Home » Kajian » Quran » Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder

Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder

5/5 (1)

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan Ramadhan.

Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat.

Saya selalu terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang terlalu banyak dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya pengetahuan apologetis saja.

Inilah latar belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasik seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu.

Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh para kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme dan penaklukkan dunia Islam.

Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam menulis artikel itu.

Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua buku yang disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka.

Saya pikir, kalau saya kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an.

Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia sarat dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisan itu tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang saya buat.

Para pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “najis” yang harus dicampakkan.

Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi sebuah pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan.

Bagi saya, kajian para orientalis telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama dan intelektual Muslim.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.