Latar belakang
Istilah “spiritualisme kritis” pertama saya gunakan dalam novel Bilangan Fu (2008).[2] Novel itu ditulis dengan latar belakang meningkatnya kekerasan atas nama agama di Indonesia dan terorisme di dunia. Suasana itu memunculkan lagi pertanyaan tentang hubungan kekerasan dan agama, yang menjadi awal kegelisahan saya. Yang bagi saya lebih mendasar adalah kekerasan faham atau kekerasan koginitif. Dialah yang melegitimasi kekerasan fisik. Maka, gugus tanya-jawab yang muncul adalah ini:
Gugus 1. Apakah agama memang mengajarkan kekerasan? Jawabnya, monoteisme (setidaknya trio Yahudi-Kristen-Islam) tidak bisa mengelak bahwa ada banyak ayat yang menganjurkan kekerasan dan menghalalkan pembunuhan. Tapi, agama juga mengajarkan kebaikan dan cintakasih. Karena kita tidak bisa memilih hanya yang kita suka dari suatu kitab, maka cara baca macam apakah yang dibutuhkan? Jika ayat-ayat adalah data, maka software apa yang diperlukan agar komputer tidak meledak oleh kekerasan?
Gugus 2. Apakah hanya agama yang mengajarkan kekerasan? Apakah legitimasi kekerasan itu eksklusif agama? Jawabnya tidak. Faham-faham lain, yang spiritual, magis, maupun sekular, juga tidak terbebas dari kekerasan. Maka, ini bukan milik agama semata. Saya berpendapat ini adalah soal dalam cara kita berpengetahuan. Monoteisme hanyalah satu dari moda pengetahuan ini. Jika kekerasan adalah inheren dalam struktur pengetahuan kita, adakah jalan keluar?
Parang Jati, tokoh dalam Bilangan Fu, menyodorkan spiritualisme kritis. Tawarannya ketika buku itu terbit (2008) memang intuitif. Sejak itu saya mencoba mendalami dan memperjelas apa sebetulnya yang dimaksud. Singkatnya, spiritualisme kritis adalah sikap spiritual yang tidak mengkhianati nalar kritis. Atau, sikap kritis yang tidak tertutup pada hal-hal di luar kapasitasnya.[3]
Pertanyaannya, apakah itu mungkin? Apakah itu bukan suatu contradictio in terminis? Apakah itu sekadar kompromi pragmatis cari aman; sesuatu yang mulus di permukaan tetapi retak di dalam? Tulisan ini mencoba memberi sekilas jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Ada banyak cara untuk masuk ke dalam masalah. Saya mencoba masuk dari pengalaman keindonesiaan saya. Saya sedang menyiapkan tulisan panjang yang terbagi tiga judul utama: Rasa, Rasio, dan Religi (Rasa, Reason, Religion).[4] Masing-masing merupakan pembacaan atas sumber sastra tradisional atau pramodern (dalam hal ini, karya sastra Jawa untuk bagian Rasa dan Alkitab untuk Rasio), dan sumber pustaka modern yang berhubungan. Untuk kesempatan kali ini, saya hanya akan menyampaikan rangkuman bagian Rasa dan Rasio.
Rasa
(Berangkat dari kenusantaraan) Saya ingin berangkat dari pengalaman Indonesia, demi menggali jawaban yang otentik. Saya tinggalkan dulu semua kitab dan teori yang tidak berhubungan langsung dengan nusantara. Toh, tak bisa tidak, saya melakukan penyederhanaan dan berada dalam keterbatasan dalam menerangkan Indonesia.
Dari keragaman nusantara, saya mengambil Jawa Tengah sebagai representasi utama. (Parang Jati juga berasal dari daerah sekitar Jogya-Solo sekalipun hubungannya dengan keraton-keraton sangat samar jika tidak pernah disebut. Ayahnya jelas sekali penganut, bahkan pemimpin, kebatinan tertentu.) Saya sendiri orang Jawa. Bapak-ibu dari Jogjakarta, bukan bangsawan, mereka adalah generasi pertama yang berpendidikan modern, dari keluarga kejawen, menjadi Katolik di usia belasan. Nilai-nilai Jawa saya alami secara alamiah dan otentik, tapi ini sekaligus merupakan keterbatasan saya.
Di sisi lain, melihat Jawa sebagai wakil penting nusantara pun bukannya tak berdasar. Lebih dari setengah populasi Indonesia adalah orang Jawa. Tanpa maksud menjadikannya norma, Jawa sangat sering merupakan pusat kekuasaan, sedikitnya pada era kerajaan Majapahit, kolonialisme, dan republik di bawah Sukarno dan Soeharto, sehingga pengaruhnya cukup luas dan dalam bagi nusantara.
Dalam nilai hidup orang Jawa saya menemukan suatu konsep kunci, yaitu rasa, yang saya kira menjelaskan mengapa orang Jawa di masa lalu toleran dan sinkretis. Mereka punya kemampuan untuk mendamaikan perbedaan agama dan meramunya. Dengan demikian mereka jauh dari kekerasan atas nama kebenaran atau iman. (Bukan berarti orang Jawa tidak melakukan kekerasan.
Sejarah kerajaan Jawa penuh dengan kekerasan sehubungan perebutan kehormatan dan kekuasaan. Tapi tidak atas nama ajaran agama.) Kemampuan toleransi dan sinkretisme ini juga bukan berarti hanya milik orang Jawa. Hanya saja, kepustakaan yang disediakan orang Jawa sendiri cukup banyak. Mereka cukup elaboratif dalam menulis soal rasa, sehingga kita punya materi otentik untuk mulai.
Para cendekia modern yang telah menulis tentang rasa, secara khusus maupun mencakupnya dalam kajian yang lebih luas, antara lain: Zoetmulder, Clifford Geertz, Frans Magniz Suseno. Atau Marc Benamon (tentang gamelan). Di sisi penghayat kebudayaan itu sendiri, seperti telah disebut, orang-orang Jawa banyak merumuskan tentang rasa. Catatan yang tersimpan dengan baik antara lain dari Pakubuwana IV, Mangkunegara IV, Ranggawarsita.
Sedangkan mengenai toleransi dan sinkretisme, kita bisa membaca sejauh Negarakertagama. Belum lagi, pendapat para seniman masa kini (dalang, nayaga, sinden, penari) dalam menilai keindahan, atau penganut kebatinan dan agama yang tidak dogmatis. Dari mereka kita tahu bahwa rasa [pernah] meresapi sendi dan lapisan kehidupan Jawa. Boleh disimpulkan, rasa adalah sari spiritualias Jawa.
Pertanyaannya, apakah rasa masih meresapi sendi dan lapisan kehidupan nusantara? Kenyataan meningkatnya intoleransi dan kekerasan atas nama agama tentu saja mengantar kita pada dugaan bahwa rasa tak lagi meresapi sendi kehidupan kita. Rasa, yang menjaga toleransi dan mengolahnya ke dalam bentuk-bentuk sinkretis, mulai pudar. Tentu tetap perlu penelitian untuk membuktikan itu.
Di sini saya membatasi diri dalam usaha melihat mekanisme ataupun struktur rasa dan menganalisa adakah problem di sana dalam menghadapi tantangan zaman ini. Usaha itu saya kerjakan dengan membaca tiga gugus sumber: 1) kesusastraan Jawa (saya mulai dengan Wedhatama, Wulangreh, dan masih sedang melanjutkan), 2) kajian cendekia modern (Etika Jawa, Manunggaling Kawula Gusti, Agama Jawa, Rasa: Affect and Intuition Javanese Musical Aesthetics), dan 3) pengalaman pribadi sebagai anak dalam keluarga Jawa biasa.
Ketiga gugus sumber itu bersama-sama menunjukkan bahwa rasa memang sangat dihargai dalam budaya Jawa. Para pujangga dan seniman menempatkan rasa di atas kemampuan lain. Pada saat yang sama, rasa tidak memberi rumusan dan tidak bisa dirumuskan.
Kitab Wedhatama karya Mangkunegara IV, misalnya, menempatkan sembah rasa paling tinggi dalam tingkat keberagamaan manusia. Pada sembah rasa, tidak ada lagi pengetahuan sebab orang sudah berada dalam pengetahuan itu sendiri. Tidak ada lagi petunjuk, sebab orang sudah bersatu dengan petunjuk. Ini sangat dekat, jika bukan sama, dengan pemahaman manunggaling kawula gusti ataupun tingkat makrifat.[5]
Samengko ingsun tutur
Gantya sembah ingkang kaping catur
Sembah rasa karasa wosing dumadi
Dadine wus tanpa tuduh
Mung kalawan kasing batos
Wedhatama, bait 70
Suatu pengetahuan yang datang dari persatuan antara yang mengetahui dan diketahui adalah tema jika bukan tingkat pengetahuan yang sangat sulit dan tinggi, dan mustahil bagi mekanisme rasio. Persoalannya, bagaimana rasa bisa dikomunikasikan atau diajarkan di kalangan yang tidak mendalami mistik, seni, atau ilmu? Bagaimana rasa diturunkan dan disebarkan pada anak-anak dan orang awam dalam bahasa bersama? Dalam praktik, sejak dini anak-anak diajar merasa.
Misalnya, malu (isin), atau takut, terutama karena kehadiran pihak lain. Pihak lain itu bisa saja orang lain, tamu, atau hantu, gendruwo dsb. Alih-alih memberi pengetahuan langsung tentang sebab-akibat, orangtua Jawa lebih mengajarkan anak merasa ada pihak lain.
Sekalipun banyak orang [sok] modern menganggap cara ini memelihara takhayul dan tidak cerdas, saya ingin menghargai kebiasaan tersebut secara lebih positif. Cara ini membangun kesadaran anak bahwa hidup adalah dalam relasi, sebuah kesadaran yang sangat penting untuk mendirikan tepa selira, tenggang rasa, dll etika Jawa.
Penting dikatakan, jika kita bicara rasa, itu mencangkup makna yang sangat luas. Dari formula ideal para pujangga (puncaknya adalah ilmu yang tak bisa difahami secara rasional), proses kreatif para seniman, hingga praktik pendidikan sehari-hari. Rasa bukan cuma sesuatu yang tak mungkin dikomunikasikan karena di sana tak ada lagi pemisahan obyek-subyek. Rasa juga ada dalam praktik dan kata-kata sederhana sehari-hari.
Problem Rasa
(Problem komunikasi dan esensial) Para pujangga Jawa mengagungkan rasa. Para cendekia modern juga, dengan cara lebih akademis, menguraikan kualitas tinggi rasa sebagai suatu model berpengetahuan yang lain dari “rasionalitas Barat” dan sangat berharga. Kenyataannya, saya, sebagai “anak Jawa” pun, tidak begitu mudah memahaminya.
Tapi, apa itu “anak Jawa”? Saya bisa dibilang berada di tepian. Artinya, meski saya mengidentikkan diri dengan Jawa (melalui orangtua, bahasa, makanan, pakaian resmi, kesadaran asal-usul, dll), saya selalu bisa melihat ranah budaya lain dan bisa keluar dari kejawaan.
Dan punya identitas-identitas lain. Meski Ayah menyuruh kami memangggil kakak dengan “mbak” atau “mas”, atau menyebut diri dengan “dalem”, atau berbicara dengan pembantu seperti seorang bendoro, saya bisa memberontak diam-diam. Saya menolak berbicara dalam bahasa Jawa.
Saya lahir di Bogor dan besar di Jakarta. Barangkali karena punya banyak alternatif identitas, saya bisa berjarak dan bersikap kritis pada budaya Jawa (yang ketika itu, di masa kanak saya, terasa feodal). Tampaknya, hal itu juga menyebabkan saya [bisa mengatakan] tidak faham apa itu rasa.