IslamLib – Perempuan itu bernama Gina Puspita. Meski namanya barangkali tak terlalu dikenal secara luas di Indonesia, tetapi ia perempuan yang luar biasa. Gina adalah seorang doktor lulusan universitas terkemuka di Prancis dan pernah bekerja dengan kedudukan yang penting di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yakni sebagai kepala departemen struktur optimasi divisi riset dan pengembangan.
Bagi seorang perempuan, tentu itu merupakan sebuah pencapaian akademik dan karir gemilang yang membanggakan. Keberhasilan Gina menginspirasi bagi banyak perempuan. Tapi, ada yang lebih menarik perhatian lagi dari kehidupan seorang Gina: ia rela dimadu oleh suaminya! Bahkan, Gina mencarikan sendiri istri kedua, ketiga dan keempat untuk suami tercintanya. Iya, ia sendiri yang mencarikannya. Gina seorang muslimah yang taat agama.
Gina tak merasa dihina sebagai perempuan yang dipoligami, sebagaimana tudingan para kaum feminis dan liberal selama ini. Kalau poligami betul-betul dilakukan untuk Allah, Gina percaya akan ada pertolongan dan kebahagiaan yang tak terkira. Ia menentang mereka yang mengolok-olok dan “mengharamkan” poligami. Gina memandang dari pada terjadi perselingkuhan dalam pernikahan monogami, mending melakukan pernikahan poligami.
Sayangnya, di Indonesia, lanjut dia, yang sering diributkan adalah persoalan poligaminya, sementara perselingkuhannya tidak. Padahal kata Gina, poligami itu sebetulnya enak dan perlu. Tak usah dihindari oleh seorang muslimah. Ia sendiri menunjukkan bahwa keluarganya pun tentram dan harmonis. Poligami, paparnya, juga bisa membentuk keluarga yang besar. Dan, keluarga besar, sangat membantu bagi penguatan perjuangan dakwah Islam.
Demikian, “cerita nyata” Gina Puspita dalam sebuah wawancara dengan media online Hidayatullah.com. Meski wawancara tersebut dilakukan beberapa tahun silam, namun wacana tentang poligami tak pernah pudar dan selalu menarik diperbincangkan, seperti belakangan ini.
Perempuan lainnya adalah Ratna Galuh (nama samaran). Saya mengenalnya sekitar setahun yang silam. Ia memang tak sama seperti Gina Puspita. Ratna hanya seorang perempuan biasa, lulusan sekolah menengah atas, dan bekerja sebagai ibu rumah rumah tangga. Belasan tahun lamanya, ia dibohongi suaminya sendiri, yang ternyata menikah diam-diam dengan perempuan lain. Tanpa izin dan sepengetahuan dirinya.
Setelah peristiwa itu terkuak, hati Ratna hancur sehancur-hancurnya. Tapi ia tak berontak dan melawan secara berlebihan kepada suaminya. Ratna tetap istri yang lembut dan tabah. Ia memaafkan kelakukan suaminya. Ia tak minta diceraikan, ia lebih mementingkan dan memikirkan nasib anak-anaknya. Meski ada memar dan lebam di hatinya, yang ia simpan sendirian.
Sekeras apapun ia berusaha terlihat tenang menyimpan sendirian lukanya yang dalam, jiwanya tetap tergoncang. Dalam ketergoncangan itu, ia menimbang dan memikirkan kembali alasan agama (Islam) yang membolehkan poligami yang kerap diucapkan oleh suaminya. Perasaan dan pikirannya yang sederhana tak mampu menerima pembenaran-pembenaran.
“Laki-laki memang seenaknya saja,” ujarnya. Poligami sulit ia terima. Apapun alasannya.
Representasi. Dua fragmen cerita nyata di atas, bagi saya, menarik karena merupakan representasi dari pertarungan wacana tentang poligami di Indonesia saat ini. Cerita pertama bisa dianggap mewakili “kelompok ” yang membolehkan poligami dengan penekanan berlebihan. Poligami tidak hanya sekadar ingin “dibersihkan” dari tudingan para feminis dan liberal yang menganggapnya sebagai bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan.
Tetapi lebih dari itu, “pintu” poligami ingin dibuka selebar-lebarnya dengan menganggap poligami itu enak dan tak perlu dihindari oleh seorang muslimah. Istilah “pintu” yang saya pakai di sini saya pinjam dari ahli tafsir Indonesia yang otoritatif, Prof. Quraish Shihab, dalam bukunya berjudul “Perempuan”.
Dalam pemahaman kelompok ini, poligami tak perlu dibenci. Kalau dilakukan untuk Allah, poligami justru akan membahagiakan dan mengangkat harkat perempuan. Seperti buah kesemek, kulit luarnya saja tak karuan, tapi bagian dalamnya sungguh sangat manis dan lezat. Poligami dibenci karena dari kulit luarnya saja dianggap merugikan perempuan, tapi jika dilakoni secara benar, maka di dalamnya ada “manisnya” hikmah dan kebahagiaan.
Sebab, poligami salah satu dari syariat Allah. Landasan teologis yang kerap dijadikan sandaran adalah AlQur’an surat An-Nisa ayat 3 yang membolehkan laki-laki menikahi empat perempuan asalkan adil, dan sunnah Rasulullah yakni praktik poligami Muhammad.
Sementara, cerita yang kedua bisa dianggap mewakili “kelompok” yang ingin menutup rapat-rapat “pintu” poligami. Bagi kelompok ini, poligami itu menyakiti dan merugikan perempuan. Al-Qur’an hanya menerangkan soal poligami dan memberikan syarat-syarat yang ketat yaitu keadilan. Dan, keadilan tak mungkin dipenuhi oleh laki-laki. Di surat An-Nisa ayat 129, Allah sudah menegaskan bahwa laki-laki tidak akan pernah bisa berbuat adil kepada istri-istrinya.
Seharusnya, kata mereka, lanjutan ayat tersebut menutup dibolehkannya poligami yang diterangkan di ayat sebelumnya. Kelompok ini kerap mendialogkan ayat-ayat poligami dengan teori-teori feminisme dan kesetaraan gender.
Selain itu, mereka juga berdalih, bahwa Muhammad itu mempraktikkan poligami hanya 9 tahun dalam hidupnya, dan itupun beliau menikahi janda-janda yang tua (selain Aisyah). Sementara 25 tahun, Muhammad hidup bermonogami dengan istri tercintanya, Khadijah. Artinya, Islam adalah agama bagi monogami. Tidak bagi poligami.
Pintu Darurat Kecil. Dua kelompok tersebut di atas berbeda dalam menyikapi poligami. Tapi, memiliki kesamaan yang tegas: sama-sama memiliki “hasrat” yang barangkali berlebihan. Yang satu, berhasrat ingin membuka pintu poligami selebar-lebarnya.Yang lainnya, berhasrat ingin menutup pintu poligami serapat-rapatnya.
Saya tertarik dengan penafsiran, pemahaman dan sekaligus sikap Quraish Shihab menyangkut poligami ini, yang menurut saya, cukup moderat, penuh kehati-hatian dan rasional. Tidak mengorbankan dan menabrak nash dan “mengumbar” nafsu diri sendiri yang barangkali tak disadari saat menafsirkan ayat suci. Ahli tafsir itu memberikan sebuah pengandaian yang cukup menarik tentang poligami.
Quraish Shihab mengatakan begini: “Poligami itu mirip dengan pintu darurat kecil dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu; yang duduk di samping pintu darurat itupun haruslah orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan membukanya serta baru diperkenankan membukanya setelah mendapatkan izin dari pilot.
Pengandaian Quraih Shihab itu jelas menohok dua kelompok yang ingin membuka pintu poligami selebar-lebarnya dan mereka yang ingin menutup pintu poligami serapat-rapatnya. Menurut Quraih Shihab, tak mungkin pintu poligami ditutup serapat-rapatnya, karena nabi dulu tidak melarang sebagian sahabat yang melakukan poligami.
Dalam lanjutan surat An-Nisa ayat 129, juga ditegaskan bahwa ketidakmampuan laki-laki untuk berbuat adil terhadap istrinya, berkaitan dengan kecenderungan hati. Oleh sebab itu kemudian nabi sendiri berdoa dan mengadu pada Allah: “Ya Allah, inilah bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku. Maka janganlah tuntut aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku” (HR. Ahmad, AnNasai, dan Abu Daud).
Tapi, tak mungkin juga membuka pintu poligami selebar-lebarnya, karena syaratnya cukup berat. Poligami hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mampu dan itupun dalam kondisi tertentu yang mendesaknya harus berbuat demikian. Poligami tak boleh jadi keumuman. Poligami, kata Quraish Shihab, seperti “pintu darurat kecil dalam pesawat”.
Pertanyaan penting untuk diajukan (terutama untuk Dr. Gina dan kelompok yang ingin membuka pintu poligami selebar-lebarnya) kemudian adalah: kalau pesawatnya terbang dengan “normal” dan tak ada masalah, mengapa harus membuka pintu darurat kecil dalam pesawat? Bukan lebih baik memaksimalkan “beribadah” dalam satu pesawat saja? Bahagia dengan cukup satu istri.