Home » Kajian » Sufisme » Meneladani Kesantunan Tuhan

Meneladani Kesantunan Tuhan

5/5 (2)

IslamLib – Jika Anda mendefinisikan Tuhan sebagai zat yang boleh bersikap dan bertindak apa saja, berarti Anda merumuskan Tuhan yang otoriter. Tuhan dengan tangan besi. Yang kejam dan tak berkompromi. Tuhan dimanifestasikan sebagai al-qahharal-jabbaral-mutakabbir, al-mumit, al-dharr, al-mudzil, dan al-muntaqim.

Sifat itu konon pernah ada ketika Tuhan menenggelamkan Fir’aun Ramses (1304-1237 SM) di Laut Merah, membumihanguskan kaum Luth, dan menghancurkan umat Nabi Nuh dengan air bah. Di sini Tuhan telah dikerdilkan perannya sebagai pemilik neraka yang ganas, yang hanya mengancam. Dan tak menghibur.

Sebaliknya, jika Anda merumuskan Tuhan sebagai zat yang suka dialog, maka Anda sedang mentemakan Tuhan yang demokratis. Tuhan yang berdiskusi dan bernegosiasi terlebih dulu sebelum hukum diundangkan.

Tuhan diwujudkan sebagai al-rahmanal-rahimal-salam, al-mu’iz, al-ghafural-muhyi, dan sebagainya. Sifat ketuhanan yang demikian tampak ketika Ibrahim berkali-kali terlibat dialog “empat mata” dengan Tuhan.

Di pucuk gunung Tursina, Nabi Musa pun intens berkomunikasi dengan-Nya. Hirarki dan tapal batas sirna. Tuhan justru menjadi partner manusia, teman kreatifnya.

Di lingkungan umat Islam, Tuhan jenis pertama pernah dipersonifikasikan kaum Khawarij. Kelompok ini berpendirian bahwa orang-orang Islam yang berada di luar komunitasnya sesat, dan tentu, halal darahnya.

Khawarij melancarkan serangan bahwa kaum Sunni adalah pelaku dosa besar, karena itu perlu dijebloskan ke dalam neraka. Dalam bayangan mereka, surga hanya milik mereka semata. Tilka amaniyyuhum. 

Dalam perkembangannya yang kemudian, mentalitas Khawarij ini merasuki tubuh kelompok militan Islam. Mereka melakukan teror terhadap siapa saja yang tidak mereka sukai. Kelompok militan itu secara metodologis menganut pandangan kaum mukhaththi`ah.

Bahwa di dunia ini hanya ada satu kebenaran. Tak ada kebenaran ganda apalagi lebih. Paradigma ini yang mengantarkan mereka pada kesimpulan arogan; kebenaran yang tunggal itu bersarang dalam kelompoknya dan tidak di kelompok lain.

Sementara Tuhan jenis kedua lebih banyak muncul atau ber-tajalli di kalangan kaum mistikus. Sebagaimana lazimnya kaum sufi, mereka cenderung memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan yang lembut, santun, dialogis, anti kekerasan.

Tak pernah ada cerita kaum sufi yang mencincang, membunuh, dan menyalip manusia. Di mana-mana kaum sufi yang otentik selalu bersikap positif terhadap orang lain. Baik sangka (husn al-dhan) menjadi sifat pokok mereka. Selalu ada ruang untuk memaafkan orang lain, karena Tuhan sendiri suka memberi maaf.

Kelompok sufi tak memantik diri sendiri sebagai poros kebenaran, karena menurut mereka kebenaran bisa berada di mana saja. Dengan sedikit generalisasi, kaum sufi berada di barisan kelompok mushawwibah.

Ada banyak biji kebenaran yang tertabur di bumi. Sehingga setiap orang bisa mengambil satuan demi satuan, keping per keping dari kebenaran-kebenaran itu. Itu sebabnya, kaum sufi tak mudah memvonis orang yang tak sejalan dengan dirinya sebagai sesat.

Secara sepintas tampak bahwa dalam Tuhan sendiri terdapat sejumlah paradoks yang membingungkan. Ada Tuhan yang otoriter, di samping Tuhan yang demokratis. Tuhan yang keras dan Tuhan yang santun. Paling tidak dalam konsepsi kita tentang diri-Nya.

Tentu saja Tuhan yang santun-demokratis lebih memikat. Dan dalam konteks di mana keberingasan dan kebrutalan nyaris merata dan memenuhi dunia, meneladani Tuhan yang santun cukup relevan.

Sebab, perdamaian, kesejukan, dan kemakmuran bumi bisa mungkin tercipta ketika sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, dan penolong mawjud dalam kesadaran kita semua sebagai manusia.

Nabi Muhammad menganjurkan agar umatnya meneladani sifat ketuhanan yang baik itu.Takhallaquu bi akhlaq Allah (al-karimah). Dan terang benderang bahwa meneladani dan memanifestasikan sifat ketuhanan yang angker bisa mengobarkan api dalam sekam yang luas.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.