Pernah ada sebuah surat datang ke email saya. Isinya cukup serius tentang pertanyaan-pertanyaan yang hampir seluruhnya menjadi bahan pemikiran saya selama ini. Pertanyaan pertamanya sangat penting dan menohok: sebenarnya shalat itu wajib nggak sih? Boleh nggak saya menjamak shalat sesuka hati saya, maksudnya tanpa ada alasan bepergian (safar) atau hujan (mathar)?
Saya menjawabnya, bahwa dalam Islam, shalat itu memiliki banyak katagori. Ada yang wajib (harus), ada yang sunnah (dianjurkan), ada yang makruh (dibenci), dan ada juga yang haram (dilarang). Islam juga mengajarkan tentang waktu-waktu shalat yang dibagi berdasarkan peredaran kosmis menjadi pagi (subuh), siang (zuhur), sore (ashar), petang (maghrib), dan malam (isya).
Saya juga mengatakan bahwa katagorisasi di atas, sepenuhnya adalah katagorisasi fikih. Para fukahalah yang membuat pembagian-pembagian waktu dan bilangan shalat semacam itu. Para fukaha (ahli fikih) pula yang mengkatagorisasi shalat menjadi “wajib,” “sunnah,” dan “makruh.”
Istilah-istilah teknis ini tak pernah dikenal pada zaman Nabi. Definisi terhadap konsep-konsep fikih baru dikembangkan ulama pada abad kedua dan ketiga Hijriah.
Disiplin fikih banyak membantu kita memahami kegiatan-kegiatan dan urusan-urusan keagamaan yang kompleks. Berbagai peristiwa keagamaan yang memiliki intensitas dan sifat berbeda-beda dikelompokkan menjadi katagori-katagori tertentu. Ada yang wajib, ada yang sunnah, ada yang haram, ada yang halal, dan seterusnya. Sebagai sebuah upaya penyederhanaan, fikih sangat berguna.
Namun demikian, shalat bukanlah urusan fikih semata. Sebagai sebuah aktivitas ubudiyah, shalat tak ada kaitannya dengan fikih. Ia lebih dekat dengan tasawuf yang lebih menekankan dimensi spiritual atau dimensi esoteris manusia.
Inti daripada shalat bukanlah bilangan (menjadi dua, tiga, atau empat rakaat), dan bukan pula waktu (menjadi subuh, zuhur, asar, dan seterusnya). Shalat seseorang yang selalu memperhitungkan bilangan, seperti dikatakan Nabi, adalah shalatnya seorang pedagang.
Inti dari shalat adalah kedekatan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, zat yang menciptakannya. Dalam hal ini, para sufi adalah orang-orang yang paling mengerti apa makna dan fungsi shalat.
Yang saya maksud dengan sufi adalah para “faylusuf” yang betul-betul serius mencari kebenaran. Orang-orang seperti Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, al-Suhrawadi, Mulla Sadra, dan Muhammad Iqbal, adalah para sufi sejati.
Muhammad Iqbal, sufi yang juga seorang penyair, pernah menulis sebuah artikel berjudul “Konsep tentang Tuhan dan Makna Shalat” (The Conception of God and the Meaning of Prayer). Artikel yang kemudian menjadi salah satu bab karya agungnya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, merupakan penjelasan paling genuine terhadap fungsi dan makna shalat.
Bagi Iqbal, shalat pada dasarnya merupakan “alat bantu” (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Sebagai sebuah alat bantu, shalat memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Setiap orang, kata Iqbal, mendapatkan efek kesadaran yang berbeda-beda dari shalat yang dijalankannya. Yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir. Wallahu a’lam.