Home » Kajian » Sejarah » Carl Brockelmann, Kajian Islam, dan “Superioritas” Barat
Perpustakaan Widener, Universitas Harvard

Carl Brockelmann, Kajian Islam, dan “Superioritas” Barat

4.79/5 (24)

IslamLib – Mereka yang melakukan riset tentang Islam dengan pendekatan filologi dan kajian teks sudah pasti mengenal nama Carl Brockelmann (1868-1956). Dialah orang yang berjasa besar bagi para peneliti Islam melalui karyanya yang sudah sangat klasik, Geschichte der Arabischen Litteratur. Karya ini dikenal melalui inisialnya yang sering kita jumpai dalam buku-buku para Islamisis atau pengkaji Islam di Barat: GAL.

Buku Brockelmann ini adalah semacam katalog yang mencakup seluruh karya yang pernah ditulis oleh sarjana Islam dalam berbagai bidang pengetahuan, sejak era klasik hingga modern (hingga tahun 1902). Ini adalah karya yang sangat massif. Ia memuat ribuan manuskrip kuno (karya yang belum diterbitkan; masih berupa tulisan tangan) serta informasi yang lengkap mengenai keberadaannya (di perpustakaan apa, dan di negeri mana), berikut dengan data-data yang spesifik mengenai manuskrip itu (pengarang, jumlah halaman, kualitas fisik manuskrip, dan ada berapa manuskrip serupa di tempat lain, dsb.).

Mula-mula, karya Brockelmann ini terbit dalam dua jilid, antara 1898 dan 1902. Tiga jilid suplemen menyusul kemudian dan terbit antara 1943-1949. Dua jilid yang pertama memuat seluruh data tentang karya-karya yang pernah ditulis oleh sarjana Arab sejak zaman awal Islam, era Umayyah, era Abbsiyah, era Usmani, hingga awal abad ke-20. Sementara dua jilid suplemen yang pertama memuat sejumlah koreksi dan tambahan atas data-data yang sudah ada dalam dua jilid sebelumnya. Jilid yang terakhir dalam edisi suplemen memuat data literatur Arab hingga Perang Dunia kedua.

Karya Brockelmann ini bukan saja memuat data mentah berupa daftar judul buku dan manuskrip, tetapi juga biografi pengarang, tinjauan ringkas mengenai bidang-bidang keilmuan yang tumbuh dalam tradisi intelektual Arab/Islam, serta sejarah perkembangan masing-masing disiplin ilmu yang lahir di era klasik itu.

Membaca karya Brockelmann ini bukan saja menghadapkan kita pada sebuah data yang begitu massif, tetapi juga semacam tamasya yang mengasyikkan dalam kebun pemikiran Arab/Islam yang terbentang sejak abad ke-8 Masehi hingga paroh pertama Abad ke-20. Dengan kata lain, ini adalah sebuah “katalog” raksasa yang mencatat dengan begitu detil buah pikiran manusia yang hidup di kawasan Arab dan sekitarnya selama hampir dua belas abad alias 1200 tahun!

Yang mengagumkan bukan hanya kekayaan data buku ini, tetapi hal yang lain lagi: Brockelmann mengerjakan buku ini sendirian, sejak ia masih usia muda hingga sepuh. Karya ini dikerjakan Brockelmann sepanjang hayat, tanpa henti. Ia meninggal pada 1956, pada usia 88 tahun, dan meninggalkan pada kita karya yang mengabadikan namanya hingga sekarang.

Sebelum Brockelmann, sebetulnya sudah ada orang-orang lain di dunia Islam yang mengerjakan karya bio-bibliografis semacam ini. Di era klasik, kita mengenal Ibn al-Nadim (w. 995), seorang bibliografer dari Persia, yang menulis Al-Fihrist atau Al-Fahrasat. Setelah jeda panjang, muncul pengarang Muslim dari era Usmani, Haji Khalifah atau Ketip Celebi (w. 1657) yang menulis karya berjudul Kasyf al-Zunun. Karya Brockelmann meneruskan tradisi ini, dan menambahkan data-data baru yang jauh lebih kaya dan sistematis.

Setelah Brockelmann, hingga sekarang, belum ada orang lain yang melakukan pekerjaan serupa. Karena itu, karya sarjana Jerman ini menjadi pegangan satu-satunya bagi siapapun yang ingin melakukan penelitian naskah-naskah Islam/Arab, terutama yang muncul di kawasan Timur Tengah. Tak ada sumber lain yang bisa menjadi alternatif. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam setiap karya kesarjanaan modern tentang Islam, kita kerap berjumpa dengan inisial GAL yang tak lain adalah Geschichte der Arabischen Litteratur karya Brockelmann itu.

Saya berjumpa pertama kali dengan karya Brockelmann ini melalui terjemahan Arabnya, berjudul Tarikh al-Adab al-Arabi (Sejarah Sastra Arab). Saya jumpai terjemahan ini di perpustakaan kampus saya dulu, di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), Jakarta.

Sebetulnya judul terjemahan ini bisa mengecoh. Apa yang disebut “litteratur” oleh Brockelmann bukanlah sastra dalam pengertian yang kita pahami sekarang ini. Yang ia maksudkan adalah, seperti dikatakan Jan Just Witkam, “all verbal utterances of the human mind,” semua jenis ujaran manusia dalam pengertian yang seluas-luasnya.

Karena itu, karya Borckelmann ini mencatat seluruh korpus pemikiran Arab/Islam dalam beragam bidang: tafsir, hadis, kalam, fikih, tasawwuf, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra, grammar, leksikografi, dll.

Saat pertama kali saya berhadapan dengan edisi asli karya Brockelmann ini (dalam bahasa Jerman), terus terang muncul banyak pertanyaan dan keheranan dalam diri saya: Bagaimana Brockelmann memikiki stamina kesarjanaan yang begitu panjang untuk menyelesaikan karya semacam ini? Apa yang susungguhnya ia cari? Kepuasan akademis? Kemasyhuran? Keuntungan ekonomi? Kenapa dia memiliki perhatian begitu besar pada sejarah literatur Arab/Islam?

Pertanyaan lain yang juga mengganggu saya adalah ini: Jika kita melihat begitu banyak sarjana Barat (Eropa/Amerika) yang mau “bertungkus-lumus” melakukan kajian atas Islam, dengan “passion” yang begitu besar, kenapa hal serupa tak kita lihat pada orang Islam terhadap peradaban bangsa lain? Kenapa, misalnya, hingga sekarang tak kita jumpai sarjana Islam yang melakukan studi dengan mendalam mengenai literatur kekristenan yang lahir di Eropa sejak era klasik hingga modern? Kenapa tak ada Brockelmann versi Islam?

Why such imbalance? Kenapa ada ketidak-seimbangan “akademis” semacam ini? Kenapa orang Barat dengan tekun dan semangat yang besar melakukan kajian atas Islam, tetapi tak ada, atau jarang sekali orang Islam yang melakukan kajian terhadap “orang lain” dengan cara yang kurang lebih serupa?

Sebagai contoh saja: hingga sekarang ini, saya masih jarang  melihat karya kesarjanaan (bukan karya polemis yang isinya hanya mencari kesalahan-kesalahan saja!) yang ditulis oleh sarjana Muslim tentang, misalnya, Kristen atau sejarah masyarakat Eropa. Sementara, jumlah sarjana Barat yang menulis tentang Islam tak terhitung jumlahnya. Hingga sekarang, penelitian dan karya tentang Islam yang ditulis oleh sarjana Barat masih terus berlangsung dan bermumculan. Tak pernah henti. Sementara dari pihak Muslim, hal serupa tak pernah atau jarang terjadi.

Karya terakhir tentang Kristen yang ditulis oleh sarjana Muslim dengan pendekatan akademis (tetapi diungkapkan dengan gaya populer) adalah sejarah Yesus karya Reza Aslan, berjudul Zealot (terbit Juli, 2013). Setahu saya, hanya ini contoh yang bisa saya sebut dalam beberapa tahun terakhir. Ada karya-karya penulis Muslim lain tentang Kristen, tetapi hanya polemik yang sama sekali tak menarik dilihat dari sudut kajian akademis, seperti buku-buku karya Ahmad Deedat atay Zakir Naik.

Sejarawan Inggris-Amerika Bernard Lewis pernah mengemukakan sebuah pengamatan menarik mengenai perkara ini dalam bukunya yang kontroversial, What Went Wrong (2002). Ia, antara lain, mengatakan: Saat umat Islam berada di puncak peradaban pada era Umayyah, Abbasiyyah, dan Usmaniyyah dulu, tampaknya minat mereka untuk mempelajari dan menelaah peradaban lain tidak lah begitu besar. Selain penerjemahan karya-karya filsafat Yunani (yang sebagian besar dikerjakan oleh orang-orang Kristen Arab pada zamannya), minat sarjana Islam pada khazanah peradaban lain tak begitu besar dan mendalam.

Kita hanya mengenal satu-dua nama saja seperti Ibn Battuta (w. 1377), seorang pelancong Muslim dari suku Berber, yang melakukan perjalanan hingga ke India, dan konon sempat mampir di Samudra Pasai, Aceh. Di luar itu, kita tak mengenal pelancong-pelancong Muslim lain yang dengan minat besar ingin mempelajari budaya bangsa lain di luar Islam.

Kenapa? Bernard Lewis mengemukakan sebuah alasan penjelas, meskipun agak spekulatif. Dia mengatakan: Mungkin saja umat Islam menganggap kurang perlu mempelajari kebudayaan bangsa lain, karena mereka telah merasa menggenggam “kebenaran mutlak”. Tak ada yang patut dipelajari dari bangsa-bangsa lain yang menurut mereka “kafir” itu.

Alasan lain, menurut Lewis: Karena umat Islam merasa berada di puncak peradaban, sementara bangsa-bangsa lain berada jauh di bawah mereka dilihat dari sudut kemajuan. Karena itu, mereka tak merasa perlu mempelajari kultur orang-orang di luar Islam. Keadaan inilah yang membuat umat Islam dalam waktu yang cukup lama berada dalam semacam “isolasi kultural”. Isolasi ini baru runtuh ketika Napoleon Bonaparte menyerang Mesir pada 1798.

Saat itulah, umat Islam terhenyak dan kaget luar biasa: ternyata bangsa Barat telah melampaui mereka dalam persaingan peradaban. Saat itulah, umat Islam menyadari bahwa ada yang “kurang” pada diri mereka. Sejak Mesir diserang Napoleon, sejarah begerak terus secara konstan dan ritme yang belum berubah: Barat unggul, dan umat Islam tertinggal. Mulailah umat Islam berbondong-bondong melancong ke Barat dan belajar di sana. Sebelumnya, hal ini tak pernah terjadi.

Membaca karya massif Brockelmann di atas itu langsung mengingatkan saya pada fakta-fakta pahit ini. “Superioritas” Barat (jika kita boleh memakai istilah ini) terlihat bukan saja dalam bidang kemajuan sains, teknologi, ekonomi dan kekuatan militer. Bahkan dalam kajian Islam pun, orang-orang Barat ini melakukan kegiatan-kegiatan intelektual raksasa yang bahkan tak dikerjakan oleh umat Islam sendiri.

Saya kagum pada karya Brockelmann ini, tetapi juga sekaligus getir.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.