Ketika melewati hari-hari puasa Ramadan, kita seakan-akan sedang melakukan proses pendakian spiritual. Sesuai sabda Nabi Muhammad, pada sepuluh hari pertama, kita dianjurkan menebar rahmat antarsesama manusia. Sepuluh hari ke dua mengandaikan kelapangan dada untuk mampu memberi maaf pada sesama, bila terjadi kekeliruan dan konflik dalam relasi-relasi sosial.
Dengan kesuksesan dalam menapaki dua tahapan itu, kita diandaikan akan mampu membebaskan diri dan hubungan sosial antarkita dari api kemarahan, permusuhan, kebencian, dan bunga api lainnya. Demikian intisari perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Marzuki Wahid, MA, aktivis Fahmina Institute, sebuah LSM yang bergerak dalam kajian agama dan kesetaraaan gender di Cirebon, pada Kamis (14/10/2004) kemarin.
Bung Marzuki, kalau bicara soal puasa, kita tentu merujuk teks Alqur’an yang mewajibkannya, khususnya surat Albaqarah: 183. Dalam ayat tersebut kita membaca redaksi “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Pertanyaan saya, mengapa Alqur’an mesti mengaitkan perintah itu dengan orang-orang terdahulu?
Itu artinya, puasa bukanlah ajaran yang semata-mata genuine Islam, tetapi juga pernah ada sebelumnya pada tradisi sebelum Islam. Puasa sudah ada dalam tradisi agama-agama besar, seperti yang diajarkan Nabi Daud, Isa, Musa.
Bahkan, tradisi puasa bukan sekadar ada pada manusia, tetapi juga pada binatang. Kita tahu, kalau seekor ayam betina bertelor dan kemudian dia ingin telornya itu menetas, maka dia berpuasa. Jadi, puasa memang tradisi universal yang ada pada semua agama.
Puasa merupakan proses transendensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu semua agama. Nah, kata-kata “kamâ kutiba `alalladzîna min qablikum” itu artinya, Allah mempermaklumkan bahwa tradsisi puasa bukan tradsisi genuine Islam sebagaimana haji, waqaf, zakat, bahkan salat.
Semuat ritual itu merupakan tradsisi yang sudah ada di zaman sebelum Islam. Islam hanya memperbarui, kemudian menyempurnakannya sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.
Apa perbedaan puasa dalam tradisi Islam dengan tradisi sebelumnya?
Secara substansial tidak ada perbedaannya. Artinya, puasa merupakan proses transedensi bahkan mungkin spiritualisasi yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai stage atau tingkatan spiritualitas yang paling tinggi. Dalam Islam, stage itu disebut takwa. Dalam agama-agama lain, tujuannya juga untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Makanya, yang membedakan antara puasa dalam tradisi Islam dengan lainnya adalah soal teknis, style, cara, jangka waktu, dan aturan-aturan yang ada. Kalau dalam Islam, puasa itu adalah al-imsâk `anil akli was syurbi wajamîil mufthirât… (menahan makan, minum dan nafsu seksual, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari). Saya kira, di tradisi lain caranya berberda, tapi substansinya sama.
Kenapa untuk mencapai tingkat spiritualitas tertentu, orang harus menahan diri dari hal-hal yang alamiah dan biasa mereka lakukan?
Karena ada satu asumsi dasar yang juga diakui oleh para ahli psikologi dan biologi bahwa, makan dan minum itu adalah aktivitas yang dapat mendorong orang untuk melakukan sesuatu, baik negatif mapaun posistif. Sebetulnya penekanannya bukan pada menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual, tapi lebih pada soal pengendalian diri dan nafsu, supaya lebih stabil.
Yang sebenarnya puasa, bagi saya adalah refleksi transendensi manusia atas seluruh proses kemanusiaannya. Itu dapat dilakukan dengan cara pertapaan misalnya, dan lain sebagainya.
Normatifnya memang begitu. Tapi faktannya puasa terkait juga dengan meruyaknya budaya konsumerisme. Bagaimana menurut Anda?
Ini sebetulnya bertentangan dengan semangat puasa sendiri. Karena semangat puasa itu sebetulnya mengurangi kebiasaan-kebiasaan sehari-hari. Jadi orang yang berpuasa, selain tetap berpegang pada kesederhanaan hidup, juga tetap mampu mengendalikan diri dari nafsu.
Sebab, tujuan puasa adalah transformasi spitualitas dan sosial dari kondisi awal diri kita ke kondisi berikutnya. Salah satu wujud transformasi itu adalah sisi kesederhanaan dan pengendalian diri untuk menuju kemanusiaan sejati.
Anda tadi menyebut soal transformasi sosial dalam puasa. Kita tahu, tujuan puasa agar mencapai taraf ketakwaan. Soal takwa ini terkadang sangat abstrak. Dalam hubungan sosial, seperti apa takwa itu diterjemahkan?
Pengertian normatif takwa adalah imtitsâl awâmirilLâh wa ijtinâb nawâhîh. Jadi melaksanakan setiap perintah-Nya, dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Tapi pembacaan saya terhadap takwa bukan dalam pengertian senormatif itu, tapi sangat real. Yaitu, bagaimana mewujudkan Tuhan dalam realitas kemanusiaan kita.
Karena manusia adalah khalifah Allah di bumi ini, maka dia harus mewujudkan nama-nama baik Tuhan (al-asmâ al-husnâ) seperti ar-rahmân al-rahîm (saling berkasih sayang), al-shabur (penuh kesabaran), dan melakukan kerja-kerja ketuhanan dalam realitas konkret kemanusiaan.
Bung Marzuki, dalam hadis ada ungkapan bahwa sepuluh hari pertama puasa adalah rahmat, sepuluh hari kedua pengampunan, dan ketiga itqun minan nâr atau terbebas dari sengatan neraka. Bisakan hadis ini diterima secara sosial?
Kebanyakan orang memahami hadis ini sebagai wujud pemberian Tuhan kepada manusia. Rahmat, maghfirah, dan ‘itqun mina nâr itu ditafsirkan sebagai berkah Tuhan kepada orang yang berpuasa.
Kalau pemahamannya seperti ini, kita tentu akan selalu defensif. Pemahamannya harus dibalik; semua itu ada pada diri kita sendiri sebagai orang yang puasa. Jadi orang yang puasa adalah subjek yang akan memperoleh dampak langsung dari seluruh perbuatannya.
Jadi makna hadis ini, bagaimana seorang yang puasa itu, dalam sepuluh hari pertama mampu meluluhlantakkan seluruh nafsu sosial, birahi, maupun biologisnya, untuk menegakkan kemanusiaan, kedamaian, dan kasih sayang sejati pada sesama.