Home » Kajian » Teologi » Al-Razi tentang Campur Tangan Tuhan

Al-Razi tentang Campur Tangan Tuhan

3.2/5 (5)

IslamLib – Apakah Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Menurut keyakinan orang-orang beriman, tentu jawabannya jelas: Ya. Dalam konsepsi umat beriman, Tuhan terlibat aktif dalam mengarahkan kehidupan manusia, memberikan panduan moral dan etis untuknya, serta memberikan ancaman-ancaman agar manusia tidak berjalan melenceng, walau seincipun, dari panduan itu.

Ini berbeda, misalnya, dengan Tuhan kaum deis: Tuhan yang istirahat total setelah menciptakan alam dan segala isinya, sebab alam, termasuk manusia di dalamnya, bisa berjalan dengan sendirinya (bak sebuah otomaton) sesuai dengan hukum-hukum tertentu yang sudah pasti – kerap disebut dengan hukum alam atau hukum kodrat.

Bagaimana Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Sebagaimana diyakini oleh umat-umat agama lain, umat Islam memiliki kepercayaan, Tuhan adalah Mutakallim, Zat Yang Mengujar – speech producing God. Tuhan berbicara kepada manusia.

Secara teologis, ini menimbulkan soalan yang menjadi bahan perdebatan panjang dalam khazanah ilmu kalam atau teologi Islam. Jika Tuhan berbicara, maka dalam bahasa apakah Dia berbicara? Jika jawabannya, Tuhan berbicara dalam bahasa A, taruhlah bahasa Arab, pertanyaan yang segera menunggu di belokan gang adalah: Apakah Tuhan mempunyai bahasa?

Pertanyaan berikutnya lagi: bukankah bahasa apapun yang dipakai Tuhan adalah bahasa manusia? Jika Tuhan memakai bahasa itu, bukankah Tuhan terperangkap dalam suatu “wadah duniawi” yang serba terbatas? Bukankah Tuhan adalah Maha Tak Terbatas? Dengan memakai bahasa tertentu, bukankah Tuhan akan terjebak dalam suatu finitude, keterbatasan?

Ini perdebatan teologis yang pada suatu zaman di masa lampau menimbulkan heboh bahkan gejolak politik yang disebut dengan mihnah atau inkuisisi – yakni pengadilan atas keyakinan. Kita tak usah terseret terlalu jauh dalam labirin perdebatan ini, toh tak terlalu banyak manfaatnya.

Yang lebih menarik adalah melihat bagaimana sarjana dan ulama Islam meletakkan dasar-dasar dalam memahami ujaran atau firman Tuhan. Dalam disipilin pengetahuan yang disebut ushul fiqh (teori hukum Islam), firman Tuhan biasa disebut dengan khithab atau wacana. Persisnya, khithab adalah proses suatu pesan disampaikan dari satu ujung (yaitu pengujar) kepada ujung yang lain (pendengar atau lawan bicara – interlocutor).

Usaha pertama untuk membuat teoretisasi atas khithab atau firman Tuhan dilakukan oleh Al-Syafii (w. 820), pendiri mazhab Syafii yang terkenal itu. Al-Syafii berangkat dari pertanyaan dasar: kenapa Tuhan berbicara kepada manusia? Apa tujuan pokoknya? Jawabannya adalah karena Tuhan ingin menjelaskan suatu pesan tertentu kepada manusia.

Istilah “menjelaskan” menjadi kata kunci di sini. Dia menciptakan istilah yang ia pinjam dari Quran, yaitu bayan. Kata itu secara harafiah artinya adalah keterangan, atau menerangkan, atau bisa juga membuat sesuatu yang semula remang-remang menjadi terang, alias klarifikasi.

Kita simak bagaimana Al-Syafii menjelaskan pengertian bayan dalam traktatnya yang terkenal, Al-Risalah. Kata Al-Syafii, bayan adalah istilah yang mencakup pengertian yang begitu bermacam-macam, meskipun bisa dirangkum dalam konsep-konsep kunci tertentu (ism jami’ li ma’an mujtami’at al-ushul, mutasha’’ibat al-furu’).

Penjelasan Al-Syafii ini sangat menarik karena mengandung embrio yang belakangan akan dikembangkan oleh para pengikutnya menjadi suatu arsitekur teori yang canggih tentang bagaimana memahami ujaran Tuhan.

Dalam khithab Tuhan, terdapat keragaman, tetapi juga ada buhul-buhul yang mempersatukannya. Ada pokok, ada cabang. Ada ushul, ada furu’. Inilah pesan pokok yang dapat kita tangkap dari penjelasan Al-Syafii tersebut. Dengan kata lain, Tuhan berbicara kepada manusia dengan sebuah perantara linguistis yang disebut bahasa.

Tuhan berbicara kepada manusia dengan bahasa karena hendak menyampaikan suatu keterangan, bayan. Bagaimana bayan itu terselenggara melalui medium bahasa, bisa bermacam-macam (mutasha’’ib). Tetapi manusia bisa menemukan pokok-pokok (ushul mujtami’a) yang dengannya ia bisa memahami firman Tuhan itu dengan masuk akal.

Kata “masuk akal” di atas sangat penting. Kata itu saya pakai di sini sebagai padanan untuk istilah yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris: intellegibility – kenyataan bahwa suatu ujaran bisa dipahami.

Jika Tuhan hendak menyampaikan suatu bayan kepada manusia, maka asumsi dasar yang harus diterima adalah bahwa khithab atau ujaran Tuhan itu bisa dipahami oleh manusia. Jika firman gelap total seperti kaca yang tak tembus pandang, maka apa gunanya ia diujarkan kepada manusia.

Di sini juga terkandung suatu asumsi lain bahwa Tuhan bertindak karena suatu alasan yang masuk akal. Tuhan menyampaikan ujaran kepada manusia karena ada alasan yang masuk akal — bahwa firman itu mengandung potensi untuk bisa dipahami, tentu oleh manusia.

Ushul fiqh sebetulnya adalah upaya manusia, dalam hal ini para sarjana fikih, untuk melakukan konseptualisasi atas cara-cara yang mungkin dan sistematis guna memahami bayan atau keterangan Tuhan. Sejak awal, para fukaha’ sadar bahwa dalam firman Tuhan terkandung keragaman, tetapi juga sekaligus kesatuan.

Keragaman itu bisa kita lihat dalam berbagai segi; yang paling utama adalah segi tematik. Ada banyak hal yang dibicarakan dalam kanon yang menghimpun firman Tuhan, yaitu Kitab Suci atau Quran. Ada ayat-ayat yang berbicara tentang fenomena alam, sejarah masa lampau, eskatologi atau akhir zaman; tetapi ada juga ayat tentang petunjuk moral bagi manusia agar bisa bertindak secara benar dan tepat.

Keragaman juga bisa ditinjau dari segi yang lain, yaitu segi literer: secara kebahasaan, sejumlah tema-tema di atas disamapaikan dengan strategi kebahasaan yang bermacam-macam. Keragaman ini tentu akan membingungkan kalau tak diikat dengan pengikat tertentu yang bisa menyatukan keseluruhannya. Di sinilah ushul fiqh masuk.

Sejauh menyangkut firman Tuhan yang berkaitan dengan tuntutan moral, ada dua jenis khithab Tuhan: firman yang menuntut, dan firman yang membiarkan. Yang pertama biasa disebut dengan iqtidha’, yang kedua takhyir.

Ada firman yang menuntut untuk bertindak (ini melahirkan konsep tentang wajib), atau menuntut untuk menjauhi sesuatu (ini melahirkan konsep tentang haram). Ada juga firman yang tak muntuntut apa-apa, tetapi membiarkan suatu tindakan dalam keadaan primitifnya, keadaan asalnya: yakni netral, boleh dijalankan atau diabaikan (dari sini lahir konsep tentang mubah [netralitas total], makruh [netralitas yang mendekati pendulum haram] dan mandub [netralitas yang mendekati pendulum wajib]).

Fokus utama para juris Islam adalah pada jenis firman yang pertama itu – firman yang memuat kandungan etis dan moral yang tinggi, firman yang menuntut (khithab al-iqtidha’). Jika firman Tuhan menuntut sesuatu dari kita, entah secara positif (perintah) atau negatif (larangan), maka bagaimana firman itu harus dipahami? Apa hakikat dari suatu perintah? Bagaimana perintah itu diungkapkan? Apa jenis-jenis perintah itu?

Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, merupakan salah satu bagian yang paling menarik dalam disiplin ushul fiqh. Ini dijelaskan dalam bab tentang amr dan nahy, tentang perintah dan larangan. Al-Razi (w. 1209) mengulas masalah ini dalam jilid kedua dari Al-Mahsul (dalam edisi Taha Jabir ‘Alwani) dengan judul: Al-Kalam fi al-Awamir wa al-Nawahi (pembahasan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan).

Isu pertama yang langsung menyergap kita dalam pembahasan ini adalah karakter dari perintah: apakah perintah itu harus diujarkan, atau bisa sekedar dicontohkan dalam tindakan. Pertanyaan ini tampak seolah-olah sepele, tapi baru terlihat penting saat kita berhadapan dengan contoh yang empirik.

Jika Nabi melakukan sesuatu, misalnya makan dan minum, apakah itu sebuah perintah, dan karena itu harus dicontoh, atau bukan. Pendapat sebagian besar sarjana Sunni, termasuk Al-Razi, adalah bahwa perintah pada dasarnya adalah suatu kategori ujaran.

Oleh karena itu, pengertian tahap pertama (makna konototatif/haqiqat) dari suatu perintah adalah bahwa ia haruslah sebuah ujaran, bukan tindakan. Tindakan bisa dipahami sebagai sebuah perintah, tapi dalam pengertiannya yang metaforik (makna kelas dua, majazi).

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.