Peristiwa nuzulul Qur’an yang dialami Nabi Muhammad bukanlah hasil tanpa proses. Sebelum menerima wahyu, secara psikologis nabi telah lama galau-gelisah karena tatanan sosial yang berlaku pada zamannya.
Kontemplasi yang sering beliau lakukan di Gua Hira’, tak lain merupakan cara Nabi merefleksi ihwal masyarakatnya, sambil mencari inspirasi soal tata cara mengubahnya. Demikian perbincangan Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (20/10), dengan Achmad Chodjim, penulis buku-buku tasawuf, antara lain Islam Esoteris, Jalan Pencerahan, Makna Kematian, dan beberapa buku tafsir.
Mas Chodjim, kenapa Alquran mesti turun?
Sebenarnya, upaya memahami makna turunnya Alquran tidak bisa dilepaskan dari sudut orang yang menerimanya. Artinya, ia tidak pernah bisa lepas dari karakter serta perjuangan hidup Kanjeng Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi.
Kita tahu, beberapa tahun sebelum Alquran diturunkan, Kanjeng Nabi sudah terbiasa melakukan tahannuts (kontemplasi, Red) di Gua Hira’, dan itu selalu dilakukan pada bulan Ramadan.
Apakah bulan Ramadan sudah dianggap suci dalam tradisi Quraisy ketika itu?
Belum, karena Ramadan pada waktu itu hanya merujuk pada suatu kondisi satu bulan dari dua belas bulan yang ada. Tepatnya, ia bulan kesembilan di mana kondisi Jazirah Arab amat terik, sangat panas, dan terpanas. Pada waktu itu, bulan Ramadan tidak dikaitkan dengan rembulan, tapi dengan peredaran matahari. Makanya, setiap bulan sembilan, di sana panas sekali.
Kita juga tahu, kata Ramadan itu sendiri berasal dari kata Arab ra-ma-dla yang berarti memanggang atau memanaskan. Turunan kata bendanya adalah ramdlâ’yang berarti memanggang, memanaskan, atau kondisi sangat terik. Jadi Ramadan ketika itu memang dikenal sebagai masa di mana orang-orang Arab sana malas keluar rumah.
Untuk orang–orang tertentu, melakukan tahannuts di gua-gua adalah pilihan. Di sana mereka bisa melakukan apa yang pada saat ini kita sebut refleksi diri, perenungan diri, introspeksi diri, dan penilaian atas kehidupan.
Nah, nabi sudah beberapa kali melakukan hal serupa. Jadi bukan sekali Ramadan itu saja. Ada yang menyebutkan, sebelumnya ia sudah lebih dari lima kali melakukan tahannuts. Tapi baru kali itulah nabi menerima wahyu pertama. Karena tahannuts-nya bertepatan dengan bulan Ramadan, maka Ramadan menjadi momen penting.
Apakah wahyu, ilham, atau inspirasi yang mencengangkan dalam hidup hanya mungkin didapat lewat proses perenungan yang syahdu seperti nabi di Gua Hira?
Kalau kita memahami proses awalnya, memang begitulah adanya. Artinya, hanya orang-orang yang betul-betul sudah dapat membakar egonya saja yang akan mampu menjadi tempat bersemainya kalam Allah.
Ketika seseorang telah membersihkan hatinya, ilham akan mengucur bagai air yang mengalir. Bahwa di dalam perkembangan hidup nabi selanjutnya wahyu turun pada saat-saat genting seperti perang atau dalam tekanan hidup, itu tidak menafikan proses awalnya.
Artinya, seandainya seseorang tidak melakukan suatu proses pencarian, tidak akan pernah ada wahyu. Nabi Ibrahim sendiri menerima wahyu setelah melalui proses pencarian yang sangat panjang. Perjalannya untuk menemukan Tuhan merupakan proses pencarian, bukan seperti kita zaman sekarang yang tinggal dididik untuk percaya saja tanpa proses pergulatan.
Artinya, ada dialektika antara proses manusiawi untuk mencari inspirasi guna mengubah keadaan, dengan ketentuan Tuhan pada siapa ilham atau wahyu akan diberikan?
Ya. Saya melihat, selama ini pemahaman yang umum sering mengartikan redaksi man yasyâ’ (misalnya dalam ayat “yuthil hikmata man yasyâ”, atau Allah akan memberi kearifan pada siapa pun yang ia kehendaki) selalu diartikan dengan kehendak Tuhan semata-mata.
Padahal, kata man yasyâ’ yang termuat dalam banyak ayat Alquran, selalu terkait dengan hubungan antara dua belah pihak. Jadi, wahyu sekalipun merupakan dialektika yang dinamis dan terus-menerus antara sang pencari dengan Yang Dicari.
Istilahnya, selalu ada hubungan antara murid dengan murâd. Karena itu, sebuah pilihan tidak bisa diberikan secara ngawur. Sejarah Nabi Musa menunjukkan itu, dan Nabi Yusuf juga begitu. Semua riwayat hidup para nabi adalah rekaman sebuah perjalanan; ada fase-fase yang harus mereka lewati.
Hanya saja, memang kita tidak bisa menganggap semua orang yang mencari pasti akan berjumpa (ilham atau wahyu, Red). Tapi yang pasti, orang yang berjumpa atau menemukan wahyu adalah orang yang mencari.
Bisakah Mas Chodjim menyebut alasan-alasan sosiologis, atau kondisi kebudayaan yang memungkinkan turunnya Alquran kepada nabi kita?
Di abad ketika Rasul asyik berkontemplasi itu, jazirah Arab sedang diwakili oleh kondisi yang sangat buruk dalam tatanan sosial. Kalau kita coba bandingkan antara abad itu di Arab dan di Jawa, maka kita akan mendapatkan bahwa di Jawa pada masa yang sama, Ratu Shima sudah meletakkan hukum-hukum untuk menjamin kemakmuran dan keamanan rakyatnya.
Sementara di zaman jahiliyah ketika itu di Jazirah Arab, setiap orang dapat bertindak sewenang-wenang. Para elite Quraisy masa itu berbuat zalim terhadap orang-orang yang lemah.
Jadi wahyu itu ada kaitannya dengan (adanya) hidup tanpa tatanan sama sekali (sebelumnya, Red). Makanya, bukan hanya satu orang saja yang melakukantahannuts di bulan Ramadan di waktu itu, tapi banyak juga lainnya.
Di antaranya, paman Khadijah isteri nabi, Waraqah bin Naufal. Orang lain seperti Utsman bin Tsa’lab dan lain-lain juga giat mencari tempat untuk refleksi, kontemplasi, meditasi, dan sebagainya.
Artinya, mereka-mereka termasuk orang-orang yang sudah tak nyaman lagi dengan status quo sosial-kebudayaan di masanya. Dalam bahasa kita, mereka adalah orang-orang yang prihatin. Keprihatinan itu lalu dimanfaatkan untuk melakukan perenungan di tempat-tempat yang teduh seperti di gua-gua.
Hanya saja, tidak semua yang prihatin akan mendapat ilham atau wahyu, ya, Mas?
Tentu saja tidak. Makanya tidak boleh dibalik. Analoginya sama dengan “semua orang yang mendapatkan ijasah harus ujian”. Tapi, tidak setiap orang yang ikut ujian akan mendapat ijasah, karena bisa saja di antara mereka ada yang tidak lulus.