Home » Kajian » Teologi » Ebionite: Asal-Usul Penolakan Islam atas Trinitas?

Ebionite: Asal-Usul Penolakan Islam atas Trinitas?

4.42/5 (119)

IslamLib – Tesis yang saya anut adalah: Tak ada agama yang lahir dari ruang kosong sepenuhnya. Tak ada agama yang “ujug-ujug” datang ke permukaan bumi dengan membawa hal baru, tanpa “memungut” bahan-bahan yang sudah ada di sekitarnya saat itu. Tak ada religio ex nihilo. Tesis ini berlaku untuk semua agama, termasuk Islam. Islam bukanlah agama yang membawa hal baru. Dia hanya memungut ajaran-ajaran yang sudah ada sebelumnya.

Dengan tesis ini, saya akan mencoba masuk ke kawasan yang agak sedikit sensitif dan berbahaya, untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Dari mana asal-usul penolakan Islam atas trinitas Kristen dan ajaran tentang ketuhanan Yesus? Apakah ini diilhami oleh agama Yahudi? Sebab, pada zaman Nabi, ada cukup banyak komunitas Yahudi yang mukim di Jazirah Arab, terutama di sekitar Madinah. Atau ada sumber-sumber lain yang mengilhami penolakan Quran atas ketuhanan Yesus?

Pertanyaan ini memang tidak bisa dijawab dengan memuaskan, sebab sumber-sumber Islam sendiri jarang menyebutkan secara eksplisit dari mana ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi berasal. Meskipun, sejumlah sumber Islam klasik secara terserak memuat sejumlah informasi yang menarik tentang praktek-praktek pra-Islam yang diasumsikan mengilhami sejumlah ajaran Islam.

Salah satu karya modern oleh sarjana Muslim sendiri yang menulis secara ekstensif dengan data-data yang massif mengenai periode Arab pra-Islam adalah buku karya sarjana Irak Dr. Jawad Ali: al-Mufassal fi Tarikh al-Arab Qabl al-Islam (Keterangan Rinci tentang Sejarah Arab Pra-Islam). Dalam buku ini kita jumpai banyak informasi mengenai kondisi kehidupan spiritual Arab pra-Islam yang bisa membantu kita menduga dari manakah sejumlah ajaran yang dibawa Nabi berasal.

Sementara itu, mayoritas umat Muslim saat ini tampaknya beranggapan bahwa semua yang dibawa Nabi Muhammad adalah hal yang baru sama sekali, seperti ujug-ujug datang dari ruang kosong. Ritual-ritual seperti salat, puasa, zakat, haji, wudu, mandi besar (ghasl al-junub), larangan makan babi, bangkai, darah, larangan makan sembelihan yang dipersembahkan untuk dewa-dewa, larangan minum khamr – semuanya itu dianggap sebagai hal baru.

Asumsi itu, jika kita baca buku Dr. Jawad Ali di atas, sama sekali keliru. Semuanya itu sudah ada sejak sebelum Islam datang. Bahkan ritual haji, berikut Kabah yang menjadi pusat ibadah, sudah ada sejak sebelum Islam datang pada abad ke-7 Masehi, lengkap dengan seluruh detil-detil ritualnya – mulai dari tawaf, sa’i, mencukup rambut (tahallul), talbiyah.

Kembali ke soal trinitas tadi: Dari manakah penolakan Islam atas gagasan Kristiani ini datang? Dari mana sumbernya? Saya, secara pribadi, memang memiliki perhatian khusus terhadap isu trinitas ini, sebab persis di sinilah debat-debat kristologi antara Kristen-Islam, sejak zaman klasik hingga modern, berputar-putar.

Salah satu tokoh penting dalam karir kenabian Muhammad adalah sosok bernama Waraqah ibn Naufal. Dia adalah sepupu Khadijah, isteri Nabi. Waraqah, konon, adalah seorang Nasrani, wa qila (menurut pendapat lain), dia adalah Yahudi. Yang jelas, dia menguasai bahasa Ibrani dan sangat akrab dengan dua kitab suci pra-Islam: Taurat dan Injil.

Saat pertama kali menerima wahyu, Nabi agak kurang begitu yakin tentang apa yang dia alami dan terima. Sebab pengalaman “spiritual” itu tak pernah ia alami sebelumnya. Bahkan, Nabi cenderung ketakutan dan skeptik: jangan-jangan terkena roh jahat. Pada momen krusial itulah, Khadijah memainkan peran yang penting. Dia menyarakan agar suaminya itu berkonsultasi dengan Waraqah.

Tentang pengalaman yang dialami Nabi itu, Waraqah memberikan komentar berikut, sebagaimana direkam dalam Sahih Bukhari: Hadza al-namus al-ladzi nazzala ‘l-Lahu ‘ala Musa. Ini (maksudnya wahyu pertama yang datang kepada Muhammad) adalah “namus” yang sama yang pernah datang kepada Musa sebelumnya. Setelah mendengar keterangan ini, Nabi merasa tenang, sebab dia menerima sesuatu yang baik.

Yang menarik adalah penggunaan istilah “namus” oleh Waraqah. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, “nomos,” yang artinya adalah hukum atau kode etik yang berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan (law of chastity). Sebagai seorang yang menguasai Alkitab, tentu tak heran jika Waraqah menggunakan istilah yang tak asing dalam Yahudi itu. Salah satu elemen penting, bahkan fondasi utama agama Yahudi adalah Hukum Musa atau Taurat. Hukum itulah yang dirujuk oleh Waraqah sebagai “nomos” atau “namus”.

Meskipun di sini ada kejanggalan: Bagaimana mungkin Waraqah menyebut wahyu pertama yang turun kepada Muhammad sebagai “nomos” sementara di sana tak ada ayat hukum sama sekali? Ayat hukum sebagian besar turun di Madinah, tiga belas tahun kemudian. Jika benar wahyu pertama yang turun kepada Nabi adalah Surah al-‘Alaq (96), jelas di sana tak kita temukan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Di sana tak ada semacam Sepuluh Hukum Tuhan yang pernah diterima Musa di Bukit Sinai.

Yang menarik, menurut sejumlah informasi, Waraqah ini adalah pengikut sekte Kristen yang dianggap “sesat” oleh ortodoksi gereja setelah Konsili Nikea pada tahun 325 Masehi. Waraqah adalah pengikut sekte Kristen “sesat” bernama Ebionite (Arab: al-Ibyuniyyah). Yang menarik adalah bahwa sebagian besar sekte Kristen yang dianggap sesat oleh Konsili itu bertebaran di kawasan Timur Tengah, terutama di Mesir. Tak heran jika Waraqah mengikuti salah satu sekte semacam ini.

Sekte Ebionite cukup unik. Ini adalah sekte Kristen yang masih sangat dekat dengan tradisi Yahudi. Mereka sangat menentang versi Kristen yang “didakwahkan” oleh Paulus karena dianggap telah manjauh dari tradisi keyahudian dari mana dan di mana Yesus sendiri tumbuh. Karena itu, sekte Ebionite kerap disebut sebagai gerakan Kristen yang memiliki semangat Yahudi. Mereka masih memegang kuat hukum-hukum Taurat.

Sekte ini memiliki keyakinan teologis tentang Yesus yang sangat berbeda dengan kelompok Kristen “mainstream”. Mereka tidak mempercayai gagasan tentang ketuhanan Yesus. Mereka mengimani Yesus sebagai messiah (Arab: al-Masih) yang membawa ajaran-ajaran moral yang melengkapi hukum-hukum Musa. Mereka tak memakai injil sinoptik yang dipakai oleh gereja “mainstream” saat itu – Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Mereka memiliki injil sendiri yang biasa dirujuk sebagai Jewish gospels – injil-injil Yahudi.

Ini, saya kira, menjelaskan kenapa dalam rekaman sejarah Islam sosok Waraqah kadang digambarkan sebagi pemeluk agama Kristen, kadang Yahudi. Kesimpang-siuran ini mungkin saja berasal dari sekte keagamaan yang diikuti oleh Waraqah. Sekte Ebionite bisa disebut sebagai sekte keagamaan yang berada di persimpangan antara tradisi Yahudi dan Kristen. Sekte ini mungkin lebih tepat disebut sebagai “the Jewish Christian” – sekte Kristen yang Yahudi. Karena itulah, Waraqah kadang disebut sebagai orang Kristen, kadang Yahudi.

Jika kita bisa berasumsi bahwa sosok Waraqah memiliki pengaruh pada formasi gagasan teologis pada diri Nabi, kita bisa mengatakan bahwa penolakan Islam atas ide trinitas Kristen mungkin saja mendapatkan ilham dari ajaran Ebionite yang diikuti oleh Waraqah, sepupu isteri Nabi.

Dengan kata lain, pandangan Islam mengenai sosok Yesus sebagai nabi, bukan Tuhan, sebetulnya bukanlah hal yang aneh dalam sejarah kekristenan sendiri. Penolakan Islam atas trinitas Kristen bisa disebut sebagai pemihakan Islam atas versi Yahudi mengenai figur Yesus melalui sebuah perantara – yaitu sekte Ebionite yang masih taat menjaga tradisi Yahudi. Meskipun, pandangan sekte ini memang ditolak oleh gereja ortodoks dan dianggap sebagai ajaran sesat.

Dengan kata lain, dalam soal trinitas ini, Islam dan Yahudi bersatu: yaitu menolak. Selain karena kemungkinan pengaruh yang datang dari Waraqah, penolakan Islam atas trinitas mungkin juga bisa dijelaskan dari arah lain, seperti yang sudah pernah saya singgung sepintas dalam artikel yang lalu. Yakni: bagi bangsa Arab yang “simple minded” dan pragmatis, gagasan trinitas terlalu rumit dan mengandung misteri yang susah dipahami. Monoteisms Islam yang simple jauh lebih cocok dengan “thought style” bangsa Arab di Mekah pada zaman itu.

Tetapi, di luar soal trinitas ini, Islam memiliki simpati yang besar terhadap Kristen. Quran bersepakat dengan Kristen dalam banyak hal mengenai sosok Yesus atau Isa. Sama dengan Kristen, Islam menyebut Yesus sebagai messiah (al-Masih) dan firman Tuhan (wa kalimatuhu – ingat gagasan Kristen tentang firman Tuhan yang mendaging!). Sama dengan Kristen, Islam menyebut Yesus lahir melalui “virginal conception,” kelahiran melalui konsepsi seorang gadis, tanpa keterlibatan laki-laki.

Semuanya ini secara ringkas diungkapkan dalam ayat 4:171: Innama ‘l-masihu ‘Isa ibnu Maryama rasulu ‘l-Lahi wa kalimatuhu. Sesungguhnya al-Masih adalah Isa anak Maryam (tak disebutkan bapaknya; ini isyarat kepada gagasan kelahiran melalui konsepsi kegadisan) dan firman-Nya. Dengan kata lain, banyak kesamaan teologis (ingat: teologis!) antara Islam dan Kristen, selain Yahudi sendiri.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.