Seringkali formalisme fikih mengungkung makna dan tujuan yang lebih substansial dari satu ibadah. Apalagi jika formalisme itu diwujudkan dengan mengancam dan melakukan kekerasan kepada orang lain yang berpandangan berbeda. Demikian sebagian perbincangan Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan KH. Husein Muhammad, Pengasuh pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun di Cirebon, tentang makna puasa dan idulfitri.
Kang Husein, apa sesungguhnya yang bisa dimaknai dari idul fitri?
Saya ingin melihat dan genuine dari idulfitri.’Iedadalah kembali, fithri adalah fitrah. Fitrah biasa dimaknai oleh banyak ulama sebagai kesucian, karena itu maka idulfitri adalah kembalinya manusia kepada kesucian dirinya. Saya kira ini menjadi titik utama bagi cara pandang kita terhadap apa yang kita laksanakan selama satu bulan penuh dalam bulan ramadan, berpuasa itu.
Nah kalau kita korelasikan antara tujuan atau makna idulfitri dengan ayat al-quran yang menegaskan tentang kewajiban berpuasa kemudian diakhiri dengan la’allakum tattaqun, supaya kamu bertakwa, maka artinya adalah, maka hendaknya kita setelah idulfitri ini dapat melahirkan pribadi-pribadi yang suci, yang menghayati nilai-nilai kemanusiaan karena fitrah kemanusiaan adalah suci, fitrah kemanusiaan adalah menyelamatkan orang, damai, dan lain sebagainya.
Ini juga terkait dengan hadis “Islam itu adalah agama fitrah.” Sehingga sebetulnya ketika kita kembali kepada fitrah adalah kembali kepada Islam dalam arti penyerahan diri kepada tuhan dan menyelamatkan orang, mendamaikan orang. Saya kira ini adalah inti dari takwa dalam kaitannya dengan idulfitri ini.
Jadi sebetulnya kembali kepada fitrah atau mungkin ke kesucian primordial atau kesucian awal kita sebagai manusia itu tentu sangat terkait sekali dengan sebuah proses yang sudah berlangsung sebelumnya, proses penempaan diri dalam berpuasa.
Sebagian ulama juga mengartikan idulfitri sebagai kembali berbuka puasa, artinya tidak berpuasa lagi. Bagaimana Kang Husein bisa menarik makna esoteris dari konsep kefitrahan itu?
Ya, saya kira benar bahwa kata fitrah juga sering disebut dengan berbuka atau makan (futhur). Akan tetapi itu saya kira itu hanya memperlihatkan cara-cara awam di mana makan dan minum adalah sesuatu yang lumrah, sesuatu yang dibutuhkan manusia.
Tetapi saya ingin melihat fitrah dalam makna yang lain, yang seperti yang sudah saya kemukakan tadi. Jadi tampaknya kehidupan ini memiliki dua dimensi atau dialektika dua dimensi, kebaikan dan keburukan. Manusia juga diberi naluri-naluri fitrah yang di dalamnya juga ada kecenderungan-kecenderungan nafsu. Ada nafsu yang kadang-kadang ketika kita tidak menempatkannya pada satu tempat yang benar maka menjadi buruk.
Akan tetapi itu fitrah manusia. Dan Islam saya kira ingin mencoba menaklukkan nafsu-nafsu yang tidak terkendali itu melalui proses puasa. Inti dari puasa adalah mengendalikan kecenderungan-kecenderungan buruk dari manusia yang tidak terkendali sehingga dapat dikendalikan dan dapat diarahkan kepada hal-hal yang lebih baik bagi kemanusiaan.
Ada yang mengatakan, mestinya di dalam bulan Ramadan kita menahan diri. Faktanya, tingkat konsumerisme justru meningkat, kemudian juga bentuk kesemena-menaan ketika menghadapi persoalan juga meningkat dan ada juga sikap peminggiran terhadap kelompok-kelompok yang dianggap melanggar kesucian Ramadan. Apa komentar Kang Husein?
Saya kira fenomena ini sudah berlangsung sangat lama sekali. Saya mempunyai kesan bahwa Ramadan atau puasa itu dikenal oleh masyarakat dengan pengertian yang sangat sederhana. Kalau kita melihat pandangan Imam Ghazali misalnya, puasa dibagi menjadi puasa awam, khawas, dan khawasul khowasmisalnya.
Puasa awam itu memang dipakai oleh orang untuk menahan diri dari makan dan minum pada waktu siang sampai menjelang berbuka. Hal ini yang paling umum dan inilah yang dipahami oleh banyak sekali masyarakat terhadap makna puasa.
Efek-efek psikologis dan esoterisnya tidak muncul di situ. Saya kira kalau menginginkan puasa memiliki dampak sosial, dampak pribadi, spiritual yang tinggi, seharusnya kita sudah memulai masuk ke dalam sebuah makna puasa yang kedua yaitu khawas.
Bagi al-Ghazali, salah satu kriteria orang orang berpuasa khawas adalah supaya kalau makan tidak berlebih-lebihan. Ini tidak disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka menganggap yang penting buka. Yang terjadi justru berbanyak-banyak, bermewah-mewah, konsumtif, dan lain sebagainya. Jadi makna terdalam dari puasa itu tidak muncul di tengah-tengah masyarakat
Mungkin bisa dilanjutkan dengan apa fase selanjutnya.
Nah, fase ke tiga adalah fase yang sangat sulit, termasuk bagi saya, karena itu sudah memperlihatkan pikiran. Puasa orang khawasul khawas adalah puasa di mana pikiran orang yang berpuasa tidak beralih dari tuhan sehingga semuanya harus memikirkan tuhan, dan hal-hal yang bersifat dunia itu tidak muncul dalam pikiran orang itu sendiri.
Ini saya kira tidak bisa diikuti oleh banyak orang. Tapi paling tidak saya berharap bahwa masyarakat muslim puasanya meningkat tidak hanya sekedar puasa awam tapi menuju pada puasa khawasul khawas itu.
Jadi puasa kita selama ini tidak menyumbangkan etos asketik, yakni menahan diri dari sifat keduniaan seperti konsumerisme?
Ya, saya melihatnya belum. Tidak tahu siapa yang bertanggung jawab terhadap persoalan ini, masyarakat selalu menjadikan puasa sebagai formalisme keberagamaan semata-mata. Karena pada kenyataannya, setelah puasa, apa yang dituntut oleh puasa, yang dianjurkan oleh para dai juga tidak muncul.
Konsumerisme menjadi kecenderungan umum, menyalahkan atau menyakiti orang lain sudah menjadi kecenderungan umum, ini semua terjadi karena puasa kita pada umumnya adalah puasa yang formalis. Jadi tidak substansialis.
Saya kira justru asketisme banyak muncul dari tradisi-tradisi lokal, tradisi-tradisi orang kampung yang sederhana sekali, tetapi mereka memiliki filsafat yang sangat tinggi, filsafat kehidupan. Itu dapat kita temukan di banyak sekali komunitas yang kita anggap rendah akan tetapi saya kira itu memang harus kita pelajari.
Harus kita adopsi praktek-praktek peribadatan seperti itu, meskipun secara formal mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan keagamaan. Lagi-lagi secara global saya ingin mengatakan bahwa tingkat keberagamaan kita itu formalis tidak substansialis.
Bagaimana kita membedakannya?
Jadi kalau formalis itu hanya sekedar memenuhi syarat dan rukun yang kelihatan. Sementara yang substansialis adalah yang menghayati makna terdalam dari perintah-perintah puasa itu, meskipun tidak harus kemudian mengikuti aturan-aturan itu. Sebenarnya kalau dilihat dari segi substansialnya, sebetulnya yang dipraktekkan dalam tradisi-tradisi lokal yang seakan-akan tidak islami, secara substansialis sebenarnya adalah islami.
Dan itu sebetulnya yang diinginkan oleh para penyebar agama Islam yang pertama sehingga tradisi-tradisi lokal, sepanjang itu menuju pada gejala-gejala substansialis, maka dianggap sebagai sesuatu yang sah. Nah, munculnya kecenderungan untuk formalis ini tampaknya juga karena fikih kita yang dimunculkan adalah fikih-fikih formalis, bukan fikih-fikih substansialis. Jadi munculnya fenomena masyarakat yang konsumtif, konsumeris juga disumbang oleh cara pandang terhadap kriteria-kriteria yang dianggap sah dari puasa itu sendiri.
Kira-kira apa terobosan penting yang perlu dilakukan menurut Kang Husein agar kita tidak sekadar berhenti pada sesuatu yang formalistik itu tadi?
Ya, saya kira menarik apa yang ditulis oleh Imam Ghazali. Ia mengubah rumusan-rumusan terhadap terma-terma ibadah. Misalnya, salat itu bukan sekedar aqwalun wa af’alun muftatahatun bittakbir wamuhtatamatun bittaslim(kata-kata, ucapan-ucapan dan perbuatan yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam). Al-Ghazali juga menambahkan syarat khusyu’ misalnya. Artinya kalau orang tidak khusyu’, salatnya batal.
Puasa misalnya, saya kira tidak hanya makan dan minum. Jadi definisinya dirombak, dan itu harus dieksplisitkan bahwa kalau ngasarin orang, ngomongin orang itu batal puasanya, dan itu betul-betul batal puasanya, bukan sekedar batal secara etika. Hanya memang agak sulit sekali bagaimana mengukur itu jika nantinya diterapkan kepada orang awam.
Ini memang problem fikih, fikih dihadapkan pada kebutuhan masyarakat awam yang melihatnya pada sisi yang dapat dicapai oleh akal pikiran dan diukur oleh banyak orang. Ini memang sulit merumuskannya, tapi paling tidak sudah dimulai dengan rumusan-rumusan baru, definisi-definisi baru terhadap terma-terma yang ada di dalam fikih.
Ada lagi gejala di masyarakat kita khususnya beberapa tahun belakangan ini puasa mengalami sakralisasi sedemikian rupa. Misalnya, karena bulan puasa mengandaikan bahwa semua orang harus berpuasa, kemudian rumah-rumah makan yang buka digrebeg, dan lain sebagainya. Apa komentar Anda?
Ya, ini juga menjadi keprihatinan saya. Persoalan-persoalan yang bersifat individual, keyakinan-keyakian individual mempunyai praktek-praktek yang sebetulnya lebih bermakna anjuran atau penekanan pada kehidupan asketik, kehidupan moral itu lalu harus dikalahkan dengan kecenderungan berpikir formal itu.
Artinya ada orang, kelompok-kelompok yang memaksakan kehendaknya bahwa semua orang harus mengikuti pandangan-pandangan dia yang formalistik itu. Padahal, ketika kita mencoba menganjurkan mereka untuk hidup asketik, maka agama akan dilihat sebagai sesuatu yang sangat toleran kepada orang yang lain.
Saya kira hal ini kalau tidak dicari akarnya itu akan sulit sekali. Makna sebetulnya dari bentuk-bentuk ibadah formal itu untuk apa sebetulnya, ini harus digali. Apakah berhenti pada persoalan ritual itu sehingga semuanya sudah akan menjadi baik?
Mungkinkah memakai asumsi bahwa momentum puasa yang mensyaratkan kita untuk menahan diri, juga mensyaratkan kita menahan orang lain, mensweeping orang lain, atau juga bertindak agresif terhadap orang lain?
Saya kira itu pemaknaan yang tidak ada rujukannya. Tidak ada rujukan bahwa orang harus melakukan kekerasan itu. Dalam kajian fikih memang ada yang disebut dengan ayatul hisbah. Ayatul hisbah adalah orang-orang yang secara suka rela bertugas untuk amar makruf nahi munkar.
Tetapi dalam konteks ini sebetulnya lebih pada anjuran-anjuran, tidak dengan kekerasan, tidak dengan menggunakan pentungan, menggrebek dan lain sebagainya. Jadi di dalam fikih,ayatul hisbah itu sebetulnya lebih kepada tuntutan moral, anjuran-anjuran moral. Akan tetapi kemudian memang ada yang memaknainya dengan kekerasan. Saya kira pemaknaan seperti itu perlu diluruskan kembali.
Kang Husein, setelah puasa Ramadan, setelah kita melakukan sebuah pelatihan pengendalian diri selama cukup panjang ini, selama 30 hari, pribadi seperti apa yang mestinya terbentuk?
Saya ingin mengutip sebuah ayat Alquran, yang nantinya akan sejalan dengan tujuan itu. Laisal birra an tuwallu wujuhakum qibalal masyriqi wal maghribi walakinnal birra man amana billahi walyaumil akhiri walmalaikati walkitabi wannabiyyin wa-atal mala ‘ala hubbihi dzawil qurba walyatama walmasakin wabnissabil. Waiqamissolata waitaizzakata walmufunabi’ahdihim idza ‘ahadu, wasshabirina fil ba’sa-I, ulaika alladzina shadaqu wa-ulaika humul muttaqun.
Artinya, kebaikan itu bukanlah menghadapkan wajah kita ke barat dan ke timur, sesuatu yang formalistik itu sebetulnya, akan tetapi kebaikan itu adalah kita beriman kepada Tuhan dan hal-hal yang bersifat wajibiyat yang lain masuk dalam keimanan itu.
Kemudian yang ditengah-tengah itu, berikanlah harta meskipun kamu sedang mencintai terhadap harta itu pada kerabat, orang-orang yatim, orang-orang miskin. Kemudian dilanjutkan dengan mendirikan salat, membayar zakat, menepati janji, dan bersabar apabila dalam keadaan susah.
Jadi ada komitmen-komitmen yang dikehendaki dalam puasa itu, di samping keyakinan-keyakinan yang bersifat personal yang harus ada. Keyakinan personal itu sebetulnya lebih pada bagaimana menghadirkan yang mengawasi kita terus menerus dalam setiap langkah kita, dan berbuat untuk kemanusiaan.
Ini sebetulnya komitmen utama, yang kalau saya simpulkan secara global adalah yang yukhrijuhum min al-dzulumati ilannur,yang dapat membebaskan manusia dari kegelapan, belenggu penindasan, praktek-praktek memarjinalkan orang.
Jadi ayat Alquran yang Kang Husein kutip tadi seakan-akan memberikan makna substantif dari ajaran-ajaran yang formalistik?
Iya. Ayat ini turun untuk merespon kegelisahan kaum muslimin hanya karena Nabi memindahkan kiblatnya dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram di Mekkah. Seakan-akan itu adalah mengikuti ajaran-ajaran orang lain karena dulunya Masjidil Aqsha itu tempatnya orang musyrik menyembah berhala.
Tapi itu segera dijawab oleh Tuhan, bahwa bukan itu sebetulnya yang dikehendaki. Terserah mau menghadap kemana, akan tetapi komitmen-komitmen itulah seharusnya menjadi hal yang penting bagi kehidupan manusia itu sendiri. Jadi formalisme sebenarnya ingin dilampaui dengan hal-hal yang substantif.
Kalau mau disimpulkan secara ringkas, jadi bagaimana kita harus memaknai puasa kita dan kembali ke fitrah itu?
Saya kira apa yang diinginkan oleh puasa itu pertama adalah agar orang menjadi takwa. Takwa itu mencakup takwa fardi, individual, ada takwa sosial. Artinya takwa pribadi adalah harus menjadi pribadi-pribadi yang bersih itu menjauhi larangan-larangan Tuhan.
Kemudian pada takwa sosial harus besama-sama menciptakan struktur sosial yang adil, yang tidak menindas, dan seterusnya. Dan itu sebetulnya akan kita capai melalui dua hal tadi, yaitu kembali kepada fitrah hidup baru, merekonstruksi kehidupan individual maupun kehidupan sosial.