IslamLib – Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Phitagoras. Secara bahasa, filsafat diambil dari kata philo dan sofi yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Sedangkan secara istilah, para filsuf selalu berbeda pendapat ketika menjawab definsi secara istilah ini. Bahkan, para filsuf kontemporer dewasa ini dalam tulisan-tulisannya sudah tidak ada lagi yang mengawali pembahasan filsafat dengan definisi.
Tetapi, meski dirasa masih belum memuaskan, filsafat secara sederhana dapat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan sedalam-dalamnya, sehingga sempai ke dasar suatu persoalan.
Filsafat terdiri dari tiga bagian yaitu ontologis (theory of being), epistemologis (theory of knowledge), dan aksiologis (theory of value).
Filsafat Ilmu adalah bagian dari rumpun filsafat. Lantas di mana posisi filsafat ilmu dari cabang-cabang filsafat tersebut? Agar lebih memudahkan, sebelumnya terlebih dahulu akan diambil beberapa definisi filsafat ilmu.
Lewis White Beck menulis: philosophy of science questions and evaluates the methods of thinking tries to determine the value and signifcance of the scientific enterprise as a whole. Selain itu, Peter Angeles menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagaai sudut tinjauan, seperti logika, metodologi, sejarah ilmu, disertai dengan keilmuan-keilmuan yang lainnya.
Sementara itu, Cornelis Benjamin mendefinisikan filsafat ilmu sebagai disiplin filsafat yang kritis dan sistematis mengenai dasar-dasar ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan metode-metode, konsep-konsep, praduga-praduga, serta posisinya dalam kerangka umum cabang-cabang keilmuan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, untuk sementara dapat dipahami bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif, radikal dan mendasar atas berbagai persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan, konstruksi, dan hubungannya dengan segala segi kehidupan manusia.
Dalam sejarah kemuncuan filsafat ilmu, Francis Bacon (1561-1626) yang melihat pentingnya menerangkan proses masuknya ilmu-ilmu ke dalam pikiran manusia. Ia menulis Novum Organon sebagai pengganti Organon Aristoteles, yang berisi tawaran tentang perangkat baru dalam penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Dari sinilah Bacon dianggap sebagai perintis filsafat ilmu. Kemudian diikuti oleh filsuf-filsuf sesudahnya seperti Kant, Comte, John S.Mill, dll.
Selanjutnya, kajian filsafat ilmu semakin mengalami perkembangan besar sejak lahirnya forum diskusi yang disebut dengan “Lingkaran Wina” di Austria dan “Mazhab Frankfurt” di Jerman.
Dengan demikian, filsafat ilmu merupakan tahapan baru dari epistemologi (filsafat pengetahuan / theory of knowledge) yang menyelidiki proses keilmuan. Ini menjadikan filsafat ilmu sebagai bidang yang sangat unik, sebab yang dipelajari adalah dirinya sendiri.
Struktur Dasar Pengetahuan Manusia. Pertama-tama harus dikatakan bahwa pengetahuan kita selalu terarah keluar. Tidak ada pengetahuan yang terisolasi dari kenyataan luar manusia. Pengetahuan kita selalu merupakan pengetahuan akan sesuatu. Hal ini dibahasakan oleh Huserll dengan sebutan intensionalitas.
Dalam mengetahui kenyataan luar, pengetahuan manusia selalu menampilkan diri di dalam sebuah cakrawala pemahaman. Cakrawala sebagaimana kita ketahui selalu membatasi pandangan manusia berdasarkan titik pijaknya.
Tetapi bersamaan dengan itu pergeseran titik pijak membuka cakrawala baru. Kita mengetahui suatu benda dalam kaitannya dengan benda-benda lainnya yang merupakan latar belakang benda itu.
Sebungkus nasi misalnya dipahami dalam konteksnya dengan benda-benda lain di sekitarnya, misalnya air minum, piring, dan sendok. Semua itu dilatar belakangi oleh meja. Meja berada dalam konteks yang lebih luas lagi, yaitu dalam kaitannya dengan kursi dan lemari serta barang barang lain di sekitarnya.
Semua itu berada dalam komteks kamar. Kamar dalam konteks kost/rumah. Kost dalam konteks Ciputat. Begitu seterusnya. Jika cakrawala semakin diperluas, maka kita akan sampai pada suatu batas akhir, yakni suatu cakrawala total yang disebut dunia.
Pengertian dunia yang dimaksud di sini bukanlah “segala yang ada (ada materil)” saja melainkan “segala yang menjadi lingkungan dan penghayatan hidup manusia”. Oleh karena itu, manusia dan dunia tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Manusia ada karena ada dunia, begitupun sebaliknya.
Dunia tersebut merupakan hasil pengetahuan manusia atas kenyataan di luar dirinya. Dengan kata lain, manusia memahami kenyataan sebagai suatu dunia. Misalnya dunia kampus, dunia pekerjaan, dunia seni, dunia organisasi, dan sebagainya.
Berbagai dunia ini menunjukkan paradigma-paradigma pembentuk pola pikir manusia. Kemudian pada akhirnya, beragam dunia tersebut dapat dirangkum dalam satu dunia, yaitu dunia kita ini atau dunia kita bersama.
Selanjutnya, pemahaman akan dunia atau kosmos di atas merupakan produk sosial atau kesepakatan bersama. Memang, yang mengawali pengetahuan adalah individu-individu, tetapi masyarakatlah yang memasukkan tatanan-tatanan dunia yang beragam di atas menjadi suatu dunia tersendiri.
Singkatnya, dunia adalah hasil penafsiran sosial atas kenyataan. Buktinya, hal ini akan tampak jelas dalam produk-produk kebudayaan seperti sistem ideologi, pola pikir, pola hidup dan hal-hal lain yang ada dalam lingkungan kita.
Bahkan, hal ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang sezaman melainkan juga dari generasi-generasi sebelumnya. Ini tampak sangat jelas berlaku dalam sistem organisasi atau sistem pemerintahan.
Dengan demikian, dalam menganalisa struktur dasar pengetahuan, kita tidak bisa tidak selalu harus memperhitungkan masyarakat dan kebudayaan yang menghasilkan dunia itu sekaligus yang menghasilkan kita sendiri atasnya. Sebab bagaimanapun kita juga memiliki penafsiran sosial sendiri yang membentuk dunia.
Maskipun dunia adalah hasil penafsiran sosial, tetap saja setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui. Hal ini bukan hanya berpengaruh pada aspek psikologi dan sosiologi, melainkan lebih dalam lagi yaitu pada aspek eksistensial. Oleh karna itu, pengetahuan pada akhirnya adalah pemahaman atas makna hidup yang melibatkan keberadaan si manusia.
Dari Pola Pikir hingga Pola Hidup. Hal lain yang banyak menarik perhatian filsuf dan ilmuwan ialah adanya kecendrungan bahwa problem epistemologis yang awalanya membentuk pola pikir dalam melahirkan ilmu, kemudian menguat menjadi pola hidup, bahkan sebagai pandangan hidup (wltanschaung).
Lebih menariknya lagi, hal ini tidak hanya berlaku bagi para filsuf atau ilmuwan, tetapi juga di kalangan masyarakat awam pada umumnya (baik yang sadar maupun yang tidak) yang telah terhegemoni oleh otoritas suatu pola pikir tertentu.
Pola pikir saintifik yang digunakan ilmuwan-ilmuwan fisika dalam melihat fenomena alam, oleh Auguste Comte diterapkan dalam melihat fenomena sosial. Meski harus diakui bahwa hal ini melahirkan suatu ilmu yang disebut sosiologi, namun sebagaimana kritik dari ilmuwan sosial sendiri, hal itu telah menimbulkan suatu proses yang disebut naturalisasi dan universalisasi dinamika sosial masyarakat.
Bahkan pola ini juga terjadi dalam melihat fenomena sosial keagamaan. Hal ini yang membuat “geram” para agamawan yang merasa akar-akar spiritualitas dan religiositasnya tercerabut atas ulah pola pikir saintifik.
Pola pikir saintifik yang mengusung naturalisasi dan rasionalisasi ini pada akhirnya muncul sebagai sebuah peradaban yang disebut peradaban modern. Inilah yang secara massal dialami masyarakat abad ini. Singkatnya, pola pikir sains yang telah menghegemoni ini, secara langsung telah menjadi standar pola hidup manusia abad sekarang.
Kecendrungan yang sama juga terjadi dalam tradisi agama-agama, termasuk Islam Indonesia. Pola pikir yang yang mendasari konstruksi keilmuan Islam, kemudian juga menguat menjadi standar dan pola hidup keislaman.
Bahkan, masing-masing ilmu memiliki basis komunitas hingga ke”akar-rumput”. Metodologi atau pendekatan fiqh mejadi pola hidup fiqh oriented, pendekatan kalam menjadi pola hidup kalam oriented, pendekatan sufistik menjadi pola hidup tasawuf oriented. Sederhananya, pola pikir yang benar akan menjadi pola hidup yang benar pula. Begitupun sebaliknya, pola pikir yang salah bukan tidak mungkin akan menjadi pola hidup yang salah pula.
Aksi terorisme belakangan ini tak lain merupakan gambaran pola pikir radikalisme yang mendasarinya. Dengan demikian, di sinilah signifikansi filsafat ilmu sebagai keilmuan yang mandiri. Filsafat ilmu sangat penting digunakan untuk melihat rancangan konstruksi keilmuan, sekaligus juga dapat menganalisis konsekuensi-konsekuensi logis dari pola pikir yang mendasarinya. Sehingga, hal-hal yang ditimbulkan akan dengan mudah dipahami dan akhirnya dapat dikontrol sedemikian rupa.