Ketidaksetaraan relasi gender rupanya termasuk salah satu penyebab cepatnya persebaran virus HIV-Aids di Indonesia. Ketidaksetaraan gender, telah membuat seorang istri tak kuasa menolak hubungan seksual tidak aman, karena secara moral takut terlaknat bila menyangkal suami. Gelombang persebaran virus mematikan ini juga ditambah pula oleh tingginya tingkat keacuhan dan kemunafikan di tengah-tengah masyarakat.
“Kita terlalu sering berlagak pilon”, ungkap Baby Jim Aditya, aktivis penanggulangan HIV-AIDS ini. Kepada Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Baby Jim menumpahkan sebagaian refleksi keimanannya pada Kamis (03/03) kemarin. Berikut petikannya.
Mbak Baby Jim, sejak kapan Anda peduli soal persebaran virus HIV–AIDS di Indonesia?
Sudah lama, sejak bekerja di sebuah stasiun radio di Jakarta, tahun 1981. Ketika itu, saya pernah membuat acara talkshow bertajuk “Seks bukan Cinta” dengan salah seorang tokoh cukup terkenal.
Pada tahun-tahun itulah kita sudah terkejut dengan pertanyaan para remaja tentang seksualitas, soal tubuh dan relasi laki-laki dan perempuan. Tahun-tahun itu juga baru ditemukan virus HIV-Aids di luar negeri.
Akses informasi ketika itu masih minim karena belum ada internet. Untuk selalu bersentuhan dengan dunia informasi, saya setia berlangganan beberapa majalah. Dari situlah saya berpikir one step ahead bahwa penularan virus ini pasti akan sangat cepat di negara seperti Indonesia.
Apa yang membuat Anda memprediksi demikian?
Lebih karena tidak utuhnya pemahaman kita tentang seksualitas dan kesetaraaan gender. Ini ditambah lagi dengan maraknya penyalahgunaan narkotika dan zat-zat adiktif lainnya.
Dua hal itu seakan-akan menuangkan minyak ke dalam api yang sedang membara. Ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam setiap level masyarakat betul-betul ikut mempercepat persebaran virus mematikan ini.
Jadi sejak kali pertama tahu, Anda sudah tertarik isu Aids ini?
Ya, mostly karena isu ini dekat sekali dengan perilaku manusia. Saya secara tidak sadar memang sudah lama tertatik soal perilaku manusia, karena saya sudah ikut teater sejak SMP.
Dari pengamatan atas pelbagai perilaku manusia itulah saya menjumpai banyak sekali kemunafikan-kemunafikan terjadi di sekitar kita. Misalnya dalam soal perilaku seksual. Para penjaja seks yang dicela oleh masyarakat itu, para penikmatnya terdiri dari berbagai rentang usia, sejak 13 tahun sampai 70 tahun.
Pada usia belasan tahun, mereka sama sekali tak punya terma berpikir yang jelas tentang risiko-risiko terinveksi HIV. Tapi mereka tetap melakukannya dengan begitu heroik, sebagai ekspresi pertemanan dan ungkapan ke-macho-an.
Pada tingkat umur pertengahan, seperti beberapa sopir truk jarak jauh yang sering saya tangani, tingkat kemunafikannya juga tinggi. Mereka kadang-kadang sok moralis dalam perilaku seksual, tapi kemudian mengatakan, “Kita kan sopir… Nek ono susu, yo mampir.”
Bayangkan kemunafikan mereka! Padahal di tahun 1996, 80% kelompok supir seperti itu, yang sempat kita tangani, pernah mengalami penyakit menular seksual.
Bagaimana menjelaskan cepatnya persebaran penyakit Aids di tengah masyarakat yang konon taat agama ini?
Kita tahu, negara yang mengklaim diri taat beragama ini, belum tentu berkaitan langsung dengan pola perilaku nyata. Saya melihat sendiri, betapa banyak orang yang bila ditanya tentang keimanan, ibadah, dan ritual, mereka akan sangat fasih. Tapi di lain sisi, perilakunya juga amit-amit; berjudi, percaya dukun, dan perilaku menyimpang lainnya.
Dua hari yang lalu, saya bertemu seorang teman lama, seorang perempuan yang cukup smart dan sangat mandiri. Dia menikah dengan laki-laki yang tadinya dia yakini akan mampu menjadi imamnya, karena rajin sembahyang, zikir, dan ritual lainnya.
Tapi setelah menikah, nyatanya dia justru rajin ke dukun, malas mencari uang, suka berjudi, dan melakukan tindak kekerasan seksual pada istri sendiri. Jadi selalu ada paradoks-paradoks dalam perilaku sehari-hari kita.
Salah satu paradoks besar itu adalah kemunafikan?
Betul. Tadi saya katakan, di antara pelanggan pekerja seks yang saya temui di rel-rel kereta, terdapat juga mereka yang sudah berusia antara 65-70 tahun. Fakta ini memang jarang terungkap, dan jarang orang mau mendengarnya. Mungkin ini karena cerita tentang kehidupan nyata tidak dianggap menarik dibandingkan gosip-gosip yang glamor.
Atau karena fakta-fakta justru mengancam keutuhan masyarakat?
Mengancam, dan membuat tidak nyaman. Padahal, saya menemukan bapak-bapak yang memakai atribut keagamaan, mengenakan peci hitam, memakai tongkat, jalan di bebatuan rel sambil colak-colek saya yang sedang melakukan pendampingan pada teman-teman pekerja seks.
Saya juga pernah ketemu seorang bapak usia 60 tahun di salah satu mal di Jakarta Selatan, yang setiap dua kali seminggu mencari pekerja seks remaja untuk melampiaskan hasrat seksualnya. Ketika ditanya apakah tidak takut ketularan HIV, dia menjawab, “Ya… saya kan tiap malam salat tahajud, Mbak.”
Saya bingung, bagaimana menjelaskan hubungan antara perilaku berganti-ganti pasangan dengan bayaran sekitar Rp 500.000,- itu dengan ritual salat tahajud sebagai penangkal risiko kecerobohan itu?!
Kabarnya Anda sedang menyiapkan buku tentang perempuan-perempuan yang terinveksi HIV dari suaminya, dari lingkup pernikahan monogami. Apa inti buku itu?
Intinya mengungkap upaya penyangkalan kita tentang HIV-Aids yang berlapis-lapis. Hampir setiap hari, saya bertemu keluarga-keluarga yang tidak mau menerima anggota keluarganya yang terkena Aids. Mereka kemudian diserahkan begitu saja kepada kami, padahal kami sendiri bukan siapa-siapa. Daya kami juga terbatas.
Nah saat ini, tahap epidemi Aids di Indonesia sudah mencapai gelombang yang kelima, yaitu menjangkiti bayi-bayi. Sebelum ke bayi, tentu dia menjangkiti ibu. Tapi sebelum ke ibu, biasanya dimulai dari bapak. Si bapak mungkin mendapatkannya dari pekerja seks, pecandu, dan mungkin pelaku homoseksual, sebagai gelombang epidemi pertama.
Nah, penyangkalan dan pengabaian kenyataan inilah yang sebetulnya juga ikut membuat negara kita sebagai salah satu negara tercepat dalam persebaran virus HIV di dunia.
Berapa persen pertumbuhannya per tahun?
Dari penelitian di beberapa daerah tahun 2004, pada kelompok yang perilakunya berisiko tinggi untuk tertular HIV, prosentasenya naik dari 1% menjadi 5% per tahun. Angka ini berlaku khusus bagi kelompok-kelompok pelanggan narkotika suntikan, pekerja seks, dan pelanggan pekerja seks.
Angka itu luar biasa, 5% bukan angka yang kecil. Tahun ini, para penderita HIV di Indonesia diprediksi akan berkisar antara 90.000 sampai 135.000 orang.
Yang mengkhawatirkan, salah satu faktor cepatnya persebaran virus itu juga karena ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Orang yang paling rentan suatu penyakit adalah orang yang paling lemah posisinya (misalnya perempuan).
Saya banyak sekali menemukan perempuan-perempuan yang setia pada suaminya, tapi tidak mampu menegosiasikan hubungan seksual yang aman dengan orang yang dia hormati itu. Dia tidak bisa meminta suaminya yang mungkin tertular Aids untuk memakai kondom. Itu tidak bisa dia lakukan karena kesetaraan gender tidak jalan-jalan di negeri ini.
Jadi ketimpangan itu potensial membuat perempuan kena juga?
Ya, itu salah satunya. Ditambah pula kemampuan negosiasi kita terhadap kesehatan diri yang masih rendah. Kita tidak punya informasi, tidak pula kekuatan ekonomi. Selain itu, organ perempuan secara biologis memang sangat lemah. Secara sosial, kaum perempuan dikonstruksikan untuk selalu setia, sabar, dan pasif. Sementara laki-laki diasosiasikan menjadi aktif, dominan, dan agresif.
Celakanya, konstruksi itu dibenarkan pula berdasarkan agama?
Itulah yang kadang-kadang membuat gemes. Terlalu banyak pelajaran agama kita yang bias gender, dan itu diajarkan secara turun-temurun tanpa pernah dikoreksi dan dikritisi. Begitu coba dikritisi, perlawanannya terlalu massif. Jadinya, ketika kita mau maju, tetap saja keadaan tidak maju-maju.
Tapi dalam persoalan Aids, kita memang tidak bisa menunggu agar orang cerdas dahulu. Soal penangulangan HIV-Aids ini tidak boleh menunggu sampai kita mengerti proses penularannya, mengerti soal pencegahannya, dan lain-lain.
Kadang saya juga gregetan, bagaimana membuka fakta bahwa perilaku kita bisa saja berakibat buruk, bukan hanya terhadap diri kita sendiri, tapi juga terhadap pasangan dan bayi yang kita cintai. Nah, bagaimana menjelaskan itu semua tanpa ada pihak yang merasa terhakimi?
Saya pikir, cara paling soft adalah dengan mengungkap fakta-fakta. Saya tidak memasukkan opini, tapi inilah faktanya. Kalau kita tidak mau belajar tentang kesetaraan gender, mungkin akibatnya akan lebih buruk.
Dulu pernah ada iklan/kampanye penggunaan kondom yang diprotes sekelompok orang karena dianggap menganjurkan seks bebas. Apakah ini salah satu bentuk kemunafikan kita?
Mungkin ada unsur kemunafikan, dan mungkin juga karena kurang paham masalah. Kita memang sering tidak mau belajar sampai tuntas, tapi buru-buru mengambil kesimpulan dengan informasi yang sedikit dan sepihak.
Saya pikir, tanpa diajarkan memakai kondom pun, banyak sekali orang di negara ini yang amit-amit perilaku seksualnya. Itu pada gilirannya akan dibawa pulang ke rumah, dan akan menular ke kelompok rentan, yaitu istri dan anak.
Adalah sangat mustahil di negara yang tidak banyak belajar tentang ketubuhan dan seksualitas ini untuk bicara secara terbuka kepada pasangan. Mengatakan, “papa, kamu nyeleweng nggak, sih?!” itu tidak mungkin, dan tidak pernah dikomunikasikan sejak dulu.
Atau, sangat tidak terbayang tiba-tiba seorang isteri berani berkata, “Pa, kalau kamu suka nyeleweng, pakai kondom, dong!” Yang berani bisa-bisa akan kena tampar, karena tingkat kekerasan di dalam rumah tangga kita masih tinggi.
Itu baru kekerasan fisik, belum lagi kekerasan ekonomi. Kalau saya seorang perempuan yang tidak bekerja, saya akan berpikir seribu kali untuk berani macam-macam terhadap suami saya. Kalau nanti malah dicerai, anak saya akan makan apa?! Itulah bentuk kekhawatiran perempuan yang tidak bekerja. Bagaimana dengan perempuan yang sempat mencari duit?
Beberapa teman saya yang berpendidikan sampai S3, masih saja menganut paham “yang penting ‘botol’ suami saya kembali; isinya boleh tumpah di mana-mana”. Saya tidak bisa mengerti, bagaimana mungkin orang bisa memaknai hubungan perkawinan sedangkal itu?!
Kalau “botolnya” pulang membawa infeksi bagaimana? Itu terjadi pada yang berpendidikan S3, pencari nafkah utama di keluarga. Jadi saya pikir, banyak juga hal-hal yang tidak linier dalam hidup ini; tidak otomatis mereka yang berpendidikan formal tingi, perilakunya akan lebih terpuji.
Bagaimana dengan pendidikan agama seseorang?
Saya kira itu juga bukan faktor yang membuat kita lebih mengerti tentang persoalan seksualitas. Agama bukan satu-satunya jawaban untuk persoalan ini. There are so many things in life yang harus kita pelajari.
Di Jakarta memang tidak ada lagi lokalisasi. Tapi ketika Anda pergi ke Dolly di Surabaya, Anda akan bingung melihat kenyataan bahwa di gang sempit itu ada orang yang tadarus Qur’an.
Dulu setiap hari Jum’at saya pernah ditarik-tarik orang yang mencari pekerja seks di Kramat Tunggak. Mereka salat Jum’at dulu, kemudian having sex. Kalau ditanya mengapa melakukan itu, mereka jawab, “Alah, Mbak… (salat Juma’at) itu kewajiban, dan yang ini (kontrak seksual) kebutuhan!” Lucu, kan?!
Kalau begitu, soalnya adalah pendidikan perilaku seksual yang aman, dong?
Ya, dan itu harus menjadi wacana dalam setiap keluarga. Jangan sampai karena anak tidak mau belajar, segera saja kita serahkan tanggung jawab ke sekolah, masjid, atau gereja. Sebagai orang tua, apakah kita mau lepas tangan dan berhenti belajar?
Harus diakui, sebagai orang tua, barangkali kecepatan pemahanan kita tentang suatu hal tidak sebanding lagi dengan anak-anak kita, karena mereka selalu belajar dan tidak berhenti bergaul dan bergaul.
Mbak Baby Jim, kalau begitu apa yang bisa diharap dari agama untuk meminimalisir dampak penyebaran HIV-Aids?
Pada tahun 2003 lalu, KH. Masdar F. Mas’udi dari NU pernah membuat terminologi yang sangat penting dalam soal relasi gender dan seksualitas. Dia membedakan antara safe dan unsafe sex (seks aman dan tidak aman), protected dan unprotected sex (seks terjamin dan tidak terjamin).
Pak Masdar bisa mengawinkan pelbagai terminologi. Misalnya, ada hubungan seks yang halal dan aman, seperti hubungan seks dalam perkawinan. Halal karena dalam kerangka perkawinan; aman karena kedua pasangan tidak terinfensi HIV.
Ada juga hubungan seks yang halal, tapi tidak aman. Halal karena dilakukan dalam kerangka perkawinan; tidak aman karena salah satunya berisiko tinggi kalau tidak pakai kondom. Terminologi-terminologi seperti itu mudah dijelaskan dan sangat mudah dimengerti.
Selain itu, ada juga hubungan seks yang haram tapi aman, yakni hubungan seks tanpa pernikahan yang tidak berisiko terinveksi HIV. Tapi ada juga yang haram sekaligus tidak aman. Haram, karena dilakukan di luar pernikahan; tidak aman karena membikin orang lain celaka.
Nah, di mana kita di antara empat terminologi ini? Sering juga orang yang ada pada posisi haram dan tidak aman, tapi berpura-pura berada pada posisi halal dan aman. Kita seringkali berlagak pilon (dungu, Red).
Ini persis seperti perilaku seorang pejabat yang mengimbau pedagang kecil untuk tidak menaikkan harga demi mengasihani rakyat kecil. Itu namanya berlagak pilon, karena kita tahu kalau harga-harga otomatis akan naik dengan kenaikan harga BBM. Mengapa yang diimbau justru pedagang kecil yang memang sudah tertekan?
Jadi, kita memang sering berlagak pilon, padahal kita tahu ada masalah. Kita tidak suka melihat masalah, dan takut akan hal-hal yang mengancam kita. Demi kenyamanan psikologis, kita pura-pura menganggap tidak ada apa-apa.
Setelah sekian lama terlibat penanganan HIV-Aids, apa pelajaran penting yang Anda petik?
Banyak sekali. Saya belajar kesabaran luar biasa. Kadang-kadang saya berpikir, syukurlah Tuhan memberi saya rasa sabar yang begitu banyak. Sebab, kadang-kadang kita berhadapan dengan kepribadian dan karakter manusia yang begitu beragam, karena sudah sakit, putus asa, dan tingkahnya berbeda dari ketika mereka masih sehat.
Saya juga merasa, di atas segala-galanya yang kita perbuat, ada kasih sayang sebagai jembatannya. Anda boleh menjadi seorang ahli, punya banyak uang dan sebagainya, tapi kalau tidak mengabdikannya dalam frame cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih, itu semua mungkin tidak ada artinya.