Dalam tradisi umat beragama, teks selalu menempati posisi sentral. Teks senantiasa menjadi rujukan utama bagi laku beragama mereka. Ia kerap berfungsi sebagai hakim atas problematika yang dihadapi. Ikhwal ini karena teks bukanlah hanya berupa lembaran-lembaran kertas, tapi juga berarti orisinalitas dan otentisitas.
Teks dianggap memiliki otoritas (autorithy) yang mutlak untuk mengadili para pembangkang teks karena pengarangnya (the author) adalah Tuhan atau Nabi. Saking kentalnya merasuk, tak heran bila teks kemudian mampu menentukan langgam serta gaya hidup (life style) umat beragama.
Pada aras ini, teks telah menjadi ikon pembentuk peradaban dan budaya masyarakat. Peradaban Arab-Islam misalnya sering disebut dengan peradaban teks (Nasr Hamid Abu Zayd: 1993).
Dengan demikian bisa dipastikan perilaku keberagamaan umat beragama tak bisa lepas dari pengaruh teks agama berikut penafsirannya. Wajar kalau kemudian fenomena radikalisme, fanatisme, fundamentalisme, bahkan ekstremisme umat beragama banyak dituduhkan bermula dari penafsiran teks yang serba formalistik-simbolik sehingga terkesan kaku, rigid, dan tidak fleksibel.
Pemahaman yang muncul seringkali lebih bersifat literal-verbal, tekstual, bukan kontekstual. Akibatnya, teks agama hanya dipahami pada tataran permukaan. Sedang hal yang bersifat mendasar terabaikan.
Pola pikir umat beragama cenderung ter(di)bentuk (constructed) menjadi kelompok yang berbudaya diam (silence culture), tidak kritis ketika berhadapan dengan teks. Sikap reaksioner dan emosional acapkali muncul tatkala teks ditafsirkan berbeda dari cara pandang yang telah mapan.
Bahkan tak jarang teks agama menjelma bak algojo yang siap menjemput nyawa si (tertuduh) pembangkang. Ironis! Padahal teks semestinya difungsikan untuk membimbing umat beragama menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam situasi demikian, tentunya sangat urgen menafsir kembali teks agama secara kritis. Bagaimanapun juga, perbincangan seputar umat beragama tidak bisa lepas dari perbincangan teks. Pun demikian, ini bukan berarti sebuah afirmasi untuk kaum tekstualis dan skripturalis malah sebuah tantangan untuk selalu melakukan kontekstualisasi terhadap teks sehingga up to date dan tidak basi.
Untuk itulah desakralisasi sebagai cara pandang terhadap teks maupun pemikiran keagamaan layak dikedepankan sebagai upaya mendobrak sakralisasi (al-taqdis) yang sekian lama menghegemoni kesadaran umat beragama.
Desakralisasi di sini menekankan adanya sebuah dekonstruksi sebagai salah satu proses kritik dari dalam dan strategi untuk membangun kritisisme dan kemajuan berfikir. Dekonstruksi akan menampakkan aneka ragam aturan yang sebelumnya tersembunyi yang menentukan teks.
Ini dimaksudkan untuk menggali lebih jauh lagi makna-makna dan pesan-pesan teks yang bersemayam dan mengendap jauh didalam teks karena untuk menuju kontekstualisasi teks (rekonstruksi) harus ada dekonstruksi teks. Sehingga—meminjam kategori yang sering dipakai oleh Arkoun—batas-batas antara hal yang terpikirkan (thinkable) dan hal yang tak (belum) terpikirkan (unthinkable) meleleh. Tak ada lagi penjarakan dan pembedaan antara keduanya.
Intertekstualitas
Dalam memahami sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran Julia Kristeva, seorang pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya:Revolution in Poetic Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (Kristeva: 1979) ia memperkenalkan istilah ‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks.
Menurutnya, relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara ‘bentuk’ dan ‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified) sebagaimana dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu.
Sebuah teks dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu mesti ada relasi-relasi antara satu teks dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.
Kristeva menandaskan bahwa sebuah teks tidak berdiri sendiri, tidak mempunyai ‘landasan’ atau kriteria dalam dirinya sendiri—tidak otonom dalam pengertian bahwa teks tersebut, eksis berdasarkan relasi-relasi atau kriteria-kriteria yang internal pada dirinya sendiri, tanpa ‘dilatarbelakangi’ oleh sesuatu yang eksternal—melainkan sebuah permainan dan mosaik dari kutipan-kutipan dari teks yang mendahuluinya. Sebuah teks hanya dapat eksis bila di dalam ruang teks tersebut, beranekaragam ungkapan-ungkapan yang diambil dari teks-teks lain silang-menyilang dan saling menetralisir satu sama lain.
Senada dengan Kristeva, Mikhail Bakhtin, seorang pemikir Rusia, mengatakan bahwa tidak ada ungkapan yang tidak berkaitan dengan ungkapan lainnya. Secara implisit Bakhtin menerangkan bahwa sebuah teks diungkapkan atau diproduksi dalam suatu ajang komunikasi, entah dalam bentuk karnaval atau dialog.
Sebuah teks bukanlah dihasilkan oleh seorang pengarang yang ‘bergumam’, bicara pada dirinya sendiri, dalam suatu monolog: sebuah teks bukanlah refleksi diri pengarang secara utuh dalam suatu proses ‘referensi diri’ (self reference).
Di sinilah faktor historisitas dengan latar sosio-kultural, politik, ekonomi, struktural yang mendasari turunnya sebuah teks mesti diperhatikan. Karena sebuah teks tidak akan turun atau dibuat tanpa sebab-sebab tertentu (asbab an-nuzul) atau, sebagaimana disitir oleh Francis Bacon dalam karyanya De Augmentis Scientiarum (1605), setiap teks mempunyai roh-zamannya(zitgeist). Historisitas tidak hanya meliputi ruang dan waktu melainkan sekaligus ia adalah sebuah teks itu sendiri yang berkaitan erat dengan teks lainnya yang akan menentukan makna teks.
Satu hal yang juga layak menjadi catatan adalah, dalam menangkap makna sebuah teks diperlukan tidak hanya pemahaman gramatika bahasa, melainkan memerlukan data dan imajinasi konteks sosial serta psikologis, baik dari sisi pembicara (pengarang) maupun pendengar (pembaca).
Dalam bahasa Fazlur Rahman, semua ayat (al-Quran) yang turun, sebagaimana ayat-ayat itu diwahyukan pada waktu tertentu dalam sejarah, beserta keadaan yang umum maupun khusus yang menyertainya, menggunakan ungkapan yang relatif mengenai keadaan tersebut. Pembaca atau penafsir harus mampu memahami implikasi yang tersirat dari pernyataan al-Quran, sewaktu pernyataan itu diwahyukan, dalam menentukan makna utamanya.
Seorang penafsir haruslah bersikap terbuka dan objektif dalam menafsir teks. Ia juga harus bisa melepaskan diri dari kondisi dan beban psikologis yang traumatik sehingga penafsiran ulang terhadap sebuah teks menjadi semakin kritis, objektif, dan kontekstual.
Menafsir sebuah teks tentu saja memerlukan kehati-hatian dari si penafsir teks. Me-reaktualisasikan teks agama bukan berarti menafsirkan teks secara serampangan melainkan agar teks-teks tersebut selalu eksis seiring dengan perubahan zaman yang serba cepat.
Apalagi teks yang selama ini dipahami adalah teks yang sudah terpisah dari kondisi objektif-historisnya. Teks mesti dimaknai kembali secara lebih luas untuk menghindari pemahaman yang monolitik, tidak variatif dan beragam. Sebab hal ini hanya akan menggiring ke dalam bentuk pemikiran dan pemahaman yang teologis-dogmatis.
Kita juga mesti bersikap arif untuk menerima perbedaan penafsiran, karena sesungguhnya ketika teks telah menjadi sentral peradaban atau kebudayaan maka dapat dipastikan tafsir dan interpretasi akan beragam sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat bersangkutan. Bukankah perbedaan merupakan sunnatullah?