Home » Kajian » Sufisme » “The Tao of Quotation”

“The Tao of Quotation”

4.3/5 (44)

IslamLib – Orang-orang tua kita boleh jadi tidak pernah melewatkan pendidikan yang “keren” di kampus-kampus modern di Amerika atau di Eropa. Mereka mungkin tak memiliki titel mengkilap yang kerap dijejer berderet-deret oleh generasi sekarang di kartu nama. Tetapi pada mereka ada hal yang sangat spesial yang tak kita jumpai di kampus: kebijaksanaan hidup. Wisdom. Hikmah.

Saya masih ingat kebiasaan ayah saya yang unik. Dia kerap marah jika saya mengerjakan sesuatu dengan ceroboh. Ayah saya selalu mengutip “wisdom” yang masih saya ingat hingga sekarang: Inna ‘l-Laha ahabba ‘abdan idza ‘amila syai’an atqanahu. Tuhan mencintai hamba-hambanya yang mengerjakan sesuatu dengan itqan, teliti, gemi-nastiti. Kalau mau memakai bahasa sekarang: doing thing professionally.

Ayah saya paling sebal, kadang marah bukan main, jika ada hal dikerjakan secara asal-asalan. Selain kegemarannya menggubah syair Arab seperti pernah saya ceritakan dalam esei yang lalu, ayah saya juga memiliki kegemaran lain yang sangat duniawi. Yaitu pertukangan. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menghaluskan sebuah papan yang akan ia pasang pada suatu pintu atau jendela. Obsesinya pada presisi kadang membuat saya kerap jengah.

Ketika ia berkunjung ke rumah sahabatnya dan melihat bagian dalam rumahnya yang dikerjakan secara ceroboh, ayah saya tak sabar untuk memberikan komentar. Dia melihat kecerobohan sebagai hal yang mengganggu kehidupannya, dan ia harus meluruskannya, minimal dengan sebuah komentar verbal.

Kebijaksanaan hidup yang ada pada orang-orang tua kita biasanya lahir dari pergulatan bertahun-tahun dengan hidup yang kongkrit. Apa yang disebut kebijaksanaan hidup bukanlah ilmu dalam pengertian pengetahuan kognitif yang tertulis di buku atau diajarkan di sekolah. Ia adalah semacam sumsum yang terbentuk dari pengalaman hidup dalam rentang waktu yang sangat panjang.

Jika rumus matematis biasa diungkapkan secara padat dalam persamaan, kebijaksanaan hidup juga memiliki alat artikulasinya sendiri. Bisa berupa amsal atau peribahasa. Bisa berupa ungkapan-ungkapan pendek dan padat yang biasa disebut aforisme. Bisa juga berupa puisi sederhana seperti haiku di Jepang.

Yang menarik saya pada Kitab Suci orang-orang Yahudi adalah bagian khusus di sana yang memuat kebijaksanaan hidup semacam itu, yaitu Kitab Amsal (Proverbs). Di sana, kita akan berjumpa dengan semacam kilatan-kilatan cahaya kebijaksanaan yang cemerlang. Dia seperti sinar yang “cemlorot” dalam sekejap, tetapi bikin kita terkesiap, bangun dari “the slumber of convenience”, rasa nyaman sehari-hari yang bikin kita ngantuk.

Simak amsal ini: Lebih baik sepiring sayur dengan kasih, dari pada lembu tambun dengan kebencian. Yang istimewa pada kebijaksanaan yang diungkapkan lewat amsal atau aforisme ialah bukan sekedar makna yang terkandung di dalamnya. Tetapi juga bentuknya sendiri; bagaimana makna itu diungkapkan dalam ujaran yang tak terduga-duga.

Saya senang sekali membaca aforisme, amsal, peribahasa. Selain pendek, tak butuh waktu lama untuk membacanya (pas dengan era twitter yang memaksa kita untuk menulis dalam 140 karakter itu), amsal juga mengandung intisari pengalaman dan renungan hidup yang sangat kaya. Membaca amsal seperti membaca ringkasan sebuah rapat yang berlangsung berhari-hari dalam beberapa lembar notulen.

Dalam sejarah literatur Arab klasik, karya-karya yang berisi amsal banyak ditulis. Dalam masyarkat Arab ada istilah “al-matsal al-sa’ir”, amsal yang populer. Salah satu amsal Arab yang populer: wa-an tasma’a bi al-Mua’idi khairun min an tarah. Lebih baik engkau mendengar tentang Pak Muaidi ketimbang melihatnya langsung. Amsal ini mengungkapkan situasi di mana ada orang-orang yang lebih menyenangkan jika kita dengar kabarnya saja, ketimbang kita lihat dan bertemu langsung.

Al-Zamakhsyari (w. 1143), seorang humanis dan penafsir Muslim klasik, menulis  sebuah buku berjudul “al-Mustaqsi fi Amtsal al-‘Arab”, suatu kompendium yang berisi amsal-amsal Arab.

Di Indonesia, tampaknya literatur tentang peribahasa kurang berkembang dan jarang ditulis. Tetapi di Barat, literatur amsal berkembang pesat, yang biasanya disebut dengan “The Quotes” atau kutipan-kutipan. Literatur kutipan ini berkembang dengan pembidangan yang sangat spefisik. Ada quote dalam bidang politik, hukum, agama, sastra, makanan, kesehatan, cinta, makanan, dsb.

Suatu amsal atau kutipan kadang membuat kita tercenung dan berpikir lama. Simak amsal “sekular” dari William James (1842-1910), pengarang The Variety of Religious Experience yang masyhur itu: the greatest weapon against stress is our ability to choose one thought over another. Obat paling manjur untuk mengatasi stres dan tekanan mental adalah manakala kita bisa memusatkan pikiran pada satu perkara tertentu secara intensif.

William James hidup di paroh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika kapitalisme mulai menyerbu kehidupan manusia modern dengan produk massal yang murah. Saya membayangkan, ungkapan James itu mewakili situasi kejiwaan yang dihadapi oleh manusia modern yang kerap kebingungan karena dihadapkan pada barang, informasi, data, dan pengetahuan yang membanjir. Sebab semuanya diproduksi secara massal. Problem orang modern adalah problem fokus.

Anda bisa membayangkan, apa yang akan dikatakan William James jika ia hidup sekarang, di era media sosial yang membanjiri kita dengan “feeds” atau makanan informasi yang bertaburan tak karuan seperti (meminjam bahasa yang artistik dari Umar Kayam) “seribu kunang-kunang di Manhattan”. James sudah pasti akan frustasi. Sebab banjir informasi sekarang bukan saja menggerus kemampun kita untuk fokus, tetapi juga memperpendek kemampuan kita untuk bertahan membaca suatu diskursus atau wacana yang panjang.

Membaca kutipan, amsal, dan aforisme kadang juga membawa kita kepada suatu pengalaman “mistik”. Amsal kadang mirip sebuah kilatan ilham ilahiah yang datang dan berlalu dengan begitu cepat, seperti sambaran kilat. Kalau kita membaca ungkapan aforistik yang ditulis oleh Ibn Ataillah Al-Sakandari (w. 1309) dalam bukunya yang sangat masyhur al-Hikam, kita akan berjumpa dengan kilatan cahaya yang memancar tajam seperti supernova.

Simak aforisme Ibn Ataillah ini: Udfun wujudaka fi ard al-khumul, fa-ma nabata mima lam yudfan la yatimmu nitajuhu. Tanamlah dirimu dalam-dalam di bumi ketidak-tenaran, sebab sesuatu yang tak ditanam dalam-dalam di tanah, tak akan mengeluarkan buah yang baik.

Aforisme ini mengungkapkan pengertian sederhana: seseorang tak akan meraih sukses besar sebelum melewati fase keterbenaman, fase inkubasi, fase ersembunyi, fase soliter yang jauh dari sorot media. Makin lama masa khumul, ketersembunyian itu, makin baik. Seperti pohon yang kuat karena akarnya tertanam dalam-dalam dan tersembunyi di tanah.

Suatu kutipan, amsal, peribahasa, aforisme bisa menyediakan kepada kita momen mistik, kesempatan untuk meditasi sebentar, menikmati semacam “the tao of quotation”.[]

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.