Kata ini sekarang sering digunakan dalam pengertian “koeksistensi” beberapa kelompok dalam satu komunitas politik. Tapi di situ sebenarnya juga terkandung konotasi interpenetrasi antarkelompok, sekaligus saling pinjam dan saling mempengaruhi secara kreatif.
Adalah Americo Castro, filolog dan sejarawan Spanyol, yang membuat kata itu terkenal. Ia menggunakannya untuk menggambarkan budaya Iberia sebagai sebidang pengalaman di mana terjadi interaksi antarberbagai unsur budaya yang berasal dari kelompok-kelompok agama yang berbeda yang, dalam karakterisasinya, berfungsi seperti kasta.
Yang menjadi latar teoretisasinya adalah pengalaman kaum Muslim, Yahudi dan Kristen di Spanyol. Khususnya ketika kaum Muslim berkuasa di wilayah itu pada abad kedelapan hingga kelimabelas.
Castro agak idealistik dan romantik dalam memandang pengalaman itu. Interaksi antarberbagai unsur budaya dalam kasus itu, baginya, hanya dapat dipandang bermakna jika ia disaring oleh adanya kesadaran kolektif pada ketiga “kasta” itu.
Saringan itu sebagian besarnya bersifat etnis: ketiganya memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai budaya yang idiosinkretik, tapi juga semuanya harus bisa diaprosiasi oleh anggota “kasta” yang berbeda dan sebenarnya saling berkompetisi itu.
Bagi Castro, orang-orang hanya bisa menjadi aktor-aktor etnis kalau mereka secara kolektif memiliki rasa kesadaran-diri. Pada titik ini ia mendesakkan paham teleologis mengenai nasib, mengenai orang yang “menjadi sesuatu”: budaya yang diproyeksikan satu kelompok adalah sesuatu yang oleh kelompok itu harus dipandang bernilai.
Dan akhirnya, kelompok budaya yang bersangkutan harus mampu mengekspresikan kesadaran-diri ini dalam bentuk budaya tinggi yang menjadi, karena itu, daya penggerak masyarakat.
Dalam konstruk idealistik dan romantik seperti ini, bagaimana pengalaman Andalusia dijelaskan? Kata Castro, pengalaman pergumulan kaum Kristiani dengan kaum Yahudi dan Muslim berlangsung di dalam konteks kesadaran mereka sebagai umat Kristiani – dan begitu juga sebaliknya, mutatis mutandis.
Pada titik inilah convivencia memperoleh maknanya yang sesungguhnya: ia adalah koeksistensi ketiga kelompok itu, tetapi hanya sejauh jika ia berlangsung secara kolektif dan sadar-diri di dalam satu di antara ketiganya.
Saling pinjam dan pengaruh terjadi secara kreatif, asal-usul diri tidak hilang, nilai budaya tidak dikecilkan — dan pada tingkat “budaya tinggi,” yang menjadi “daya penggerak masyarakat,” asal-usul menjadi tak lagi penting.
Oleh rekan-rekan sejarawannya, pandangan idealistik dan romantik Castro sulit diterima. Ia dinilai kurang melihat dinamika sosial yang terjadi, termasuk ketegangan dan konflik di antara ketiga kelompok. Yang melulu dilihatnya adalah proses mental, kehendak untuk saling berbagi dan hidup damai. Ia melupakan kenyataan bahwa proses-proses itu dibentuk dan hingga tingkat tertentu ditentukan oleh sebuah dinamika sosial.
Tapi visinya mengenai Andalusia tetap didukung. Hanya saja, convivencia “diturunkan” maknanya agar lebih membumi dan historis, menjadi sekadar “koeksistensi.” Itu juga agar aspek-aspek negatif pergumulan itu bisa dideteksi dan dievaluasi.
Konteks dan dinamika sosial seputar koeksistensi ini, atau convivencia, dengan sendirinya penting kita pelajari. Ada visi para khalifah Islam yang bijak di situ, tetapi ada juga keinginan untuk sama-sama menopang kepentingan yang wajar dan masuk akal.
Tahun 1992, Bernjamin Gampel, seorang sarjana Yahudi, mengisahkan pergumulan itu dari sudut pandang umat Yahudi Sephardik. Ini menarik ditelusuri karena dua alasan. Pertama, kaum Yahudilah pihak paling lemah dalam pergumulan itu.
Kedua, sejarah Andalusia di bawah kaum Muslim dipandang mereka, termasuk sejarawan Bernard Lewis, sebagai the golden age di mana umat Yahudi memperoleh perlakuan yang baik dan kontribusi mereka dihargai setinggi-tingginya.
Kata Gampel, dan ia benar belaka, convivencia justru berawal dari ekspedisi militer, ketika pasukan Islam berhasil menduduki kepulauan Iberia pada 711. Dari sinilah kemudian muncul kategorisasi teologis oleh pasukan yang menang perang: kaum Yahudi dan umat Kristiani dipandang sebagai ahl al-dzimmah (warga negara yand dilindungi).
Sekalipun diperlakukan sebagai warga kelas dua, kelompok minoritas yang diproteksi, mereka tidak dipandang sebagai kaum pagan yang dalam konteks waktu itu dianggap halal darahnya.
Simbiose ketiga umat baru meningkat pesat di abad kesepuluh, ketika `Abd al-Rahman III, amir Bani Umayyah yang memerintah kepulauan itu dari Cordoba, menyatakan otonomi penuh pemerintahan dan daerahnya dari kekhalifahan `Abbasiyah di Baghdad.
Ia menggalakkan kebijakan inklusifnya dalam hal agama dan etnisitas, untuk meredam pergolakan yang terjadi di dan menyatukan wilayahnya. Ia menopang kehidupan seni dan ilmu, dan mendorong kalangan minoritas untuk mengembangkan potensi intelektual dan budaya mereka.
Umat Kristiani, yang sebelumnya pernah berkuasa di wilayah itu, mulanya ogah-ogahan menerima posisi sebagai warga kelas dua. Beberapa gejolak terjadi di kawasan mereka tinggal. Kemudian mereka mendukung kebijakan inklusif itu.
Sedang bagi umat Yahudi, tawaran ini kemajuan amat berarti dibanding sebelumnya, di abad keenam, ketika mereka dikejar-kejar oleh kaum Visigoth bangsa Aria.
Benih-benih convivencia sudah mulai tersebar saat itu. Tapi vitalitas keagamaan semua umat tidak hanya berasal dari situ, sekalipun jelas ditopang oleh keterbukaannya pada dunia luar. Para sarjana dan pemikir Yahudi justru lebih banyak lagi mendulang inspirasi dan model dari wilayah Islam di sebelah timur, dari pusat kekhalifahan `Abbasiyyah di Baghdad.
Dari pusat kekuasaan politik dan gairah intelektual itu, mengalir segala temuan dalam studi-studi atas Alkitab dan Talmud, pengetahuan mengenai filsafat dan sains, penguasaan atas bahasa Ibrani dan kesusastraannya. Semuanya berkat keterbukaan Andalusia kepada pengaruh luar. Ini juga yang kemudian memungkinkan tersalurkannya sumbangan umat Yahudi di Iberia kepada dunia luar.
Tapi itu saja belum mencirikan capaian tertinggi convivencia. Puncak the golden age ini ditandai oleh sikap kaum Muslim terhadap kelompok minoritas di sana. Sebagai bagian dari kebijakannya agar semua kelompok etnis dan agama berpartisipasi dalam pemerintahannya, `Abd al-Rahman menyeleksi para pejabat pemerintahan di posisi tertinggi yang mewakili masing-masing kelompok minoritas dan menjadikan mereka pemimpin efektif komunitas-komunitas itu.
Orang-orang ini dipilih atas dasar kontribusinya bagi negara, dan bukan atas dasar tempat terhormatnya di komunitas bersangkutan karena alasan-alasan teknis keagamaan, misalnya penguasaan atas kitab suci. Mereka biasanya berasal dari kalangan aristokrat, banyak di antaranya dokter, dan menguasai banyak bahasa: jenis orang yang bergaul baik dengan kalangan istana Bani Umayyah.
Oleh umat Yahudi, wakil yang dipilih `Abd al-Rahman ternyata juga dipandang sebagai wakil yang dapat memperjuangkan kepentingan mereka. Contoh terkenalnya adalah Hasdai ibn Shaprut. Ia keturunan aristokrat, mengerti bahasa Arab dan Latin, berprofesi sebagai dokter, dan pertama kali dikenal khalifah karena keahlian medisnya.
Ia kemudian ditunjuk sebagai pengumpul pajak di beberapa tempat. Sejak ia ditunjuk sebagai pemimpin masyarakat Yahudi, umat Yahudi pada gilirannya memandangnya sebagai nasi, putra mahkota mereka.
Model Hasdai ini menjadi prototipe wakil Yahudi di istana sejak abad kesepuluh hingga akhir abad kelimabelas, ketika baik umat Yahudi maupun Islam diusir dari kepulauan itu oleh raja-raja Kristen yang berkuasa kemudian.
Kewajiban dan tanggung jawab utama Hasdai, seperti juga semua wakil agama dan etnis, adalah menjadi pembantu yang setia di istana, siapa pun yang berkuasa di situ. Ada ketegangan struktural dalam realitas ini, khususnya yang kadang meletup antara wakil ini dengan wakil-wakil komunitas Yahudi yang resmi. Tinggallah bagaimana si wakil mengelola ketegangan-ketegangan itu dengan baik.
Pada kasus Hasdai, ia dipandang berhasil menjadi jembatan antara kekhalifahan dan masyarakat Yahudi. Kadang ia juga menjadi jurubicara Yahudi di Iberia dengan komunitas Yahudi di luar itu.
Ia juga dengan percaya diri mengambil contoh yang baik dari komunitas Muslim, khususnya minat besar Khalifah pada ilmu dan kebudayaan: ia mengundang para sarjana, penyair, filsuf Yahudi ke Iberia. Dengan begitu Iberia juga menandai kebangkitan agama Yahudi, dengan tokoh-tokoh menonjol seperti Maimonides.
Bagaimana kita melihat pengalaman convivencia ini? Saya mencatat sedikitnya tiga hal penting.
Pertama, ada konteks kesejarahan di mana kaum Muslim berada di masa kejayaan. Ini topik besar yang berada di luar bahasan kita, yang masih harus dibicarakan apa dasar-dasar kesuksesannya, khususnya basis ekonominya. Yang pasti, telah tampil di tengah itu sebuah kekhalifahan yang berwawasan luas dan berkinerja baik.
Kedua, ditopang oleh kejayaan itu, ada kesediaan untuk membuka diri baik kepada kalangan minoritas di dalam maupun saingan di luar (kekhalifahan `Abbasiyah di Baghdad). Di bawah naungan institusi dzimmah, kekhalifahan dengan baik memanfaatkan potensi kalangan minoritas di dalam justru untuk memperkuat dirinya dalam persaingannya dengan saingan sesama Muslim di luar.
Ketiga, yang terpenting dalam konteks kita, pelibatan kalangan minoritas berlangsung dalam suatu iklim pemerintahan yang boleh kita sebut sekular. Para pejabat, juga dari kalangan minoritas, dipilih bukan karena keahlian agamanya, melainkan karena kemampuannya menjalankan pemerintahan.
Bahwa kemudian ia, seperti Hasdai, memperoleh penghargaan tinggi dari komunitas agamanya, itu tambahan yang penting. Itu juga membuktikan bahwa sejenis sekularisasi justru bermanfaat besar bagi kemaslahatan umat beragama.
Bayangan Castro mengenai convivencia di Andalusia mungkin memang terlalu idealistik dan romantik. Tetapi koeksistensi antara ketiga komunitas agama memang terjadi, yang ditandai oleh saling pinjam dan saling mempengaruhi yang kreatif.