IslamLib – Islam sebagai komunitas politik di Madinah adalah hasil kolaborasi berbagai unsur, antara Nabi, kaum muslim, oran-orang Yahudi Madinah, dan lingkungan politik ketika itu, khususnya dua imperium besar Romawi dan Persia. Ajaran-ajaran Islam menyangkut persoalan-persoalan keduniaan merupakan “karya bersama” yang diciptakan oleh kondisi dan situasi di mana Nabi hidup.
Dengan kata lain, tak pernah ada bentuk final dari ajaran-ajaran itu, karena Nabi dan para pengikutnya selalu berusaha mencari model yang terbaik yang bisa diterapkan dalam masyarakat Islam.Sebagai produk kolaborasi banyak unsur, ajaran-ajaran dan doktrin Islam sesungguhnya bersifat relatif. Ia tunduk kepada kepentingan-kepentingan situasional.
Dari sudut pandang sejarah, tidak ada yang permanen dalam doktrin Islam, karena ia diciptakan oleh kondisi tertentu. Adanya unsur-unsur beragam dalam masa-masa awal pembentukan Islam juga mengindikasikan bahwa tidak ada yang murni “religius” dalam doktrin Islam.
Apalagi perkara-perkara yang menyangkut persoalan publik seperti politik, ekonomi, dan hukum, unsur-unsur “sekular” (non-agama) sangat kental mewarnai pembentukan doktrin-doktrin tersebut. Dalam banyak urusan menyangkut persoalan keimanan, perintah rinci mengenainya kerap kali datang langsung dari Nabi berdasarkan petunjuk wahyu.
Tapi dalam banyak urusan keduniaan, seringkali wahyu (baca; Alquran) datang belakangan untuk mengkonfirmasi atau mengoreksi apa yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Dengan kata lain, dalam urusan-urusan keduniaan, Nabi dibebaskan Tuhan untuk melakukan kreativitas dan ijtihadnya sendiri –yang kadang salah dan kadang benar– sedangkan dalam masalah-masalah keimanan, Tuhan memberikan garis-garis besar secara langsung lewat wahyu.
Dengan demikian, praktik kehidupan berpolitik (polity) Nabi di Madinah sesungguhnya bukanlah sebuah pelaksanaan terhadap sebuah format tata pemerintahan yang sudah jadi dan sempurna, tapi merupakan proses percobaan yang dilakukan secara terus-menerus.
Karenanya, sebagai sebuah masyarakat yang masih sangat sederhana, Madinah pada masa Nabi bukanlah inspirasi yang ideal untuk tata-kehidupan bernegara, apalagi negara modern. Kota ini tak punya model yang jelas tentang format politik, ekonomi, dan juga hukum.
Hal ini karena misi utama Nabi adalah sebagai seorang rasul dan bukan sebagai pemimpin politik. Apa-apa yang menyangkut bidang-bidang ini, Nabi lebih sering menjalankannya berdasarkan “logika keadaan” ketimbang perintah-perintah baku dari Tuhan.
Dalam bidang hukum, misalnya, Nabi lebih sering menerapkan standar umum yang berlaku ketika itu. Aturan-aturan hukum yang sebelumnya dipraktikkan oleh masyarakat Madinah, dan khususnya pemeluk Yahudi, diadopsi dan dipertahankan.
Beberapa pasal atau aturan hukum yang dijalankan Nabi untuk menegakkan keadilan di Madinah bahkan kadang tak ditemukan sama sekali dalam Alquran, tapi memiliki rujukan dalam tradisi masyarakat Madinah. Misalnya, untuk menyebut satu contoh, hukuman rajam. Jenis hukuman ini tak ditemukan dalam Alquran.
Ia adalah warisan hukum bangsa Yahudi yang secara jelas disebut dalam kitab Perjanjian Lama. Bahkan, aturan teknis dari penerapan hukum ini sangat kental diwarnai semangat keyahudian (Israiliyyat). Dalam sebuah Hadis tentang pelaksanaan hukum rajam, Nabi mengutip kitab suci orang-orang Yahudi bahwa “hendaknya yang paling suci di antara kalian yang melempar batu pertama.”
Alquran lebih sering mengkonfirmasi apa-apa yang dijalankan Nabi dan para sahabatnya mengenai persoalan-persoalan hukum ketimbang memberi inisiatif tentang apa yang harus dilakukan Nabi. Bahkan detil-detil dari hukum personal (ahwal shakhsiyah) seperti masalah perkawinan, perceraian, dan warisan, sebagian besar datang berdasarkan pertanyaan para sahabat kepada Nabi.
Dengan kata lain, Alquran tidak akan memberikan inisiatif apa-apa menyangkut persoalan keduniaan Nabi selama Nabi menemukan model yang baik untuk diterapkan. Begitu juga, dalam bidang ekonomi, masyarakat Madinah melakukan aktivitas ekonomi sesuai dengan “aturan main” pada saat itu.
Masyarakat Arab yang pencarian utamanya berdagang sangat bergantung kepada sistem merkantilisme yang berlaku dalam sistem ekonomi-politik yang lebih luas, dalam hal ini, Romawi dan Persia. Pada masa mudanya, Nabi pernah pergi beratus-ratus kilo meter ke wilayah kekuasaan Romawi untuk menjajakan barang dagangannya.
Tradisi mengikuti “arus pasar” ini tak pernah dilarang oleh Nabi, atau paling tidak tak pernah disinggung-singgung. Nabi dan para sahabatnya lebih memilih mengikuti aturan main yang berlaku pada saat itu. Inisiatif “ekonomi Islam” baru datang belakangan (yakni pada masa Umawiyah), setelah kekuasaan politik Islam semakin luas, dan kerajaan Islam membutuhkan kurensi (alat pertukaran) sendiri untuk memudahkan transaksi ekonomi mereka, dan agar tidak tergantung dengan kerajaan-kerajaan lain.
Singkatnya, Islam pada periode Madinah adalah Islam yang terus mencari tata sistem pemerintahan yang cocok. Hingga Nabi wafat, model politik yang baku tak pernah diformulasikan olehnya. Hal ini lumrah saja, karena tujuan dan fungsi utama Nabi adalah sebagai seorang rasul dan bukan pemimpin –dan apalagi– pemikir politik.