Mencari jawabannya lewat penelusuran genealogis turunnya wahyu Tuhan di tengah setting sosial komunitas Mekkah dulunya, kita terasa sangat signifikan. Karena pertama, penelusuran ini akan membantu menemukan misi profetik kenabian secara universal.
Dan kedua, seperti pengakuan Nasr Hamid dan Muhammad Syahrur, sesungguhnya terdapat dialektika yang sangat rumit antara realitas faktual dengan teks agama. Artinya, konteks dalam pandangan Nasr Hamid sangat mempengaruhi kehadiran teks. Sedangkan Syahrur mengatakan, tanpa adanya realitas faktual, teks takkan pernah ada sampai kapanpun.
Dengan kata lain, walaupun diyakini sebagai hidayah Allah yang mutlak kebenarannya, wahyu Tuhan turun dalam sebuah periode sejarah; sebuah kurun waktu tertentu dengan keterbatasan-keterbatasan realitas sosial yang hidup di zaman itu. Ini artinya al-Qur’an atau wahyu Tuhan turun dalam dimensi waktu dan lokus umat yang menyertai Nabi Muhammad sebagai penyampai wahyu (rasul).
Dan sebagai Nabi, ia seorang pemimpin yang menjalankan misi kenabian, yaitu membangun tatanan sosial yang baru. Tradisi Arab yang berkembang pada saat itu, yang lebih dikenal zaman jahiliyah, jauh dari nilai-nilai kemanusian. Ketidakadilan sosial dengan memosisikan perempuan di posisi marjinal, mengubur hidup-hidup bayi perempuan, dan memelihata kesenjangan ekonomis di antara masyarakat adalah cermin dari kultur Arab pada saat itu.
Tatanan kehidupan Arab tak lebih seperti konstruksi sosial yang mengedepankan supremasi naturalistik, atau dalam bahasa Sir Thomas Hobbes natural society, sebagai aturan main kehidupan, sebagaimana tercermin dari kehidupan tribalisme.
Makanya, jahiliyah dalam pandangan Muslim Abdurrahman (2003: 110), merupakan gambaran dari orang-orang yang menyekutukan Tuhan, yakni menyembah berhala. Dalam wujud sosialnya, masyarakat Mekkah merupakan bangunan masyarakat yang secara sosial, ekonomi, dan politik, hidup dalam subordinasi kekuasaan dan hegemoni sejumlah pedagang Quraisy yang bersikap eksploitatif terhadap kelompok-kelompok sosial rentan, seperti anak-anak yatim, kaum miskin, dan para janda.
Inilah setting sosial di mana Alqur’an atau wahyu Tuhan turun. Artinya, agama datang untuk menjawab dan memberikan solusi atas tatanan jahiliyahisme. Maka misi profetiknya adalah menjawab dengan penyeruan tauhid. Yakni, membebaskan umat manusia dari penghambaan selain kepada Tuhan penciptanya, dan kepasrahan atas hancurnya solidaritas sosial karena kuatnya semangat individualisme akibat keserakahan manusia (elite Quraisy) dalam menumpuk harta demi mengukuhkan statusnya pada saat itu.
Dengan demikian, benar apa yang dikatakan Gus Dur bahwa kehadiran agama tak lain untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan. Namun dalam proses perjalanannya, agama kehilangan misi profetiknya, yaitu pembebasan manusia dari bentuk-bentuk hegemoni ketidakadilan sosial dan bahkan agama menunjukkan ketidakakrabannya dengan lingkungannya (manusia), dengan melahirkan elitisme-elistisme agama.
Agama akan menjadi elitis, selama ia belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusian, belum mampu menjawab mengapa kemiskinan terjadi dan mengapa ketidakadilan sosial terjadi di antara umat manusia. Padahal kelahiran agama adalah untuk kedamaian, kesejahteraan, dan kepentingan manusia bukan kepentingan Tuhan.
Agama akan tetap menunjukkan ketidakakrabannya dengan rakyat, ketika ia menampakkan ketidakberaniannya membicarakan kenyataan sejarah, di mana orang tidak bisa memilih satu di antara dua kenyataan, yaitu mau lahir dari rahim sosial apa dan siapa.
Seseorang mungkin akan lahir dan langsung diuntungkan oleh sejarahnya, sementara yang lain serta-merta dirugikan oleh sejarahnya sejak lahir. Ini adalah awal ketimpangan sosial. Ironis, dan kontraproduktif dengan esensi beragama. Namun elitisme bisa terjadi, bermula dari cara pandang yang fatalistik dalam memaknai Tuhan.
Memosisikan manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki kesadaran diri, kebebasan memilih, dan kemampuan berkreativitas. Apapun bentuk kenyataan sosial yang terjadi kemarin, sekarang dan besok, manusia tidak mempunyai keterlibatan apapun di dalamnya. Itu semua merupakan takdir Tuhan yang harus diterima.
Cara pandang yang fatalistik dalam implementasinya, akan mempengaruhi cara pandang yang lain, misalnya kemiskinan. Fenomena kemiskinan idipersepsi sebagai kenyataan sosial yang sudah ditakdirkan Tuhan dan harus kita terima. Fenomena kemiskinan tidak dilihat sebagai kenyataan ketidakadilan sosial, yang harus dilawan oleh agama karena bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan.
Orang yang miskin intelektual dalam keagamaan bukanlah karena enggan belajar, tetapi sering disebabkan oleh sistem dan lingkungan sosial. Di sisi lain, memaknai kesalehan (ketaqwaan) dengan menyibukkan diri mengurusi Tuhan juga ikut menambah dan menjadikan agama dan beragama secara elitis.
Kesalehan tidak hanya bisa dicapai lewat memperbanyak amalan-amalan formal-ritualistik, seperti tidak cukup sekali melaksanakan haji. Akan tetapi, bagaimana bentuk-bentuk ritual mampu membawa pencerahan dan pembebasan di tengah ketidakadilan sosial.
Penyebab elitisme yang lain, memosisikan kaum miskin atau ploretar, orang yang tertindas dengan status sosial, sebagai the second dalam beragama. Artinya, memosisikan mereka sebagai konsumen bukan sebagai pelaku-pelaku agama. Ini terlihat ketika mereka ingin berdialog dengan Tuhan harus memanggil orang yang dianggap expert untuk membaca doa.
Jadi mereka tidak menjadi produsen dari keyakinan agamanya sendiri. Bagi Muslim Abdurrahman (2003: 187), kenyataan ini menggambarkan seolah-olah agama menjadi bagian dari bagaimana menjadi orang miskin yang kuat, tatkala mereka miskin, mengalami kemiskinan.
Standar keagamaan dan kesalehan kaum tertindas, kaum miskin bagi Munir Mulkhan (2003: 58), tidak diukur dari jumlah pengetahuan tentang ritus-ritus standar yang dibakukan, tentang kitab, tentang Tuhan dan makhluk gaib, tetapi dari ketulusan keagamaan sesuai ilmu yang kreatif yang dimiliki sesuai cara mereka sendiri.
Jadi keadilan keberagamaan bukan hanya membagi wilayah surgawi oleh kaum elite dan pemimpin agama, tapi cara mengakomodasi keagamaan rakyat sebagai local genius yang beragam dan tradisional. Akhirnya, suatu kewajiban menjadikan agama sebagai kekuatan ideologis yang mampu membela (fungsi advokasi) kaum tertindas secara intelektual maupun sosial menuju religious consciousness, kesadaran beragama dalam merespon problematika sosial.
Nabi bersabda, “Saya berdiri di depan pintu surga. Tiba-tiba masuklah ke dalam surga orang-orang yang pada umumnya miskin, ketika orang-orang yang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya.” (H.R. Bukhari-Muslim).