Imam Ghazali menegaskan bahwa tanda bertumbuhnya tauhid di dalam hati adalah munculnya sikap tawakkal kepada Allah, yaitu menyerahkan segala urusan diri sendiri hanya kepada Allah. Imam Ghazali membagi tawakkal ke dalam tiga tingakatan. [a]. menyerahkan segala urusan kepada Allah, seperti penyerahan seseorang yang mewakilkan kepada pihak yang mewakili;
[b]. segala urusan kepada Allah, seperti kepasrahan seorang anak kecil kepada ibunya. Si anak kecil hanya mengenal dan menyandarkan segala keadaan dirinya hanya pada ibundanya. Ia hanya meminta pada ibundanya. Bahkan, seorang ibu kerap memberikan susu sekalipun si kecil tak memintanya;
[c]. menyerahkan segala gerak dan diam kepada Allah seperti gerak dan diam seorang jenazah di depan orang yang memandikan. Orang yang berada pada peringkat yang terakhir ini memandang dirinya sudah mati dan yang menggerakkan adalah Allah. Menurut Imam Ghazali, tawakkal peringkat pertama sangat mungkin terjadi, sementara peringkat kedua dan ketiga amat jarang terjadi.
Menurut Imam Ghazali, bagaimana seseorang mengaku bertauhid kalau yang bersangkutan masih percaya pada kekuatan lain di luar kekuatan Allah. Dengan tauhid dalam hati, demikian Imam Ghazali, akan muncul kesadaran bahwa tidak ada yang aktif bekerja selain Allah (la fa’ila illa Allah). Segala makhluk-alam raya ini muncul dari Dzat Yang Maha Pencipta.
Jika kesadaran tauhid itu menguat, maka seseorang takut dan berharap hanya kepada Allah bukan kepada yang lain. Ia mengkritik seseorang yang berharap tumbuhnya tanaman pada hujan, berharap turunnya hujan pada awan, berharap bergeraknya bahtera pada angin. Imam Ghazali menyebut hal itu sebagai syirik dalam bertauhid dan sebagai wujud ketidak-tahuan tentang hakekat sesuatu (wa hadza kulluhu syirk fi al-tauhid wa jahl bi haqaiq al-umur).
Imam Ghazali berpendirian bahwa tauhid adalah pangkal atau dasar dari seluruh doktrin dan ajaran tasawuf. Bagi Imam Ghazali, bahasan tauhid adalah lautan yang tak bertepi (bahr la sahila lahu). Untuk memudahkan, Imam Ghazali membagi tauhid ke dalam empat peringkat.
[1]. Orang yang lisannya mengucapkan la ilaha illa Allah tapi hatinya melupakannya bahkan mengingkarinya. Iman yang seperti ini adalah keimanan yang pura-pura karena tak tembus ke dalam hati. Imam Ghazali menyebut ini sebagai tauhid orang-orang munafik.
[2]. Kalimat tauhid yang diucapkan lisannya dibenarkan oleh hatinya. Pembenaran di hati ini menyelamatkan yang bersangkutan dari siksa di Akhirat. Inilah tauhid dan keyakinan orang awam.
[3]. Melihat Tuhan Yang Satu pada segala sesuatu. Dengan perkataan lain, ia menyaksikan Allah ketika menyaksikan sesuatu. Inilah maqam al-muqarrabin (kedudukan orang-orang yang dekat kepada Allah).
[4]. Bahwa wujud ini hanya satu, yaitu Allah (la yara fi al-wujud illa wahidan). Dalam peringkat ini, seseorang sudah tak melihat dirinya karena yang terlihat hanya Allah. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai al-fana’ fi al-tauhid. Menurut Imam Ghazali, tauhid keempat ini sebagai tauhid puncak yang diintroduksi Husain ibn al-Manshur al-Hallaj.
Kedua, makhafah(ketakutan). Khauf-khifah-Makhafah adalah kata benda Arab dari kata kerja khafa-yakhafu yang berarti takut. Takut kepada Allah bisa dialami oleh setiap manusia. Ketakutan itu terjadi, menurut Imam Ghazali, bisa karena melihat dan menyaksikan keagungan Allah SWT dan bisa juga karena banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba pada Tuhannya.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “aku adalah orang di antara kalian yang paling takut kepada Allah” (ana akhwafukum lillah). Rasulullah juga bersabda, “pangkal kebijaksanaan itu adalah takut kepada Allah” (ra’su al-hikmah makhafah Allah).
Dzun Nun al-Mishri pernah ditanya, “kapan seorang hamba dikatakan takut kepada Allah?”. Ia menjawab, ketika hamba merasa seperti orang sakit yang takut akan berlangsung terusnya penyakit yang diderita oleh yang bersangkutan.
Imam Ghazali menegaskan bahwa orang yang dilanda ketakutan akut pada Allah akan terlihat pada kondisi tubuh, aktivitas fisik, dan gerak hatinya. Tubuh orang yang hatinya terbakar (ihtiraq al-qalbi) karena takut pada Allah akan panas dan matanya menitikkan air mata. Bersamaan dengan itu, seluruh aktivitas fisik yang bersangkutan akan terhindar dari perbuatan dosa. Dosa-dosa yang suka dilakukan serta merta ia benci.
Dengan demikian, menurut Imam Ghazali, orang yang mengaku takut kepada Allah tapi anggota badannya bergelimang maksiat, tak bisa disebut khauf (la yastahiqqu an yusamma khaufan). Fudhail ibn Iyadh, sebagaimana dikutip Imam Ghazali, pernah berkata, “jika ditanya kepadamu apakah anda takut kepada Allah?”. Fudhail berkata, “diamlah, sebab jika kamu menjawab “tidak”, maka kamu kafir. Dan jika berkata “ya”, maka kamu bohong”. Ini menunjukkan bahwa takut kepada Allah harus proporsional.
Itu sebabnya, Imam Ghazali menolak ketakutan kepada Allah yang mengakibatkan hilangnya akal (zawal al-‘aql). Imam Ghazali mengutip Sahl yang berkata, “jagalah akal budimu karena tak ada seorang wali Allah yang kurang akal” [ihfadhu ‘uqulakum fa innahu lam yakun lillahi ta’ala waliyyun naqish al-‘aql].
Dengan ini, Imam Ghazali mengimbau bahwa takut kepada Allah harus dalam ukuran wajar, tak boleh melampaui batas. Ia berkata bahwa takut kepada Allah yang melampaui batas adalah perbuatan tercela (madzmum).
Ketiga,ma’rifah. Secara etimologis, ma’rifah kata benda berasal dari kata kerja ‘arafa-ya’rifu yang berarti mengetahui. Dengan demikian, ma’rifah berarti pengetahuan. Dalam ilmu tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan yang tak mengenal keraguan, sebab yang menjadi obyeknya adalah Allah. Jika disebut ma’rifatullah, maka itu berarti pengetahuan tentang Allah.
Sedangkan orang yang sudah mencapai ma’rifah disebut ‘arif. Kaum gnostik dalam tasawuf kerap disebut “al-‘arif billah” (orang yang mengetahui karena Allah). Menurut para sufi, alat untuk memperoleh ma’rifat disebut sir. Al-Junaid, sebagaimana dikutip Ibrahim Madzkur, membedakan antara ma’rifah dan ‘ilm.
Menurut al-Junaid, jika ‘ilm diperoleh melalui eksplorasi akal, maka ma’rifah dicapai melalui penyucian hati (qalb). Abad ketujuh Hijriyah Ibn Arabi juga berkata bahwa pengetahuan ada dua; pengetahuan yang diperoleh melalui penyerapan langsung (al-ma’rifah), dan pengetahuan yang bersifat diskursif yang diperoleh melalui akal pikiran (al-‘ilm).
Imam Ghazali berkata bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui soal-soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada [al-ithhila’ ‘ala asrar al-rububiyyah wa al-ilm bi tarattub al-umur al-ilahiyyah al-muhithah bi kulli al-mujudat]. Menurut Imam Ghazali, setiap ilmu adalah lezat dan kelezatan ilmu yang paling puncak adalah mengetahui Allah. Baginya, kelezatan ma’rifatullah(mengetahui Allah) jauh lebih kuat ketimbang jenis kelezatan lain.
Menurut Imam Ghazali, orang yang sudah mencapai ma’rifah tak akan memanggil-manggil Allah dengan “ya Allah” atau “ya Rabb”, karena memanggil Tuhan dengan cara itu menunjukkan bahwa Tuhan itu jauh, berada di balik tabir. Imam Ghazali membuat sebuah tamsil, orang yang sedang duduk dekat di hadapan temannya tak akan memanggil temannya itu.
Imam Ghazali berkata, “hal ra’ayta jalisan yunadi jalisahu”. Dengan perkataan lain, orang yang merasa tentang jauhnya Tuhan akan terus memanggil Tuhan. Sebaliknya, orang yang merasa kehadiran Tuhan dalam dirinya akan berbisik kepada-Nya dalam hening dan diam.
Menurut Imam Ghazali, ciri orang yang ma’rifatullah, di antaranya, adalah keinginan untuk terus berjumpa dengan-Nya, bukan dengan yang lain. Ia mengenal secara lebih dekat dengan membangun komunikasi yang intens dengan-Nya. Imam Ghazali lalu menyitir Rabi’ah yang menegaskan bahwa dirinya tak punya kecenderungan pada surga melainkan pada pemilik surga itu.
Dan barangsiapa yang tak mengenal Allah di dunia, demikian Rabi’ah, maka ia tak akan melihat Allah di akhirat. Orang yang tak menemukan kelezatan ma’rifah di dunia, maka ia tak akan menjumpai kenikmatan melihat Tuhan di Akhirat, sebab sesuatu yang tak bersamanya ketika di dunia, maka di akhirat tak akan dijumpainya.
Keempat, mahabbah.Secara etimologis, mahabbah yang berarti cinta adalah bentuk kata benda (bahasa Arab) dari kata kerja habba-yahibbu. Di samping menggunakan kata “mahabbah”, Imam Ghazali juga menggunakan kata “isyq” yang berarti cinta dan rindu. Allah pun juga disebut sebagai “al-wadud” (Yang Mencinta dan Yang Dicinta).
Imam Ghazali mengutip ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar metafisikal mahabbah. Misalnya Allah berfirman, “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya” (QS, al-Maidah [5]: 54). “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku dan Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian” (QS, Ali Imran [3]: 31). Rasulullah SAW pernah berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah kepadaku untuk mencintai-Mu, mencintai orang yang mencintai-Mu, mencintai sesuatu yang mendekatkan aku pada cinta-Mu..”.
Cinta adalah benih yang bisa tumbuh pada tanah yang subur. Imam Ghazali menyitir pernyataan al-Junaid, “Allah mengharamkan cinta bagi orang yang hatinya terkait erat dengan dunia” [harrama Allah Ta’ala al-Mahabbah ‘ala shahib al-‘alaqah].