai data untuk memperkuat proposisi ini.

Masalah perwalian dalam KHI juga dipandang diskriminatif atas perempuan. Benarkah demikian?

Yang dimaksud perwalian dalam KHI adalah perwalian atas anak perempuan ketika dia akan menikah. Selama ini, KHI sama sekali tidak memberi peluang pada ibu untuk menjadi wali bagi pernikahan anaknya.

Bila kita pikir lebih jauh, persoalan ini jelas-jelas sangat diskriminatif. Bagaimana mungkin, seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya tidak bisa mewakili suaminya yang telah tiada, misalnya, untuk menjadi wali bagi pernikahan anaknya sendiri.

Padahal, ibu seringkali adalah orang yang paling mengerti tentang anaknya dan mampu untuk melakukan itu. Lucunya, kadang yang menjadi wali justru anak laki-laki (kakak, misalnya) dengan melangkahi hak ibunya.

Apakah itu disebabkan KHI versi lama hanya mengambil hukum Islam dari produk fikih klasik secara mentah-mentah?

Ya. Makanya, hasil kajian awal kami menjelaskan bahwa KHI merupakan produk hukum yang dicangkokkan begitu saja dari budaya Arab atau Timur Tengah yang kadang berbeda sama sekali dengan realitas yang kita jumpai di Indonesia.

Jadi, perlu dikembangkan hukum Islam yang sesuai dengan konteks kita di Indonesia agar bisa mengadopsi budaya dan realitas yang kita hadapi. Jika tidak, akan terjadi kesenjangan luar biasa antara hukum dan realitas masyarakat itu sendiri. Kalau begitu adanya, apa gunanya produk hukum kita buat.

Usaha mereformasi hukum keluarga merupakan usaha besar yang cukup melelahkan. Sejumlah negara seperti Mesir, Tunisia, Yordania dan Irak sudah melakukannya dengan berbagai kontroversi. Pada tahun 1974, kontroversi tentang hukum keluarga juga terjadi di Indonesia. Pertanyaan saya, apakah Anda tidak merasa menabrak tembok besar karena hukum lama yang disakralkan?

Itu sudah kita sadari sejak awal. Berbicara tentang hukum keluarga, memang bicara tentang isu yang sangat sensitif. Sebagian kita menganggap pasal-pasal yang bisa dipersoalkan itu sudah merupakan takdir dan tak bisa lagi diubah.

Tapi dalam perbincangan kita di banyak forum, tak sedikit ulama yang mengatakan bahwa sebagian pandangan dalam KHI tak lebih hanyalah sebuah ijtihad fikih. Kalau demikian, mengapa kita takut untuk mengadakan perubahan demi kemaslahatan umat di masa yang akan datang.

Menurut hadis, ijtihad yang benar akan mendapat door prizeganda, sementara yang salah mendapat satu saja. Bu Musdah, ada kasus perceraian di Malaysia via sms (short message service). Bagaimana pendapat Anda tentang kasus ini jika dikaitkan dengan KHI?

UU Perkawinan dan KHI kita sudah jelas bahwa seseorang tak boleh melakukan perceraian secara semena-mena seperti itu. Semua bentuk perceraian harus dilakukan di depan peradilan. Jadi, meski suami berkata: “Saya ceraikan kamu!,” tetap saja tidak sah sebelum adanya saksi dan petugas pengadilan yang berwenang.

Tapi dalam masyarakat, praktik cerai liar bisa saja terjadi?

Bukan hanya cerai liar, perkawinan liar pun banyak terjadi. Sebanyak 40% peristiwa perkawinan di masyarakat, ternyata tidak tercatat di kantor catatan sipil. Perlu diingat, perkawinan liar semacam ini, sebetulnya sangat merugikan, khususnya bagi kalangan perempuan dan anak-anak.

Adakah batasan-batasan dalam KHI yang mempersulit proses perceraian atau memproteksi perempuan dari dampak perceraian semena-mena semacam di atas, karena secara de facto pemegang hak cerai hanyalah laki-laki?

Semangatnya jelas ada. Semangat utama KHI, juga mengatur agar perceraian tidak dilakukan secara semena-mena. Seorang suami yang akan menceraikan istrinya harus datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menyatakan bahwa dia akan menceraikan istrinya dengan alasan tertentu. Lalu pihak KUA membaca, apakah alasan yang dikemukakan masuk akal atau tidak. Terlebih dahulu ada upaya untuk mendamaikan mereka yang berperkara.

Kita juga menyaksikan sengketa menyangkut pembagian harta ketika proses bercerai. Bagaimana pembagian harta gono-gini?

Harta gono-gini adalah hasil kekayaan yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan. Sementara kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan tidak termasuk di dalam kategori harta gono-gini.

Dan ketika suami-isteri bercerai, semua harta yang diperoleh secara bersama dalam ikatan perkawinan harus dibagi dua. Apakah suami bekerja atau tidak, sama saja statusnya. Kalau istri tidak bekerja di luar rumah, dia juga mendapat 50 persen dari harta gono-gini tersebut.

Terakhir, apa perubahan mendasar yang perlu dilakukan terhadap KHI?

Yang paling mendasar adalah, pertama, mengubah keseluruhan pasal-pasal KHI yang masuk kategori bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak.

Kedua, dari perspektif pluralisme agama, juga terdapat banyak hal yang harus kita ubah. Kita berkeinginan agar KHI lebih mantap posisinya dalam konteks pluralisme agama, serta dalam konteks membangun masyarakat Indonesia yang lebih demokratis.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.