Dalam tradisi Islam, hijrah memiliki dimensi makna yang eksistensial berupa transformasi mental individu kepada nilai universalitas kemanusiaan. Dimensi makna eksistensial hijrah itu berkait dengan—memakai ungkapan Immanuel Kant—ruang bebas individu untuk mengikuti kata hati (the pure practical reason, sebagai basis good will—niat baik) yang tidak mungkin bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal (liberatif dan emansipatif), seperti liberal, toleran, anti kekerasan, adil, anti eksploitasi, egaliter, plural, dan lain-lain.
Hadits Nabi tentang hal itu sangat jelas. Misalnya yang masyhur adalah sabda Nabi tentang niat. Kitab al-‘Arba’in al-Nawawi, karya al-‘Allamah al-Imam al-Nawawi, urutan awal kodifikasi hadits memuat posisi niat (sebagai dimensi makna eksistensial) dalam hijrah.
“……Barangsiapa berniat hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka nilai hijrah itu berdimensi ilahiyah dan rasuliyah. Dan barangsiapa berniat hijrah karena ingin memperoleh dunia dan karena perempuan yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrah hanya untuk sesuatu yang menjadi tujuannya itu” (HR. Bukhari Muslim).
Kenapa seorang individu sebaiknya memancangkan niat untuk berhijrah ke jalan Allah dan Rasul-Nya? Adakah hak mengklaim posisi hijrah individu mengarah kepada niatan hati tersebut? Jalan Allah dan Rasul bukanlah jalan yang ditempuh, karena manusia mengharap surga dan menghindar dari neraka.
Jalan Allah dan Rasul dijadikan poin niat transformasi mental karena Allah dan Rasul merupakan jati diri eksistensial kemanusiaan. Dengan kata lain, Allah merupakan poros yang menjadi substansi kebenaran dan Rasul adalah poros moralitas universal yang pada poros itulah seluruh dimensi kemanusiaan kembali.
Allah adalah kebenaran itu sendiri yang personifikasi moralitasnya adalah Rasul. Dengan makna seperti ini, pemancangan niat itu adalah pengakuan untuk turut merasakan dan terlibat dalam proses-proses substansialisasi manifestasi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam hal ini, tidak tepat klaim individu telah mengarah kepada Allah dan Rasul. Karena Allah dan Rasul dalam pengertian di atas merupakan nilai yang senantiasa ditempuh melalui proses panjang dan berliku. Ia baru bermakna ketika ada upaya menerjemahkan nilai menjadi fakta sosial yang damai dan menyejukkan secara eksistensial.
Akan tetapi, kalaupun klaim tersebut hendak dinilai, bisa dilakukan melalui fenomena manifestasi sikap individual ketika menerjemahkan nilai universal kemanusiaan dalam dunia realitas. Di sini ada ‘strukturasi’ klaim: jika Allah dan Rasul adalah poros substansial nilai universal, maka kehadiran individu dalam realitas tidak mungkin bertolak-belakang dengan nilai-nilai tersebut. Individu-individu itu pasti toleran, tidak represif, anti kekerasan, dan seterusnya.
Makna hijrah sebagai transformasi eksistensial individu dalam sejarah realitas sosial keagamaan terungkap sangat beragam. Terdapat beberapa spektrum sosial keagamaan yang berbasis pada legitimasi interpretasi teks wahyu dengan merasa sebagai kebenaran masing-masing.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah sejauhmana kita telah berusaha menjadikan nilai kemanusiaan yang kita anut bersifat—meminjam istilah Jurgen Habermas—rasional dan teleologis bagi komunikasi praksis di ruang publik (public sphere)?
Tak pelak lagi, ketika sekelompok individu terlibat dalam komunitas tertentu, termasuk komunitas keagamaan, akan memiliki spektrum pemikiran dan artikulasi sikap yang luas dan beragam. Hal ini terjadi karena dalam logika komunitas terdapat identitas baik yang bersifat politik, sosial maupun ekonomi.
Dari sejarah keagamaan dalam Islam klasik maupun kontemporer kita mungkin bisa belajar banyak hal tentang fenomena ini. Beragam aliran keagamaan muncul. Aliran keagamaan—mungkin tepatnya spektrum pemikiran keagamaan yang mengemuka itu terkadang merupakan respon terhadap situasi sosial-keagamaan.
Kadangkala merupakan dialog publik antara sekelompok masyarakat yang mewakili dinamika pemikiran filsafati di jamannya. Fenomena aliran-aliran keagamaan seperti mu’tazili, syi’i, sunni, dan lain sebagainya dalam era Islam klasik serta aliran-aliran keagamaan seperti revivalis, substansialis, puritanis, liberalis, fundamentalis, tradisionalis, modernis—meski aliran-aliran yang disebut belakangan merupakan kategori sosial yang muncul kemudian—di jaman Islam kontemporer adalah gambaran konkret tentang hal itu.
Munculnya spektrum pemikiran yang mewakili aliran keagamaan itu adalah sesuatu yang wajar dan merupakan dinamika sosial masyarakat yang tidak bisa dihindari. Sesungguhnya, spektrum pemikiran itu adalah artikulasi bebas yang bermanfaat bagi ghirah kebebasan individu untuk berpikir dan memikirkan realitas publiknya.
Spektrum pemikiran yang muncul itu seyogianya direspon dengan penghargaan yang setinggi-tingginya. Dengan demikian, kehadiran aliran pemikiran dalam bidang keagamaan itu akan menjadi intisari civil liberty dengan ciri khas penghargaan ruang private di ruang publik.
Kendati demikian, karena spektrum pemikiran itu merupakan kehendak bebas untuk mengartikulasikan penerjemahan fakta keagamaan, maka seyogianya ia hadir sebagai pembebas dan kebebasan pemikiran.
Tidak mungkin kehadiran spektrum pemikiran itu menjadi ruang bebas jika terdapat lembaga yang memasung dan melakukan hegemoni atas nama apapun. Dalam arti yang lebih konkret, artikulasi bebas terhadap fakta keagamaan itu tidak mungkin wujud jika dikontrol oleh otoritas bernama lembaga negara.
Sejarah Islam klasik menjelaskan kepada kita betapa ketika artikulasi keagamaan diinstitusionalisasikan dalam kebijakan negara, maka yang terjadi adalah monopoli kebenaran atas nama negara. Munculnya pemikiran, wacana, dan penafsiran keagamaan lain terhadap teks wahyu dianggap sebagai pengkhianatan dan subversi terhadap negara.
Kisah Ahmad ibnu Hanbal ketika menentang pemikiran Khalifah al-Makmun tentang al-Qur’an kemudian dianggap menyimpang dari negara adalah kisah tragis pemasungan kebebasan berpikir dalam upaya mengembangkan wacana keagamaan.
Ada beberapa kerugian nyata ketika kita menginginkan interpretasi teks keagamaan terlembagakan dalam kebijakan negara. Pertama, secara agama tidak akan ada lagi wacana lain dalam interpretasi agama. Konsekuensinya, agama akan menjadi sekedar instrumen negara.
Kedua, agama akan bersifat politis. Agama akan menjadi legitimasi politik. Karena logika politik adalah konstituen, maka agama akan bersifat represif dan radikal. Padahal agama hadir untuk perdamaian dan keadilan. Ketiga, ekspresi keberagamaan tidak lagi terjamin secara bebas sebagai ekspresi individu di publik; sebagai urusan publik. Agama hanya akan menjadi biang dan kedok untuk kepentingan sekelompok orang berkuasa.
Kerugian yang nyata itu tentu saja berbahaya bagi proses penerjemahan nilai universal kemanusiaan. Karena tidak ada yang paling absah kecuali negara dengan segenap logika kekuasaannya untuk menetapkan apakah suatu interpretasi agama layak ataukah tidak.
Padahal dalam beragama, setiap orang sebagai penganut agama punya hak untuk men-discourse wacana keagamaannya di ruang publik. Dengan melembagakan agama ke dalam negara, ruang dialog publik keagamaan tidak akan pernah terealisir. Justeru yang terealisir adalah represi agar mengakui interpretasi resmi negara terhadap suatu teks wahyu.
Fenomena sosial keagamaan yang berkembang di masyarakat berkait dengan isu pelembagaan norma keagamaan dalam negara mungkin cukup mengkhawatirkan. Paling tidak dengan bangunan logika di atas. Di samping itu, beberapa kelompok masyarakat yang memanifestasikan praksis tafsir keagamaan secara represif merupakan langkah mundur sejarah.
Tuntutan mereka agar agama dilembagakan merupakan langkah radikal. Langkah tak rendah hati. Karena dengan demikian ada klaim kebenaran yang bersifat represif dengan menganggap tafsir keagamaan kelompoknya yang paling absah. Tafsir keagamaan kelompoknya yang paling menjamin bisa masuk surga.
Akhirul kalam, hijrah sebagai respon terhadap realitas keagamaan dengan cara represif sebagaimana disebut di atas tentu saja bisa dinilai bertolak-belakang dengan spirit agama dan hijrah itu sendiri yang merupakan transformasi eksistensial untuk menerjemahkan nilai universal kemanusiaan secara bebas di ruang publik. Langkah ini terhitung radikal. Tidak moderat.
Moderat di sini adalah pilihan sikap rendah hati untuk tidak mengklaim kebenaran sebagai hanya miliknya. Dalam hal ini, tantangan pemeluk agama di masa depan adalah menuntut dan menjaga eksistensi agama sebagai diskursus dan aktus di ruang publik yang bisa didialogkan secara rasional dan teleologis tanpa ada intervensi lembaga bernama negara sedikitpun.