Home » Kajian » Filsafat » Pencerahan Berjamaah Ikhwan al-Shafa
Ilustrasi kelompok Ikhwan al-Safa (Foto: Amaana.org)

Pencerahan Berjamaah Ikhwan al-Shafa

4.4/5 (5)

IslamLib – Ada anggapan bahwa dalam Islam filsafat tidak memiliki dasar institusional. Filsafat misalnya, tidak punya ruang yang cukup dalam kurikulum pendidikan. Dalam sejarah Islam, pun kebanyakan para filosofnya mempelajari filsafat secara otodidak. Hanya ada sedikit komunitas intelektual yang saling berhubungan satu sama lain. Fenomena ini menunjukkan adanya kelemahan yang fatal bagi pemikiran filosofis di dalam Islam.

Demikian kurang lebih pendapat Antony Black. Namun untunglah, katanya lebih lanjut, terdapat iklim kebebasan intelektual di dunia Islam, khususnya Baghdad dan beberapa tempat lain, terutama karena sebagian penguasanya menyokong aktivitas intelektual (Black, hal. 126).

Ikhwanus Shafa mungkin bentuk perkecualian dari pendapat Black. Menurut Ed. G. Brown, “Filsafat yang sudah sekarat dan tengelam oleh hegemoni Turki, fanatisme Hanbali, dan meningkatnya kekuatan Asy’ari, kini kembali bernyawa dan menemukan daya ungkapnya dengan kemunculan kalangan ensiklopedis yang dikenal dengan sebutan Ikhwanus Shafa” (Awa, hal. 374).

Komunitas bawah tanah ini diyakini cukup memberi warna dalam aktivitas berfilsafat di dunia Islam abad pertengahan. Bahkan, aktivitas mereka dianggap sebagai suatu proyek nan ambisius (masyrû’ mitsâli) yang berdiri kokoh di atas landasan ilmu, filsafat, serta teologi Muktazilah. Karena itu, mereka pun tak jarang disebut sebagai kaum Neo-Muktazilah karena upaya mereka untuk menghidupkan kembali etos keilmuan pendahulunya itu.

Mereka seakan-akan tidak terlalu gentar akan celaan khalayak dan intaian kaum Hanbalian. Berlatarbelakang Bashrah dan beberapa kawasan lainnya, ide-ide mereka berhasil diidentifikasi lewat 52 pasal risalah filsafat yang mereka tinggalkan: Rasâil Ikhwân as-Shafâ’. Gerakan mereka untuk mempertahankan semangat berfilsafat dan pemikiran rasional di masa rapuhnya Dinasti Abbasiyah abad IVH/XM cukup massif.

Karena itu, kebanyakan penelaah Rasâil berkesimpulan bahwa tujuan Ikhwanus Shafa tidak semata-mata demi memenuhi kebutuhan intelektual dan spiritual. Penelaahan sederhana terhadap Rasâil menunjukkan adanya beberapa tendensi politik, terutama dalam gagasan-gagasan sosial kemasyarakatan mereka.

Besar kemungkinan, risalah mereka tidak ditulis oleh satu orang. Beberapa tokoh disebut ikut menyumbang tulisan. Mereka yang pernah disebut-sebut antara lain Ahmad bin Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad bin Nashr al-Busti alias al-Maqdisi, Zaid ibn Rifa’ah, dan Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjany.Râsail sendiri dibagi menjadi empat bagian.

14 risalah bicara tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, estetika, modal dan logika. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup-mati senang-sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.

10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam. Dan 11 risalah lain tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, soal magic dan azimat.

Sistem Organisasi. Sistem kenggotaan Ikhwanus Shafa disusun dalam bentuk tangga piramida. Dalam tangga piramida tersebut, para anggota ditentukan tingkatan keanggotannya mulai dari level terbawah sampai yang terpucuk. Faktor umur menentukan posisi di piramida. Mereka yang berumur 15-30 tahun akan menempati tangga terbawah dengan sebutan Murid.

Di atasnya, yang berkisaran 30-40 tahun, dihuni oleh kelompok pengajar (Muallim). Di atas muallim terdapat Mursyid atau mentor yang berumur antara 40-50 tahun. Puncak piramida ditempati oleh kelompok yang dianggap punya tingkat spiritual yang tinggi (Washil) atau orang-orang yang senantiasa dekat kepada Allah.

Justikasi pemeringakatan itu mereka dasarkan dari ayat-ayat Alquran. Untuk kalangan murid 30, mereka menggunakan ayat 59 surat an-Nur, “Bilamana bocah-bocah kalian sudah mengalami mimpi basah…” Sementara peringkat muallim dijustifikasi oleh ayat 22 surat Yusuf: “Tatkala (ia) mencapai masa kematangan, kami anugerahkan kepadanya hukum dan pengetahuan.”

Untuk tingkat mursyid, justifikasinya diambil dari surat al-Ahqaf ayat 15: “Di saat sampai masa kematangan, tatkala berumur empat puluh tahun, maka ia (Ibrahim) berkata..” Untuk peringat yang teratas, pembenarnya adalah ayat 27-28 surat al-Fajr: “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela-pasrah. Bergabunglah ke jajaran hamba-Ku, masuklah ke surga-Ku.”

Walau menggunakan sistem keaggotaan yang berjenjang, ketat, dan tak jarang dianggap tertutup, Ikhwanus Shafa tetap dapat menunjukkan sejaran filsafat sebagai sebuah gerakan orang ramai di dalam sejarah Islam. Antony Black meneyebutkan bahwa Ikhwanus Shafa telah berjuang keras menyebarkan gagasan mereka kepada rakyat kebanyakan.

Ini berbeda dengan para filsuf lain yang tidak melakukan upaya semacam itu. Mereka yang terakhir ini sering—baik untuk menghidari kesalahpahaman maupun hukuman—sengaja menulis ide-ide mereka dengan cara tertentu, sehingga hanya segelintir orang saja yang dapat memahami pemikiran mereka. Mereka cukup puas melihat rakyat sudah menjadi saleh karena mengikuti hukum agama (Black, hal 136).

Ikhwanus Shafa tidak demikian. Justru risalah-risalah filsafat mereka ini ditulis untuk bahan ajar bagi kalangan menengah ke bawah dalam tangga piramida yang mereka tetapkan (Ma’sum, hal. 73). Namun begitu, filsafat mereka tidak berubah menjadi obrolan kakilima. Sementara untuk kalangan menengah ke atas, mereka menulis al-Risâlah al-Jâmiah, yang dianggap lebih kompleks, berisi, dan terstruktur rapi. Namun sesungguhnya target pasar propaganda Ikhwanus Shafa tetaplah kalangan muda.

Ini terkait dengan pandangan mereka yang percaya bahwa jiwa tunas-tunas muda itu bagaikan kertas kosong yang belum tercoreng. Mereka siap menerima pengetahuan baru, belum fanatik, dan siap menyambut dunia baru. Kalangan tua-renta (al-masyâyikh al-harimah), bagi mereka sudah tak bisa diharap untuk berubah. Sejak dini mereka telah terbiasa dengan pandangan-pandangan keliru, kebiasaan buruk, dan perilaku kasar. Karena itu, “lebih tepat menyasar kalangan muda, terutama yang masih lapang dada, menyukai humaniora, dan pemula dalam telaah wacana”.

Untuk memperluas basis massa gerakan, Ikhwanus Shafa juga giat mencari pengikut maupun simpatisan. Menurut Arthur Sa’adev, propaganda Ismailiyyah (yang ia maksud secara spesifik adalah Ikhwanus Shafa) menarik bagi 3 lapisan masyarakat. Bagi kalangan yang tersisih, janji dan harapan mereka akan keadilan sangat memikat.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.