IslamLib – Saya sering bertanya-tanya mengapa nabi Muhammad tidak dibekali oleh Allah sebuah mukjizat. Mukjizat yang saya maksud adalah suatu kemampuan atau kejadian supranatural yang menyimpang dari proses alami hukum alam serta sulit dijangkau logika akal sehat kita. Contoh, Nabi Ibrahim yang tidak tersentuh api secuilpun meski dilempar ke dalam kobaran api yang maha dahsyat. Nabi Musa yang mampu membelah lautan (konon laut Merah) sehingga bisa dilalui oleh Bani Israel untuk melarikan diri dari kejaran Firaun. Atau Nabi Isa yang lahir dari seorang perawan dan mampu menghidupkan orang yang telah mati.
Muhammad sebagai nabi terakhir lahir secara alamiah, dia memiliki ayah dan ibu. Ia makan dan minum serta berjalan-jalan di pasar. Ia berdagang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam menyusun taktik dan strategi perang ia meminta pendapat sahabat yang dianggap lebih berpengalaman. Ia pun bisa terluka secara fisik sebagaimana terjadi dalam tragedi perang Uhud. Tuhan dalam Quran sendiri menegaskan agar Muhammad berkata, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu.”
Karena Muhammad manusia biasa, otomatis ketika berhubungan dengan dunia alamiah beliau juga tunduk kepada hukum-hukum alam. Beliau sadar betul akan hal ini, sehingga tidak perlu membelah pegunungan ketika dikejar oleh kaum Quraish. Tidak pula memohon untuk punya kemampuan menghidupkan kembali sahabat-sahabatnya yang tewas di medan perang. Beliau memahami bahwa “mukjizat” semacam itu tidak relevan untuk generasi manusia yang menjadi umatnya.
Pengikut Muhammad bukanlah orang-orang yang percaya padanya setelah diperlihatkan suatu mukjizat. Dalam tahun-tahun pertama misi kenabiannya, Muhammad berhasil menarik banyak pengikut dari generasi yang lebih muda, yang telah dikecewakan oleh etos kapitalistik Mekkah, serta dari kelompok pinggiran dan tak beruntung yang mencakup kaum wanita, para budak, dan anggota suku-suku yang lebih lemah.
Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik untuk mengikuti ajaran Muhammad saat itu adalah nilai sosialis yang dibawanya, seperti keadilan dan kesetaraan, di mana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak.
Di awal masa kerasulan Muhammad, beberapa orang dari kaum Quraish meminta agar nabi memperlihatkan sebuah mukjizat sebagai bukti kerasulannya: mukjizat seperti pada Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi emas, dan kitab dalam bentuk tertulis yang dibicarakannya itu tidak diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka?
Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
Dalam bentuk yang lebih sarkastik mereka menanyakan, mengapa Tuhannya itu tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?
Atas permintaan tidak masuk akal itu Muhammad hanya menjawab, seperti terekam dalam Quran 7:188:
“Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib, niscaya kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku. Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa kabar gembira bagi mereka yang beriman.”
Demikian yang dikisahkan Haikal dalam Sejarah Hidup Muhammad.
Dari jawaban tersebut terlihat Muhammad adalah seorang nabi yang sungguh sangat manusiawi.Tanggapannya dengan memberikan jawaban yang sangat masuk akal memperlihatkan bahwa dia hanya mengharapkan kaum Quraish itu mengedepankan rasionya.
Penghuni kota Mekah telah tersilaukan oleh gemerlap dunia yang mereka capai selama ini. Pada dasarnya mereka takut jika mengikuti ajaran Muhammad yang tampak siap memberangus etos-etos kapitalis Mekah, maka mereka akan mengalami kehilangan sebagai pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh eots kapitalis tersebut.
Permintaan kaum Quraish untuk diperlihatkan mukjizat selayaknya dipandang sebagai sebuah permintaan-permintaan retoris bahkan sedikit sarkastik. Mereka bukanlah orang-orang naif yang betul-betul mengharapkan sesuatu yang irasional. Mereka hanya lebih memilih pada status quo, memilih untuk mengikuti hawa nafsunya.
Lebih jauh, mereka memerangi Muhammad yang selama ini mengajak mereka ke jalan damai. Mereka, kaum Quraish yang memerangi dan menolak ajakan-ajakan rasional yang ditawarkan dengan jalan damai adalah contoh orisinil mengenai apa yang disebut sebagai orang kafir.
Jika istilah mukjizat adalah seperti kita definisikan di awal, maka Muhammad tidak memiliki mukjizat seperti itu. Quran yang diklaim sebagai mukjizat pamungkas nabi toh bukanlah sesuatu yang menyimpang dari hukum alam. Quran sampai ke tangan kita terjadi secara alamiah saja.
Kemukjizatan Quran menurut Ibn Rushd bukanlah seperti tongkat yang berubah menjadi ular, melainkan sesuatu yang alami, ditegaskan oleh kemampuannya sebagai petunjuk dan bahan pertimbangan bagi manusia saat ini atau manusia yang akan datang hingga hari kebangkitan.
Kisah mukjizat sebagai sesuatu yang irasional terus bermunculan dalam berbagai tradisi keagamaan. Sepertinya memang tidak ada agama tanpa irasionalitas. Pada umat terdahulu, umat Isa misalnya, mukjizat yang irasional itu digunakan untuk memperteguh iman pengikutnya. Namun pada masa Muhammad iman justru diteguhkan melalui cara-cara yang lebih rasional, tanpa mempertontonkan mukjizat yang aneh-aneh.
Lalu bagaimana menyikapi mukjizat-mukjizat para nabi terdahulu sebagaimana yang dikisahkan Quran? Sebagian mencoba untuk merasionalkan. Kisah Nabi Musa membelah laut misalnya dapat dijelaskan dengan peristiwa tsunami atau angin yang begitu dahsyat sehingga dapat membelah lautan. Kelahiran Nabi Isa sebagai peristiwa partenogenesis yang alamiah.
Ada yang membaca kisah-kisah tersebut secara tekstual, apa adanya, dan diimani sebagai bukti kemahakuasaan Tuhan. Ada pula yang membacanya tidak sebagai kejadian faktual melainkan ungkapan-ungkapan metaforis.
Apapun pilihan pandangan kita, dari kisah terdahulu mengenai mukjizat harusnya kita dapat memetik nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Saya kira disitu intinya. Terhadap kisah-kisah terdahulu, Tuhan memerintahkan kita untuk mengambil pelajaran di dalamnya.[]