Home » Kajian » Sufisme » Relevansi Tasawuf Al-Ghazali

Relevansi Tasawuf Al-Ghazali

5/5 (2)

Orang yang mencintai sesuatu akan khawatir akan hilangnya sesuatu itu. Karena itu, demikian Imam Ghazali, para pecinta selalu dilanda kekhawatiran perihal hilangnya yang dicintai. Tapi mencintai Allah beda. Jika kita mencintai Allah, maka Allah abadi.

Dan jika mencintai harta dunia, maka itu semua akan sirna. Imam Ghazali menjelaskan sebab-sebab terjadinya cinta. [1]. Kecintaan seseorang pada dirinya atas kesempurnaannya. Artinya, jika seseorang tak mencintai Allah atau sesamanya, maka ia pasti akan mencintai dirinya sendiri; [2]. Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada dirinya;

[3]. Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada seluruh manusia sekalipun tak berbuat baik untuk dirinya; [4]. Kecintaan seseorang pada segala sesuatu yang indah, baik keindahan itu secara lahir maupun secara bathin; [5]. Cinta yang melanda dua orang yang memiliki hubungan dan keterkaitan batin. Dari semuanya itu, menurut Imam Ghazali, yang paling pantas dan berhak untuk dicintai adalah Allah SWT.

Persoalannya, bagaimana mengubah cinta ego pada diri sendiri menjadi cinta kepada Allah? Tak ada mekanisme dan tata cara tunggal. Imam Ghazali hanya mengutip dialog Sufyan al-Tsauri dengan Rabi’ah al-Adawiyah.

Al-Tsauri berkata kepada Rabi’ah, “apa hakekat imanmu?” Ia menjawab, “saya tak menyembah kepada Allah karena takut pada neraka dan senang pada surga. Sebab, kalau begitu, maka saya akan seperti seorang buruh yang hanya menunggu upah dari majikan.

Aku menyembah Allah atas dasar cinta dan rindu kepada-Nya”. Imam Ghazali mengutip Rabi’ah al-Adawiyah ketika ditanya tentang cintanya kepada Rasulullah SAW. Rabi’ah menjawab, “demi Allah, aku sangat mencintainya.

Tapi, kecintaan pada Allah telah menyibukkanku sehingga tak tersisa ruang untuk mencintai makhluk-Nya” [wallahi inni lauhibbuhu hubban syadidan wa lakin hubb al-khaliq syaghalani ‘an hubb al-makhluqin]. Suatu hari Rabi’ah berkata, “siapakah yang bisa menunjukkan aku pada kekasihku?”.

Perempuan pembantu Rabi’ah berkata, “kekasih kita sedang bersama kita tapi dipisahkan oleh urusan dunia”. Dengan itu, Rabi’ah menutup diri dari kehidupan publik dan hidup membujang. Rabiah menikmati kesendiriannya bersama Allah dan ia bahagia dalam kesendirian itu. Kehidupannya diisi dengan pujian kepada Allah SWT yang sangat dicintainya.

Berbeda dengan Rabi’ah yang memandang bahwa ma’rifat itu buah darimahabbah, maka Imam Ghazali berpendapat bahwa mahabbah adalah buah dari ma’rifat. Menurut Imam Ghazali, tak akan ada mahabbah yang tak dimulai dengan ma’rifat. Dengan perkataan lain, jika ma’rifat adalah sebab, makamahabbah adalah akibat. Baginya, seseorang tak bisa mencintai sesuatu yang belum diketahuinya.

Selanjutnya, menurut Imam Ghazali cinta kepada Allah itu bisa terjadi dengan dua sebab, yaitu: [a]. memutus diri dari seluruh urusan duniawi dan membuang segala jenis cinta di dalam hati kecuali cinta kepada Allah.

Hati manusia, demikian Imam Ghazali, ibarat wadah yang tak bisa diisi cuka selama di dalamnya masih penuh air. Ia lalu mengutip firman Allah tentang tak mungkinnya ada dua cinta dalam satu hati (ma ja’ala Allah li rajulin min qalbaini fi jaufih). [b]. kekuatan ma’rifat kepada Allah bisa menimbulkan cinta yang membara kepada-Nya.

Relevansi. Telah ratusan tahun Imam Ghazali meninggal dunia. Tapi, doktrin tasawufnya masih tetap relevan. Pertama, ia menghadirkan doktrin ajaran yang lembut dan santun bukan Islam yang keras dan ketus.

Tuhan tak hanya dihadirkan sebagat Dzat yang tegas seperti yang umum dinyatakan para ahli fikih melainkan juga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Di tengah kecenderungan sekelompok umat Islam yang suka mendakwahkan Islam melalui jalur kekerasan, maka doktrin tasawuf yang disuguhkan Imam Ghazali adalah relevan.

Dalam pandangan Imam Ghazali, sekiranya Tuhan adalah Sang Kekasih, maka manusia adalah Salik, yaitu orang yang sedang berjalan menuju kepada Tuhan.

Kedua, tangga-tangga kehidupan intelektual yang dititi Imam Ghazali memberi pelajaran dalam proses penemuan kebenaran. Sejauh yang bisa dibaca dalam autobiografinya, ia tampaknya tak menjatuhkan diri menjadi sufi sejak awal.

Jauh sebelum menulis buku-buku tasawuf seperti Ihya Ulum al-Din, Imam Ghazali menekuni dan malang melintang dalam usaha pengembangan berbagai disiplin ilmu, seperti logika-filsafat, fikih-ushul fikih, dan teologi-kalam. Dan untuk itu, ia menulis puluhan bahkan ratusan buku.

Namun, ia tak menemukan kepuasan hingga akhirnya melabuhkan diri dalam tasawuf. Ini menunjukkan bahwa “kebenaran” yang berhasil dijumpainya tak “sekali jadi” dan tak serta merta datang.  Ia menempuhnya melalui proses panjang bahkan berliku, tapi ia tak putus asa untuk mencari kebenaran itu. Semangat dan ketekunan mengembara secara intelektual ini mestinya diteladani kaum terpelajar Islam sekarang.

Ketiga, kitab Ihya’ Ulum al-Din ini ditulis untuk mengurangi dosis formalisme-legalisme dalam tubuh umat Islam saat itu. Formalisme dalam ber-Islam dikhawatirkan Imam Ghazali akan menghilangkan sisi moral-etis ajaran. Ini karena Imam Ghazali gusar dengan kian merosotnya moral-etis para ulama saat itu.

Baginya, ilmu-ilmu keislaman bukan alat untuk mengejar kepentingan-kepentingan dunia seperti untuk meraih popularitas dan kedudukan (li nayli al-syuhrah wa al-jah), melainkan untuk membangun keluhuran akhlak dan kebersihan hati. Itu sebabnya, dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, ia tak ragu mengkritik ulama su’ (ulama culas) yang menjadikan ilmunya sebagai barter untuk mendapatkan tahta dan kekayaan.

Keempat, secara doktrinal, tasawuf Imam Ghazali bisa memberikan solusi terhadap kecenderungan masyarakat modern yang merasa terasing dan secara psikologis menderita dalam keterasingan itu. Yang satu merasa terancam oleh yang lain baik secara sosial maupun secara ekonomi dan politik. Orang lain dianggap sebagai musuh.

Padahal, tak ada yang lebih dibutuhkan pada masa kini kecuali kemampuan untuk memperlakukaan orang lain sebagai diri kita sendiri dan bukan sebagai lawan. Imam Ghazali mengajak kita untuk menyeimbangkan aktivitas jasmani dengan kontemplasi ruhani. Renungkanlah, dengan mencinta Allah, kita akan mencintai hamba-hamba Allah.

Penutup. Imam Ghazali tak hanya menjalankan tindakan-tindakan sufi, melainkan juga menulis buku-buku tasawuf. Karyanya yang paling gemilang di bidang ini adalah Ihya’ Ulum al-Din. Sejauh yang bisa dilihat dari karyanya ini, diketahui bahwa corak tasawuf al-Ghazali lebih dekat kepada tasawwuf khuluqi-‘amali ketimbang tasawwuf falsafi.

Tak hanya bersandar kepada al-Qur’an dan Hadits yang menjadi ciri kuat tasawuf khuluqi-‘amali (kerap juga disebut tasawwuf sunni), melainkan juga al-Ghazali menuliskan pengalaman spiritual individualnya dalam buku ini.

Dengan demikian, para pembaca kitab Ihya Ulum al-Din tak hanya dibuka wawasan sufistiknya dengan sejumlah perujukan kepada al-Quran dan Hadits, melainkan juga akan diperkaya dengan penjelasan-penjelasan spiritual yang bertumpu pada pengalaman batin al-Ghazali. Inilah yang menyebabkan kitab Ihya’ Ulum al-Din menjadi beda dari yang lain.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.