Peran Intelektual. Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thaus Ahmad al-Thusy al-Ghazali. Lahir tahun 1058 M/450 H di Ghazalah, desa dekat Thus (sebuah kota kecil di Iran), suatu daerah yang pada masa itu dikenal sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan. Dari kota ini lahir sejumlah penyair dan ulama besar, seperti Firdawsi, Umar Kayam, Abu Yazid al-Busthami dan Husayn ibn Manshur al-Hallaj.
Ayahanda al-Ghazali sendiri adalah seorang ulama. Namun, sayang ayahandanya terlalu cepat dipanggil Allah. Al-Ghazali ditinggal Sang Ayah ketika ia masih kecil. Sebelum wafat, Sang Ayah telah menitipkan al-Ghazali kepada salah seorang temannya yang dikenal sebagai sufi hingga al-Ghazali berumur 15 tahun.
Usai belajar pada teman Sang Ayah itu, al-Ghazali belajar ilmu fikih Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-Radzkani. Tahun 465 H., al-Ghazali berangkat ke Jurjan Mazandaran untuk belajar kepada Imam Abi Nashr al-Isma’ili. Pada waktu di Jurjan ini, al-Ghazali menulis buku pertama, al-Ta’liqat fi Furu’ al-Madzhab.
Tahun 470 H. /1077-8 M., ketika berumur 19 tahun, al-Ghazali berangkat ke Nishabur untuk belajar di al-Nizhamiyah. Di sekolah ini, ia belajar fikih, teologi, logika, filsafat Ibnu Sina pada Abu al-Ma’ali al-Juwaini Imam al-Haramain (1085 M). Dalam usia 20 tahun, al-Ghazali telah menulis buku dalam bidang ushul fikih, yaitu al-Mankhul fi Ushul al-Fiqh. Al-Juwaini sangat membanggakan al-Ghazali.
Ia kerap menugaskan al-Ghazali untuk memimpin diskusi-diskusi ilmiah. Setelah al-Juwaini meninggal dunia (478 H./1085), al-Ghazali belajar tasawwuf pada Abu Ali al-Fadh ibn Muhammad ibn Ali al-Farmadhi al-Thusi (w. 1084), salah seorang murid Imam al-Qushairi, penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyah. Dari al-Farmadhi, al-Ghazali banyak belajar jalan-jalan kesufian hingga al-Farmadhi meninggal dunia di Thus pada tahun 477 H./1084 M.
Kedalaman ilmunya itulah yang mengantarkan al-Ghazali menempati kedudukan puncak di Universitas Nizhamiyah. Di perguruan tinggi itu al-Ghazali tak hanya mengajar melainkan juga ditunjuk sebagai rektor dalam usia 34 tahun. Selama empat tahun lamanya (1091 M.-1095 M.), al-Ghazali menjabat rektor al-Nidzamiyah di Baghdad. Namun, selama menjadi rektor al-Ghazali merasa ada yang salah dari pemerolehan jabatan dan karir intelektualnya. Ia ingin segera meninggalkan Baghdad dan berhenti sebagai rektor.
Pada tahun 488 H./1095 M, al-Ghazali menderita suatu penyakit yang menyebabkan aktivitas mengajarnya terganggu. Ada yang berkata bahwa penyakit itu muncul akibat keraguan al-Ghazali, apakah ia akan tetap melanjutkan karir politiknya sebagai rektor ataukah berhenti sebagai rektor lalu pulang ke kampung halaman. Kebimbangannya ini dituturkan al-Ghazali dalam kitabnya, al-Munqidz min al-Dlalal sebagai berikut:
“Pernah aku merenung dan berfikir untuk meninggalkan Baghdad dengan segala kemewahannya. Tetapi, hatiku ragu. Keinginan kuat di waktu pagi untuk menggapai kebahagiaan akhirat tiba-tiba pupus di sore hari. Kecenderungan duniawi telah menjadi rantai pengikatku. Suara keimanan dalam hati berseru, bersiaplah!” Umur tinggal sedikit sementara perjalanan masih panjang. Ilmu dan amalmu hanya pamer dan imagi.
Jika kamu tak segera mempersiapkan bekal menuju akhirat, maka kapan kamu akan mempersiapakan? Jika kamu tak memutus diri dari pengaruh dan godaan duniawi, maka kapan kamu akan memutus? Saat itu, maka muncullah kemauan keras untuk lari dan membebaskan diri. Lagi-lagi setan berkata, “itu hanya perasaan sesaat, tak perlu kamu hiraukan, karena sebentar lagi juga akan sirna. Tak usah kamu tinggalkan kedudukanmu ini, karena kamu akan menyesal. Tak mudah kamu meraihnya kembali”.
Lama aku terombang-ambing antara tendensi duniawi dan motif ukhrawi. Hampir enam bulan, sejak awal Rajab 488 H. hingga puncaknya ketika Allah mengunci lisanku dan aku tak kuasa untuk mengajar. Pernah aku hendak memaksakan diri, demi menyenangkan orang-orang, tetapi tidak satu katapun bisa keluar dari mulutku.
Sangat menyedihkan. Nafsu makan hilang dan kesehatan merosot. Para dokter yang merawatku putus asa. Mereka berkata bahwa penyakit itu bersumber dari hati (amr nazala bi al-qalbi); tidak ada obatnya kecuali istirahat dan melepaskan diri dari segala pikiran. Lalu aku bersandar hanya kepada Allah hingga Allah meringankan hatiku untuk berpaling dari urusan kedudukan, harta.
Tak terlalu lama dari itu, Imam Ghazali meninggalkan Baghdad. Dalam kitab Ihya Ulum al-Din, ia menegaskan bahwa dirinya takut masuk neraka jika terus menerus hidup dalam lingkungan kerja yang tak bermoral.
Ia khawatir dirinya akan terseret dalam perbuatan tercela seperti korupsi yang yang marak di kalangan para ulama istana saat itu. Bagi al-Ghazali, kenikmatan dunia dengan segala tipu dayanya adalah musuh Allah (fa inna al-dunya aduwwuh Allah azza wa jala bi ghururiha).
Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, ia menjelaskan bahwa karya intelektual yang telah dihasilkannya tak menjadi jembatan untuk mengantarkan dirinya untuk berada dekat di sisi Allah. Ia berkata bahwa tendensi duniawi seperti kedudukan dan popularitas (thalab al-jah wa intisyar al-shit) adalah motif dominan (ba’itsuha wa muharrikuha) di balik penulisan karya-karya itu.
Dengan alasan etis moral itu, Imam Ghazali keluar dari Baghdad menuju Damaskus Suria, selama dua tahun. Waktu di Damaskus ini, ia menghabiskan banyak waktunya dengan bersemedi di menara mesjid Umayyah yang belakangan dikenal dengan Menara al-Ghazali. Sambil menjalani hidup asketik dan pelaksanaan ritual peribadatan, Imam Ghazali mulai menulis Ihya Ulum al-Din.