IslamLib – Kenangan dari masa kecil yang tak pernah saya lupakan adalah saat ayah saya mengajar santri senior, setiap hari, mulai dari pukul 10 hingga 12 siang. Pada saat bedug lohor berbunyi, biasanya ayah saya berhenti mengajar. Ia lakukan hal itu selama bertahun-tahun.
Yang mengharukan saya bukan pengajian itu sendiri, tetapi ayah saya hanya mengajar dua santri saja. Sebab yang ia ajarkan adalah kitab kelas “berat”, yaitu ‘Uqud al-Juman, sebuah literatur Arab klasik mengenai teori sastra karya Jalal al-Din al-Suyuti (w. 1505). Saya kadang heran: kenapa ayah bersedia mendedikasian dua jam sehari hanya untuk dua santri senior saja? Bukankah itu tindakan yang sia-sia belaka?
Jika ayah saya mengaji kitab-kitab kelas “ringan”, seperti tafsir Jalalain, atau Taqrib (sebuah “primer” atau kitab dasar mengenai fikih mazhab Syafii), santri yang ikut ngaji memang cukup banyak. Tetapi begitu kitab yang dikaji makin meningkat, jumlah santri yang ikut merosot jumlahnya. Pada satu titik, ayah saya bahkan hanya mengajar satu santri saja, karena santri yang satunya sedang uzur, tak bisa datang.
Bertahun-tahun kemudian, saat saya belajar di Boston, Amerika Serikat, saya kerap teringat pada ayah saya, karena beberapa kelas yang saya ambil hanya diikuti beberapa gelitir mahasiswa sahaja. Saya pernah mengikuti suatu kelas di Universitas Boston yang hanya diikuti oleh dua mahasiswa. Itu terjadi saat saya mengambil kelas seorang profesor muda asal Kanada, Tareq Jaffer. Kelas itu membahas buku al-Ghazali (w. 1111), “Tahafut al-Falasifah”.
Pada kesempatan yang lain, saya mengikuti kelas tentang sejarah sastra Arab klasik di Universitas Harvard yang diampu oleh seorang Islamisis besar asal Jerman, Prof. Wolfharts Heinrich (dia sudah meninggal pada 2014 lalu). Kelas itu adalah semacam “text reading” atas karya klasik dari al-Jahidz (w. 868), Kitab al-Bayan wa al-Tabyin. Hanya ada lima mahasiswa yang duduk di kelas itu.
Kenapa seorang kiai atau profesor mau mendedikasikan waktunya hanya untuk mengajar beberapa gelintir santri atau mahasiswa saja? Ini kontras dengan “pengajian” yang kita lihat di beberapa tempat di Jakarta, di mana santri yang ikut belajar di sana berjumlah ratusan, bahkan kadang ribuan. Mengajar santri dalam jumlah besar tentu lebih menarik, dan tentu saja memuaskan dari segi pengaruh sosial. Tetapi, mengajar santri dan mahasiswa yang hanya beberapa gelintir saja, untuk apa?
Yang mengharukan: ayah saya tidak lalu kehilangan “passion” dan semangat hanya karena mengajar murid yang jumlahnya cuma dua orang. Begitu juga Prof. Heinrich tak lalu kelihatan malas-malasan, hanya karena dia berhadapan dengan lima mahasiswa saja (kadang yang hadir di kelas hanya tiga atau dua orang, karena yang selebihnya absen; ini sering terjadi pada saat kelas berlangsung di musim dingin dan bersalju).
Saya kira ada sesuatu yang mendorong seorang guru, kiai atau profesor mendedikasikan diri pada pengajaran, walau hanya berhadapan dengan murid yang sedikit jumlahnya. Yang paling utama dan harus disebut terlebih dahulu ialah kecintaan pada ilmu. Ayah saya mencintai ilmu dengan cara yang mungkin hanya digambarkan dengan puisi Sapardi Djoko Damono, seperti “kata yang tak sempat ducapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.” Kecintaan yang sederhana, tapi begitu mendalam.
Tetapi yang lebih penting lagi ialah, saya kira, kebahagiaan dalam berbagi. Ayah saya mengajar santri-santri itu tanpa gaji. Kenapa ia mau melakukannya selama bertahun-tahun, tanpa suatu keuntungan moneter yang bisa didapat? Saya kira, salah satu penjelasannya ialah kebahagiaan yang diperolehnya saat membagikan ilmu kepada orang lain.
Kita memang kerap mendapatkan kebahagiaan setelah membagikan sesuatu yang ada pada kita dengan orang lain. Entah itu berbagi sesuatu yang kasat mata seperti uang, hak milik, atau sesuatu yang tak tampak seperti pengetahuan. Saya kira ini pula yang menjelaskan kenapa dahulu, banyak para misionaris, pendakawah Islam, dan para kiai yang mau menanggung kesengsaraan dan kemiskinan, melancong ke negeri-negeri jauh untuk mengajarkan pengetahuan yang mereka yakini akan membawa keselamatan bagi manusia.
Bagaimana menjelaskan para misionaris Eropa pada abad-abad lampau yang mau melintasi lautan, mendatangi negeri-negeri yang jauh di Asia Timur dan Asia Tenggara, hanya untuk mengajarkan sebuah kitab yang mereka anggap suci?
Bagaimana menjelaskan para dai Islam dari tanah Arab dan Persia yang menempuh perjalanan ribuan kilo meter, meninggalkan kampung, kerabat dan keluarga untuk mengajarkan kitab-kitab tentang Islam kepada penduduk setempat di kawasan Asia Tenggara seperti di Indonesia? Mereka tak mendapatkan keuntungan apa-apa dari kegiatan misi dan dakwah semacam itu. Bahkan dalam banyak kasus mereka harus menghadapi resiko kematian karena pengajaran yang mereka lakukan.
Kenapa manusia mau melakukan tindakan-tindakan yang nyaris “self-less”, tanpa memikiran kepentingan diri semacam itu? Selain apa yang disebut “kebenaran” telah membakar sesuatu dalam jiwa mereka, saya kira tindakan semacam ini juga didorong oleh kegembiraan mengabarkan sesuatu yang baik dan membagikannya kepada orang banyak.
Saya masih melihat banyak sekali kiai di Jawa saat ini yang dengan begitu mengagumkan mengajar para santri, mendidik mereka, sepanjang hayat, tanpa ada suatu gaji atau “monetary rewards” yang setimpal. Mereka ini mengajarkan literatur Islam klasik dalam berbagai bidang – literatur yang sudah jarang atau bahkan sama sekali tak diajarkan di perguruan tinggi. Saya sungguh kagum pada dedikasi semacam ini.
Jika pamrih material adalah satu-satunya hal yang menggerakkan manusia untuk melakukan sesuatu, saya rasa para kiai itu sudah berhenti mengajar. Meski saya tahu ada banyak kiai yang saat ini mulai menikmati gaya hidup yang berkelimpahan secara material, tetapi saya tahu masih ada sejumlah kiai dan guru-guru pesantren yang bertebaran di banyak tempat di Indonesia ini. Merea mengajar dengan penuh pengabdian, dengan resiko kemiskinan. Dedikasi semacam ini hanya bisa dijelaskan oleh dua hal saja: kecintaan pada ilmu, dan kebahagiaan karena membagikan ilmu pada orang lain.
Pada tingkat pribadi, kegiatan membagikan sesuatu dengan orang lain memang mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan. Tetapi ada fungsi lain dari tindakan ini. Salah satu fondasi penting masyarakat, saya kira, adalah etos berbagi sesuatu kepada orang lain tanpa berhadap suatu imbalan. Berbagi dan memberikan sesuatu kepada orang lain menciptakan suatu perasaan simpati dan peduli kepada orang lain. Perasaan semacam ini sangat penting, karena dari sanalah kekokohan dan kohesivitas sosial tercipta.
Tanpa tindakan berbagi dalam masyarakat, masing-masing individu akan merasa terisolir, hidup dalam sebuah pulau terasing tanpa simpati dan sikap peduli dari orang lain. Dalam keadaan semacam ini, tentu masyarakat akan rentan terhadap fragmentasi dan perpecahan. Kohesivitas masyarakat bisa dipupuk melalui tindakan-tindakan sederhana seperti berbagi sesuatu dengan orang lain.
Saat melihat orang-orang yang mau berbagi sesuatu tanpa suatu pamrih, kita menjadi ingat bahwa ada sektor dalam kehidupan sosial yang tak selurunya dikuasai oleh logika “jual-beli” dengan perhitungan moneter. Memang benar bahwa insentif keuangan adalah salah satu motivasi besar bagi manusia untuk bertindak. Tetapi kehidupan sosial begitu kaya dan kompleks. Hukum “jual beli” bukanlah satu-satunya hukum yang bekerja dalam masyarakat. Ada sektor lain dalam kehidupan sosial yang tak seluruhnya dikuasai oleh hukum semacam ini.
Ada hukum lain yang juga bekerja bekerja: yaitu hukum berbagi yang menimbulkan kepuasan bagi seseorang. Melalui hukum semacam ini kita bisa menikmati kehangatan sosial, bukan sekedar pengalaman “kering” dari kegiatan yang dikuasai oleh hukum jual beli. Kehangatan sosial ini menjadikan kehidupan individual dalam masyarakat menjadi bermakna.[]