Home » Kajian » Filsafat » Menyalahkan Tuhan

Menyalahkan Tuhan

4.65/5 (17)

IslamLib – Membincang Tuhan, adalah membincang kehidupan. Sebuah persoalan yang bagi sebagian orang bukanlah “persoalan”, namun bermakna sebaliknya bagi sebagian yang lain. Perbedaan teolog dengan para filosof dalam hal ini kiranya hanya pada dua tataran. Pada filosof, Tuhan diperbincangkan secara ketat, tanpa rasa was-was dan takut. Sedangkan para teolog, mereka membincang Tuhan dengan cara penuh hormat dan rasa takut yang mengaduk-aduk sembari membonsai akalnya di bawah kanon daras-daras agama.

Fakta umum di tengah-tengah “penduduk” agama, kehadiran Tuhan adalah untuk ditakuti. Term taqwa sudah lama memberikan definisi ini sebagai sesuatu yang tak boleh ditolak. Sesuatu yang sangat horor. Sesuatu yang bernilai sangat magis untuk menjadi bahan obrolan di bangku-bangku panjang warung kopi.

Pada filosof, Tuhan tidak untuk ditakuti. Ia dicari dengan gegap gempita, tak jarang juga diselingi seloroh. Alih-alih rasa takut, justru perbincangannya dipenuhi keakraban dan canda tawa. Bahkan dengan keras dan massif kritik juga dilayangkan. Ada diskusi di sini. Bukan otoritarianisme.

Penulis teringat pada kasus Dessy Ratnasari yang pernah dicekal MUI sebagai “wakil Tuhan” di Indonesia, khususnya di Jakarta, hanya karena meronta terhadap Tuhan dengan lirik tembangnya: “Takdir memang kejam, tak mengenaaal… peraaasaaan…” itu. Sebuah langkah MUI yang, menurut saya, sangat gegabah.

Mengapa demikian?

Faktanya Tuhan tak seemosional MUI. Ini terbukti dengan “ditakdirkannya” teteh Dessy Ratnasari, saat ini, sebagai anggota MPR RI. Sebuah langkah dari Tuhan berkebalikan 100 derajat dengan apa yang dilakukan oleh MUI. Ini bahkan sangat bisa dipahami sebagai serangan balik Tuhan terhadap para punggawa MUI yang salah mengambil keputusan itu. Tak heran kemudian jika almarhum Gus Dur sangat ingin agar lembaga ini segera dienyahkan.

Tentunya tulisan ini tak hendak merunut populasi atas pro kontra terhadap urgensi kehadiran MUI ini. Saya jadi ingat sebuah tesis dari Graham Fueller bahwa faktanya tak pernah benar-benar bisa kita jumpai perselisihan berlandaskan agama an sich. Selalu saja (dari dulu hingga sekarang), bahwa motif sesungguhnya dari aneka perselisihan adalah kekuasaan. Mungkin ini juga yang sesungguhnya tak disukai Gus Dur dari MUI.

Agama pada realitas dirinya sendiri tak pernah bisa dipertentangkan. Ia satu realitas. Pemaknaannya saja yang beragam. Meminjam istilah salah satu mantan pengajar saya – saya tak perlu menyebut namanya di sini hanya agar mendapatkan pengakuan untuk dikategorikan sebagai tulisan ilmiah– sejatinya seluruh pertengkaran dan perselisihan kita di dunia ini adalah perselisihan atas definisi.

Atau meminjam istilah lain dari Bagoes P. Wiryomartono bahwa hanya ingatan kolektif sajalah yang menstabilkan kehadiran sesuatu, bukan realitasnya. Sebuah analisa atas dekonstruksinya Derrida.

Jika Nietzsche dihinggapi rasa gundah gulana yang membuncah dan tak pernah bisa diselesaikannya sepanjang “karir” kefilsafatannya dengan nihilismenya itu (saya rasa ini juga menimpa para teolog), saya meyakini satu hal yang bersifat universal. Sesuatu yang sudah lama diburu dan dicari oleh Nietzsche.

Apa itu? mari merenung sejenak.

Adakah satu saja dari kita yang tidak bersepakat bahwa tak satupun makhluk hidup, baik tumbuhan, binatang, hingga manusia (yang katanya juga binatang; hayawaanun naatiq) yang proses kehadirannya di muka bumi dimulai dengan upaya rembuk? Rembuk antara Tuhan dan kita.

Tak ada satupun dari kita yang diajak ngobrol dan dijajaki kemungkinannya untuk menyatakan sikap tentang mau tidaknya dihadirkan di muka bumi. Semua dari kita adalah kehadiran yang dipaksakan. Kehadiran atas produk otoritarianisme Tuhan.

Pertanyaan derivatifnya kemudian adalah, jika kehadiran kita saja adalah kehadiran yang dipaksakan –lebih-lebih lagi kita dependen atas segala sesuatu– tidakkah sah-sah saja jika menimpakan segala kesalahan yang kita perbuat kepada Tuhan?

Bagi yang tak setuju, pikiran seperti ini akan dituduh sebagai melawan otoritas agama. Otoritas Tuhan. Sesuatu yang sebenarnya, bagi saya, sangat absurd. Atau mungkin meminjam sinisme Ahmad Wahib: Mengapa Tuhan mesti takut terhadap pikiran yang Dia ciptakan-Nya sendiri”? Saya tambahkan, “mengapa Tuhan mesti takut terhadap “kenakalan-kenakalan-Nya” sendiri?

Sesuatu yang sungguh, menurut saya, susah dimengerti. Mungkinkah memang agama hadir untuk tidak dipahami? Untuk diterima dengan kedua mata tertutup? Atau bahkan dengan otak terbonsai? Jika benar demikian, maka sungguhlah kita harus bersepakat bahwa kita semua berada dalam alam yang salah. Pastilah ini tragedik bagi kita semua.

Nash-nash agama (baca: Samawi) makin memperburuk situasi ini. Kita jumpai dengan gampang aneka ancaman yang bertebaran di sana-sini, seperti dengan mudah kita jumpai ancaman di dalam Al-Qur’an melalui kata-kata “adzaabun sadid” misalnya, atau yang seirama dengannya. Sesuatu yang menakutkan. Sesuatu yang tidak filantropik.

Pertanyaan sederhananya adalah begini: bagaimana mungkin yang kehadirannya saja dipaksa, tanpa secuilpun independensi kehendak di dalamnya, kemudian akan disiksa hanya karena telah “diduga” melakukan pelanggaran?

Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak independen, yang tidak memiliki sedikitpun kuasa atas dirinya, kemudian diancam akan didera dengan kepedihan siksa? Tidakkah sebenarnya itu adalah langkah memedihkan diri sendiri?

Tentu saya tidak sedang hendak merevitalisir “pembunuhan Tuhan” ala Nietzsche, atau “pembunuhan Subyek” oleh Foucault. Kesederhanaan berpikir ini harus diberikan ruang. Bukan sebaliknya, dikurung dan dijeruji.

Berpikir di luar mainstream adalah juga mainstream. Jika kebenaran sudah disepakati hanya berhak dimiliki oleh  kekuatan mayoritas, maka berbanggalah mereka yang berparpol. Yang memenangkan banyak suara, yang kemudian menduduki kursi dengan meja yang sudah dilengkapi Palu pemutus klaim atas kebenaran.

Sekitar dua tahun yang lalu saya menghampiri Romo Magnis Suseno di kantin Salihara. Saya ujarkan sebuah tanya yang tak berjawab, “Pernahkah profesor berterima kasih kepada keburukan (jika keburukan pada realitas dirinya sendiri memang Ada)”?

Saya menyerobot dengan menyusulkan jawaban sendiri ketika profesor Magnis masih mencoba-coba memverifikasi pertanyaan saya ini.

“Masih ingat pesawat Rusia Jet 100 yang jatuh di Gunung Salak? Beliau menjawab: “iya.”

Ada salah satu penumpang pesawat yang selamat waktu itu. Apa sebabnya? Ternyata pagi itu sang penumpang selamat ini habis bertengkar hebat dengan istrinya sehingga ia telat tiba di Bandara, hanya beberapa menit setelah pesawat Jet 100 buatan Rusia itu lepas landas. Seketika itu juga sang penumpang memisuhi istrinya dengan cara menggerutu.

Namun apa yang terjadi beberapa jam kemudian? Sang penumpang selamat ini, berucap syukur kepada Tuhan karena telah dibuat bertengkar dengan istrinya pagi itu (padahal dalam otak mainstream kita, bertengkar itu adalah sesuatu yang dicap buruk). Karena jika tidak dibuat bertengkar pagi itu, maka sudah dapat dipastikan, hari itu adalah hari terakhirnya menghirup udara (baca: mati bersama korban lain dari kecelakaan pesawat Jet 100).

Contoh di atas hanya secuil dari ketakberdayaan atas kepemilikan independensi. Suatu sebab yang mestinya menjadi alasan tak perlunya kehadiran neraka dalam definisi kaum agamawan selama ini.

Menimpakan semua kesalahan kepada Tuhan? Mungkin saja iya. Namun mungkin juga tidak. Sesuatu yang tak bisa dipastikan untuk diberikan jawaban iya, karena konon katanya, hidup yang diketahui realitas pada dirinya, akan menghentikan roda kehidupan itu sendiri.

Sesuatu yang –menurut bahasa kaum agamawan–sengaja ditunda ketersingkapannya. Jika begitu, marilah bersepakat bahwa hidup ini sesungguhnya hanya telaten pada hal-hal yang bersifat pseudo. Kebenaran itu tak ada, yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran. Kita tahu bahwa sesungguhnya kita benar-benar tak tahu.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.