Home » Kajian » Hikam » Jangan Biarkan Pekerjaanmu seperti Badan tanpa Roh

Jangan Biarkan Pekerjaanmu seperti Badan tanpa Roh Ngaji Hikam ke-10

4.38/5 (8)

Bismillahirahmanirrahim

IslamLib – Sebelum mulai membaca dan “mengaji”, mohon klik ini terlebih dahuluMari kita mulai ngaji Hikam seri ke-10.

Syekh Ibn Ataillah berkata:

الأَعْمالُ صُوٓرٌ قائِمٓةٌ ، وأٓرْواحُهٓا وُجُوْد سِرِّ الإِخْلاصِ فِيهٓا .

Al-a’malu suwarun qa’imatun, wa arwahuha wujud sirr al-ikhlasi fiha.

Terjemahannya: Tindakan kita adalah hanya “forma”, bentuk luaran, jasad saja; rohnya ialah adanya rahasia keikhlasan di sana.

Kebijakan Ibn Ataillah ini memiliki dua pengertian awam dan pengertian khusus.

Pengertian umum. Tindakan adalah salah satu ciri mendasar dari manusia. Tindakan manusia beda dengan tindakan binatang. Tindakan binatang lahir bukan dari kehendak bebas (free will), melainkan dari dorongan-dorongan alamiah yang tanpa ia sadari. Saya memiliki beberapa kucing di rumah dan saya melihat sejumlah tindakan “alamiah” kucing saya yang menarik.

Misalnya: kucing selalu menggaruk-garuk tanah dengan cakarnya usai buang kotoran. Maksudnya (jika kucing benar-benar punya maksud) ialah untuk menutup kotoran itu. Walau kucing membuang kotoran di tempat yang tak berdebu dan tak bertanah pun, ia tetap menggaruk-garuk.

Tindakan itu murni didorong oleh insting alamiah, bukan karena secara sadar dia ingin menutup kotoran dengan tanah agar tidak menimbulkan polusi bau, atau demi menjaga kebersihan.

Begitu juga, usai makan, kucing biasa melakukan tindakan serupa: menggaruk-garuk, seolah dia ingin menutup remah-remah makanan yang bertebaran di sekeliling wadah makanannya. Ini insting alamiah saja. Kucing-kucing saya tetap melakukan hal yang sama walau dia makan di tempat berkeramik dan tak ada tanah di sana. Dia tetap menggaruk.

Rupanya, ada insting alamiah pada kucing untuk bertahan, insting “survival”. Kucing harus melakukan itu agar tak ada hewan predator yang bisa melacak keberadaan dia, entah melalui kotorannya atau remah-remah makanannya.

Binatang bekerja dengan insting alamiah. Tidak ada kesadaran khusus yang mendorongnya. Tak ada niat di balik tindakan binatang.

Tindakan manusia lain sama sekali. Tindakan manusia selalu didasari oleh niat, oleh kesadaran. Ada dua jenis niat. Ada niat yang orientasinya adalah jangka pendek, yaitu meraih kepuasan sesaat. Ada niat yang orientasinya jauh ke depan: mencapai tujuan jangka panjang, tujuan yang manfaatnya melampaui kepentingan pribadi, tetapi mencakup banyak orang.

Ada orang yang bertindak dengan niat sekedar untuk meraih gaji dan renumerasi. Ada yang bekerja karena dia mencintai pekerjaan itu, karena sebuah dedikasi dan komitmen yang tinggi pada suatu profesi, walau gajinya tak seberapa.

Biasanya, pekerjaan yang dilakukan dengan niat jangka pendek, kepuasan yang diperoleh dari sana lebih rendah dari pekerjaan yang diniatkan untuk tujuan jangka panjang. Seseorang yang mengerjakan sesuatu karena sebuah dedikasi, pengabdian yang tanpa pamrih, biasanya meraih kepuasan batin yang jauh lebih tinggi.

Kenapa? Sebab tindakan yang seperti itu memiliki jiwa, memiliki roh, memiliki sesuatu yang menggerakkan dari dalam. Inilah makna ikhlas dalam pengertian umum. Ikhlas ialah mengerjakan sesuatu karena sebuah dedikasi, bukan karena pamrih jangka pendek. Pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas lebih tahan lama, juga lebih berkualitas. Banyak orang meraih sukses karena mengerjakan hal-hal kecil, tetapi konsisten, dan penuh dedikasi.

Pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas biasanya melibatkan batin kita secara keseluruhan. Karena itu hasilnya lebih memuaskan konsumen atau orang lain. Kita bisa merasakan sendiri apakah sesuatu itu dikerjakan asal-asalan, demi proyek, demi SPJ, demi laporan saja, seperti proyek-proyek pemerintah. Ataukah pekerjaan itu dilakukan dengan dedikasi yang tinggi, dengan komitmen.

Kita juga bisa merasakan bau atau “feel”: apakah suatu pekerjaan dilakukan dengan ikhlas, atau dengan pamrih sesaat. Anda pasti pernah mengalami hal seperti ini dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukanlah ilmu mistik atau tasawwuf yang rahasia. Saya malah mau menyebutnya: inilah tasawwuf sehari-sehari, relijiusitas sehari-hari, spiritualitas sehari-hari.

Pengertian khusus. Ibn Ataillah menyerupakan pekerjaan manusia seperti sebuah jerangkong, badan, wadag, jasad. Badan tak bisa bergerak jika tanpa roh atau jiwa di baliknya. Yang menggerakkan “jerangkong” tindakan kita adalah ikhlas, kemurnian niat.

Landasan beragama ialah ikhlas, yaitu mengerjakan sesuatu murni sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Godaan terbesar bagi seorang beriman adalah melakukan ibadah untuk mencari “efek sosial”, untuk “setor muka” di depan masyarakat. Kita sering menjumpai lingkungan sosial di mana menjadi orang yang saleh, alim, rajin beribadah adalah sesuatu yang dianggap “keren” dan mendatangkan pujian bagi pelakunya.

Ada juga lingkungan sosial yang membawa tekanan tertentu (social pressure) agar seseorang tampak saleh dan relijius. Ada lingkungan sosial yang bahkan menghukum anggota-anggota di dalamnya yang membangkang dan tidak mau tampak saleh dan relijius (seperti contoh Saudi Arabia yang memiliki polisi moral — mutawwi’). Jika kita beribadah untuk mencari “efek sosial”, itu bukanlah ibadah yang dilandasi oleh etos dan semangat ikhlas.

Ada tiga tingkatan ikhlas, menurut Syekh Ibn ‘Ajibah, pengarang syarah/komentar atas kitab Hikam — ikhlas awam, ikhlas khawas, dan ikhlas khawass al-khawass. Dengan kata lain: ikhlas level orang umum, ikhlas level kaum elit, dan ikhlas level elitnya orang-orang elit.

Ikhlas kelas orang-orang umum ialah meniadakan pamrih duniawi yang berasal dari manusia dalam beribadah, dan hanya mengharapkan pamrih ukhrawi dari Tuhan saja. Contoh sederhana: Kita salat bukan karena ingin mendapatkan “social recognition”, pengakuan dari sesama warga satu kompleks, agar kita “fit in”, merasa menjadi bagian dari suatu kolektivitas atau perkumpulan.

Ikhlasnya kaum khawass ialah mengerjakan sesuatu dengan pamrih pahala. Kita melaksanakan salat, misalnya, agar masuk sorga. Ini tindakan ikhlas, tetapi ikhlas yang masih mengandung pamrih. Tindakan semacam ini lebih tinggi derajatnya dari yang pertama.

Ikhlas yang paling tinggi ialah ikhlas khawass al-khawass: mengerjakan sesuatu tanpa pamrih apapun selain murni untuk mengabdi kepada Tuhan. Inilah ikhlas paling puncak. Inilah ikhlas seperti ditunjukkan oleh Rabiah al-Adawiyyah (w. 801 M), sufi perempuan besar dari Irak. Salah satu doa terkenal dari Rabiah adalah berikut ini:

Tuhan, jika aku menyembahMu demi sorgaMu
Halangilah aku masuk ke sana.
Jika aku menyembahMu agar aku terhindar dari neraka
Cemplungkanlah diriku di sana.
Jika Aku menyembahMu karena demi mencintaiMu
Janganlah halangi aku dari diriMu

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Kita jangan membiarkan pekerjaan kita menjadi seperti jerangkong, seperti badan yang tanpa roh, seperti “zombie”. Pekerjaan semacam itu akan sia-sia belaka, sebab kita sudah berlelah-lelah secara fisik, tetapi tak mendapatkan sesuatu apa.

Cara satu-satunya untuk membuat pekerjaan kita hidup dan punya roh adalah ikhlas, adalah kemurnian niat.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.