Kasus pembatalan kuota tambahan bagi 30 ribu calon jemaah haji yang terjadi baru-baru ini, ternyata hanyalah persoalan kecil penyelenggaraan haji yang kompleks. Persoalan paling mendasar berada pada level sistem. Apa itu? Ternyata dalam penyelenggaraan haji, Departemen Agama melakukan peran ganda yaitu sebagai penyelenggara sekaligus pengontrol, pemain sekaligus juri.
Ini yang membuat carut marut penyelenggaraan haji selama ini. Dan parahnya lagi, persoalan sistemik ini dikukuhkan oleh Undang-Undang Haji Nomor 17 Tahun 1999 yang lahir secara tergesa-gesa pada masa Habibie. Pertanyaannya, bisakah reformasi sistemik itu dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Kajian mewawancarai Zaim Uchrowi, Direktur Eksekutif Masalahat Haji, sebuah lembaga yang bergerak di bidang kajian dan advokasi haji. Zaim yang juga wartawan senior di harian Republika menuturkan langkah-langkah reformasi sistemik itu kepada Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu, Kamis, 25 Desember 2003. Berikut petikannya:
Bung Zaim, dalam sepekan ini kita mendengar dan menyaksikan pemberitaan tentang tragedi pembatalan keberangkatan 30 ribu jemaah calon haji, karena gagalnya permintaan tambahan kuota. Banyak jemaah calon haji yang kecewa karena pembatalan itu. Apa sihproblem paling mendasar dalam penyelenggaran haji kita selama ini?
Dalam kasus ini, sebetulnya masalahnya sederhana saja. Menteri Agama berkeinginan agar kuota haji kita bertambah sekitar 30 ribuan lagi. Permintaan tambahan itu sudah diajukan kepada Pemerintah Saudi. Tapi, belum lagi ada kepastian tambahan dari Pemerintah Saudi, Menteri Agama sudah membuka pendaftaran. Tentu saja 30 ribuan jemaah calon haji itu sudah dipungut biaya, dan lain sebagainya.
Ketika mereka sudah siap berangkat, tiba-tiba Menteri Agama mengumumkan pembatalan. Memang, dari awalnya Pemerintah Saudi tidak pernah menjanjikan penambahan kuota sebanyak 30 ribu itu. Dari situ muncul persoalan. Akibatnya, kasus ini meledak. Karena itulah, kita mendengar banyak kisah sedih calon jemaah yang dibatalkan
Tulisan Anda menyebut bahwa problem penyelenggaraan haji bukan lagi problem teknis-kasuistis, tapi sudah berada pada level sistemik. Apa maksud Anda?
Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, saya sedikit akan menceritakan bagaimana Maslahat Haji (lembaga kajian dan advokasi haji yang Zaim bentuk– red) dilahirkan. Kita memandang bahwa haji merupakan ibadah paling puncak dalam Islam. Kalau orang sudah menunaikan ibadah haji dengan cara yang benar, mestinya akan muncul sosok-sosok luar biasa.
Kita tahu, bangsa ini adalah pengirim jemaah haji terbesar sedunia (205 ribu jemaah). Kalau proses hajinya bagus, tentu akan muncul sekian sosok manusia luar biasa di negeri ini. Dengan pengandaian seperti itu, negeri ini akan bangkit dengan mudah dari segala krisis. Itu asumsi kita.
Ketika kita tak bisa segera bangkit dari situasi krisis, dan kita masih terpuruk dalam berbagai masalah, maka wajar kita juga menoleh ke persoalan haji. Kita berpikir, ada yang salah dalam proses haji kita. Itulah yang kemudian mendasari kita untuk bergerak. Awalnya kita memang belum tahu apa masalahnya, sampai kemudian kita masuk ke dalam masalah dan melakukan kajian-kajian.
Hasil kajian kami yang paling mendasar membuktikan bahwa terdapat kesalahan sistem dalam penyelenggaraan ibadah haji. Departemen Agama selaku pemegang otoritas haji yang penuh, juga menjadi pelaksana. Mereka juga menjadi travel biro. Jadi istilahnya mereka menjadi pemain sekaligus juri. Sehingga, ada seloroh yang berkembang, bahwa travel biro terbesar sedunia adalah Departemen Agama Republik Indonesia.
Jadi ini menyangkut persoalan monopoli dalam teknis penyelenggaraan ibadah haji?
Persis. Sekarang, sekitar 95 % jemaah calon haji, soal pemberangkatannya ditangani sendiri oleh Departemen Agama. Hanya 5 % jemaah yang dilemparkan ke biro perjalanan swasta. Ironisnya, angka 5 % itu diperebutkan oleh sekitar 200-an biro perjalanan haji swasta.
Anda menulis, hanya 23 ribu jemaah yang dikelola pihak swasta pada tahun lampau. Mengapa sekarang menurun menjadi 12 ribu saja?
Sebenarnya, jatah swasta itu dipatok sekitar 12-15 %. Tahun lalu, mereka hanya mendapatkan 10 ribu jemaah, dan sekarang 12 ribu. Ironisnya, terkadang pada menit-menit akhir, setelah Depag tidak mampu menghabiskan kuota jemaahnya, baru sisanya mereka lemparkan ke pihak swasta. Itu yang terjadi tahun lalu. Makanya tahun lalu swasta bisa memberangkatkan sekitar 23 ribu jemaah.
Bagian penyelenggaraan haji Departemen Agama menegaskan bahwa swastanisasi penyelenggaraan haji juga problematik. Artinya, tak ada jaminan bahwa swastanisasi bisa akan lebih baik. Apa perlu perencanaan jangka panjang, katakanlah dalam waktu lima tahun, untuk mewujudkan swastanisasi penyelenggaraan haji?
Saya bukan termasuk pendorong swastanisasi juga. Tapi persoalan yang paling mendasar adalah: Departemen Agama selaku penentu kebijakan sekaligus pelaksana itu yang tidak benar. Makanya, kedua otoritas itu harus dipisahkan dengan sangat jelas.
Soal siapa pelaksana nantinya, mari kita bicarakan secara terbuka. Mungkin, nantinya pihak pelaksana bisa berupa BUMN, BUMD, atau swasta. Jadi, tugas dan peran negara –dalam hal ini Departeman Agama– hanya sebagai pengatur. Itu yang harus diluruskan lebih dulu.
Artinya, perlu memungsikan Depag selaku perwakilan negara sebagai regulator murni?
Ya, murni sebagai regulator dan pengawas. Saat ini kan ada kesalahan yang sangat mendasar. Bagaimana mungkin sebuah institusi negara, apalagi sebuah departemen, mengurus kegiatan yang dananya bersumber dari masyarakat.
Biasanya kan sebaliknya: pemerintah yang menyediakan dana, masyarakat yang menjalankan. Dalam kasus Depag ini yang terjadi justru sebaliknya; masyarakat diminta membayar, kemudian negara yang menguruskan.
Penyelenggaraan haji kan menyangkut dana yang sangat besar. Anda menyebut sekitar lima triliun rupiah dalam setiap musim haji. Tentu ini lahan yang sangat menggiurkan dan wajar Depag tidak mau dibagi-bagi apalagi dilepas. Akhirnya korupsi pasti tak terelakan, dan isu itu sangat santer di masyarakat. Pertanyaannya, mengapa isu ini susah untuk dibuktikan?
Selama ini, kalau orang sudah berniat akan berangkat haji, mereka akan memasrahkan segenap batinnya kepada Sang Pencipta. Mereka tidak berminat dan tidak akan mau mengungkit kasus-kasus seperti itu. Saya memang tidak sepenuhnya menyalahkan Depag atas kasus-kasus seperti itu. Sebab sekali lagi, ini problem sistemik.
Kalau saya mendapat kekuasaan sebesar itu (otoritas pengontrol sekaligus penyelenggara haji), dan di lapangan tidak ada sistem kontrol yang baik, besar kemungkinan saya juga akan korup. Nah, menurut saya sistem ini yang harus diperbaiki dan diluruskan.
Dan kekuasaan Depag ini ditopang dan dilindungi oleh Undang-Undang Haji Nomor 17 Tahun 1999?
Memang undang-undang itu harus diubah. Sekarang, kunci pengubahan undang-undang itu ada dua. Pertama inisiatif dari pihak eksekutif sendiri, yaitu Depag; kedua, kehendak legislatif. Tapi sayangnya, kedua belah pihak tidak melihat hal ini sebagai masalah.
Tahun kemarin dan tahun ini sudah sempat dibicarakan kemungkinan meninjau kembali undang-undang tersebut. Tapi kemudian dengan gampangnya pihak Depag menyatakan kepada DPR: ”Wah, kita sebenarnya sudah mulai meninjau kembali undang-undang tersebut, tapi karena kita sibuk, ya… berlalu begitu rupa!” Tahun depan, saya kira hal yang serupa bisa dikatakan lagi.
Sebetulnya, kalau memang ada kesadaran tentang apa hakikat ibadah haji ini, hemat saya Depag mesti mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan, memelopori revisi, atau minimal mengundang semua pihak dan berdiskusi secara terbuka.
Apa sih sebenarnya isi undang-undang itu?
Undang-undang ini adalah undang-undang tentang haji yang pertama kita miliki. Dia dilahirkan pada masa Pemerintahan Habibie. Sebagaimana kita tahu, waktu itu Habibie mengeluarkan kebijakan agar melahirkan undang-undang sebanyak mungkin.
Tapi hal yang luput dari Habibie, karena ingin melahirkan begitu banyak undang-undang, banyak orang yang memanfaatkannya sesuai dengan interest atau kepentingan masing-masing.
Dalam kasus undang-undang haji ini, nampak sekali bahwa seluruh celah untuk pihak lain sudah dikunci. Segala kewenangan jatuh ke tangan Depag. Sampai-sampai, Depag memunculkan gagasan tentang pembuatan paspor sendiri. “Ide brilian” inilah yang kemudian digugat secara serius oleh pihak imigrasi.
Problem lain yang sangat mendasar juga dalam undang-undang tersebut, dia tidak dimulai dengan menegakkan atau menyusun prinsip-prinsip dasar yang perlu melandasri undang-undang. Misalnya, prinsip good governance.
Semestinya, prinsip seperti ini harus ditegakkan lebih awal; ditetapkan dulu mana pihak pengawas, mana pelaksana. Selain itu, mestinya prinsip transparansi juga harus dimasukkan. Prinsip otonomi juga diabaikan begitu saja. Lalu yang lebih penting lagi adalah prinsip pelayanan.
Nah, prinsip-prinsip seperti ini mestinya dibahas lebih dulu, baru kemudian diterjemahkan ke dalam butir-butir perundang-undangan. Ini hal paling mendasar yang tidak dilakukan. Akibatnya, undang-undang itu tidak mengatur hal-hal yang mendasar sekali, misalkan soal kerjasama internasional. Yang ada justru hal-hal yang sangat bersifat teknis, yang sebetulnya tidak perlu dimasukkan dalam butir undang-undang.
Misalnya, ada butir undang-undang yang mengatur tentang barang bawaan jemaah. Hal yang sangat teknis seperti itu, saya kira masuk ke dalam keputusan menteri saja tidak layak. Kemudian, soal pembinaan jemaah disinggung secara sangat permukaan. Padahal, soal inilah yang paling esensial; yang menentukan apakah proses berhaji akan menghasilkan haji yang baik, atau haji yang sekadar menjadi status sosial saja.
Bung Zaim, bila melihat kinerja Depag seperti itu, apa tak sebaiknya departemen ini dibubarkan saja? Kan membuat malu kita,masak departemen yang berlebel agama melakukan korupsi?
Mengenai apakah Depag perlu dibubarkan, dulu Gus Dur sudah pernah mengatakan hal itu. Memang, banyak juga orang yang berpendapat seradikal itu. Kalau mempertimbangkan hitungan-hitungan teknis semata, Depag dibubarkan juga tidak apa-apa. Nanti soal haji bisa diurus kantor-kantor urusan agama di daerah-daerah.
Barangkali, ini lebih sesuai dengan semangat otonomi. Tapi masalahnya, tentu akan sangat banyak orang di negeri ini yang naik pitam dengan usulan itu. Jadi, sepertinya gagasan itu belum bisa dan masih sulit untuk dipenuhi.
Kalau begitu, kira-kira perbaikan yang konkrit seperti apa yang Anda usulkan dalam jangka pendek ini?
Saya masih berharap, Depag dan Menteri Agama tampil terdepan untuk mendorong revisi dan juga reformasi penyelenggaraan ibadah haji. Kalau mereka sendiri yang tampil, saya kira jalannya perbaikan akan mulus. Tapi kalau mereka masih bersikap defensif, kemudian menunggu kritik dari luar, saya khawatir ini justru akan menjadi bola salju yang akan terus menggelinding.
Jadi, jemaah haji yang dulu sabar dan nrimo, pada hari-hari ke depan bisa saja berubah revolusioner. Sekarang saja sudah muncul demonstrasi haji pertama. Kalau ini terus berlanjut, saya kuatir hasilnya akan seperti proses reformasi kita dulu, di tahun 1998. Artinya, harus ada yang jatuh dengan cara yang tidak enak.
Apakah persoalan ini mendapat perhatian dari DPR, khususnya dari fraksi-fraksi partai yang berbasis Islam?
Sebetulnya Golkar sudah memulai. Sejak bulan Juni lalu mereka sudah menggagas revisi itu. Tapi saya tidak tahu mengapa kemudian melemah lagi. Sebetulnya, saya berharap banyak dari fraksi-fraksi yang berbasis Islam untuk lebih serius meninjau persoalan ini.
Sayangnya, PPP dan PKB misalnya, tidak menujukkan reaksi apa-apa. Bahkan, pemimpin tertinggi PPP seoalah-olah memproteksi Depag, seakan-akan tidak terjadi masalah apa-apa. Jadi, sudah terjadi reduksi persoalan di sini. Artinya, kalau 30 ribu jemaah tidak jadi berangkat haji, urusannya ditimpakan kepada Saudi.
Adakah perhatian dari kalangan ulama dan ormas-ormas Islam menyuarakan persoalan ini?
Saya melihat mereka kurang menyuarakan hal ini. Apalagi sekarang ada tawaran kepada ormas-ormas Islam untuk menjadi anggota pengawas haji. Pada titik ini, saya hanya kuatir sejarah akan berulang. Dalam sejarah peradaban dunia, institusi yang paling kolutif itu kan selalu institusi agama.
Itulah mungkin sebabnya Tuhan menurunkan Yesus, juga kemudian menurunkan Luther. Jadi, selalu muncul institusi agama yang kolutif sepanjang sejarah. Tapi saya percaya, Menteri Agama kita yang ahli tafsir dan hafidz Al-Qur’an itu akan mampu mendorong dan mengambil peran sebagai tokoh reformis dalam penyelenggaraan haji.
Kalau institusi-istitusi formal keagamaan tidak bersuara, kemana masyarakat mengadukan persoalan haji ini?
Saat ini, yang sudah cukup bersuara malah dari kalangan LSM-LSM seperti PIRAC, ICW, YLKI, dan Government Watch. Sejak lama, mereka sudahconcern dalam menyoroti soal penyelenggaraan haji ini. Hanya saja, karena mengingat banyak orang yang melihat persoalan haji ini begitu sakral, mereka agak risih untuk terlalu nyaring. Tapi ketika kasus-kasus sudah terbuka, maka mereka pasti akan lebih nyaring menyuarakannya.