Dalih yang paling menonjol dari reaksi terhadap film ini adalah dalih moral. Apakah telah terjadi reduksi makna “moral” itu dalam logika agamawan?
Betul! Itu tepat sekali. Kita jarang sekali mendengar imbauan MUI mengenai masalah-masalah bangsa yang lebih berat. Misalnya soal korupsi yang merajalela, penggusuran di mana-mana, dan pameran kemewahan.
Persoalan seperti itu tak pernah digubris MUI secara serius. Mereka malah membidik masalah-masalah yang masuk wilayah moralitas individual semacam ini. Kalau kita tetapkan prioritas, ini sebenarnya bukan prioritas kita.
Sebenarnya, ada tindakan elite yang jauh lebih destruktif dan berskala lebih luas, karena mereka memegang kekuasaan. Sekali mereka bertindak, implikasinya bisa luas sekali.
Kalau mereka korupsi 1 milyar, artinya ada sejumlah anak sekolah yang tidak bisa bersekolah; ada sejumlah gedung sekolah yang tidak bisa dibangun. Mestinya itu prioritas sorotan agamawan.
Makna moral telah direduksi khusus pada wilayah susila. Agama-agama terlalu obsesif atau terlampau mempedulikan hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas, sampai melampaui proporsinya yang wajar. Saya tidak tahu sebabnya.
Mungkin karena dalam kitab-kitab suci, persoalan ini dipaparkan cukup detail, tekstual atau harfiah. Akibatnya, masalah moral yang besar-besar tidak tersentuh secara memadai. Mestinya, agamawan mengembangkan konsep moralitas secara lebih luas
Sejauh pengamatan Anda, bagaimana perkembangan perfilman nasional pasca-reformasi yang cenderung bebas?
Tahun 1970 dan 1980-an, film-film yang vulgar banyak beredar. Dari judulnya saja kita sudah tahu itu film vulgar. Misalnya, Akibat Pergaulan Bebas, Seks dan Kriminalitas, Ranjang Pengantin, dan lain-lain. Saya pribadi sangat tidak suka.
Karena bagaimanapun, seks itu bisa dibilang sakral. Tidak ada hubungan yang lebih intim dari hubungan seksual. Hubungan seksual adalah dasar eksistensi kita. Kita semua hadir di dunia ini berkat hubungan seks orang tua kita.
Teman saya berkelakar, tidak ada pekerjaan yang lebih sulit dan berat melebihi hubungan seksual. Sebab pekerjaan lain, seberat-beratnya tidak perlu sampai membuka celana. Intinya, hubungan seks itu merupakan hubungan paling intim. Maksud saya, jangan sembarangan dan melakukannya dengan ngawur.
Artinya, kalau diangkat ke dunia perfilman, diperlukan teknik-teknik khusus dalam meraciknya?
Ya. Coba diberi pengertian makna seks itu sendiri. Tak perlu akademis, karena bicara seks itu bisa panjang lebar. Orang menulis berpuluh-puluh buku untuk mengulas persoalan ini, dan tidak kunjung beres-beres. Tapi setidaknya, ada penghormatan dan apresiasi yang baik atas persoalan seks, bukan vulgar seperti yang sering ditampilkan.
Nah, dalam hal ini saya menyesalkan mengapa penulis skenario film kita, juga para penulis lagu, tak kunjung mampu mengeksplorasi tema ini secara wajar. Kita misalnya bisa melihat aspek filosofis dari seks.
Lagu-lagu Barat memang banyak sekali yang vulgar, apalagi jenis rap. Tapi saya teringat lagu Speak Softly Love dari Andy William yang menjadi tema musik film The Godfather. Sebagian baitnya berbunyi: wine-colored days warmed by the sun (hari-hari yang warnanya seperti anggur yang dihangatkan mentari). Ini ungkapan tentang hari-hari yang dilaluinya bersama sang kekasih.
Lalu: deep velvet nights when we are one (malam-malam seperti beludru tua ketika kita menyatu). Yang dimaksud di situ adalah hubungan seks, tapi disajikan dengan indah dan halus, sesuai dengan harkat atau martabat hubungan seks itu sendiri.
Jadi seks itu luas dan selalu menarik untuk diangkat ke dunia seni?
Menarik sekali! Pertama, karena seks itu impuls manusia yang paling hewani. Jadi, karena impulsnya sangat mendasar, dia menjadi universal. Di manapun, dan zaman apapun, seks selalu memukau. Dia terus laku. Tak heran kalau pedagang film, kalau ingin produknya laku, mereka mengeksplorasi hal yang satu ini.
Masalahnya, kalau kesadaran insan perfilman kita tak bisa diandalkan, maka dia harus diatur dengan peraturan. Begitulah lazimnya yang berlaku di suatu negara. Dalam soal ini, kita tidak kunjung beres. Kalau ada pengaturan, muncul semangat untuk mengatur keseluruhan, yang malah menghapus hak (untuk berkarya). Di situlah kita selalu sulit mencari titik temu.
Dalam hal ini, menarik membandingkan dunia perfilman kita dengan Iran. Di Iran, perempuan tidak berjilbab tidak boleh ditayangkan di muka umum. Tapi kita lihat, film-film Iran tumbuh begitu hebatnya, justru di masa Revolusi Islam yang sangat ketat itu.
Setelah Revolusi Islam tahun 1979, di Iran tumbuh sutradara-sutradara yang baik. Ada Abbbas Kiarostami, Mohsen Makhmalbaf, Samirah Makhmalbaf, dan Majid Majidi. Di sana banyak sekali film-film yang memperlihatkan adegan perempuan dan laki-laki dengan sangat indahnya.
Uniknya, ternyata energi kreatif muncul di Iran justru karena pembatasan. Ini soal bagaimana kita mempersepsi soal pembatasan. Di sini, umumnya orang mengeluh kalau dibatasi. Di sana, orang seperti Abbas Kiarostami itu wawasannya sehat sekali.
Dia pernah ditanya: “Pemerintahan Anda suka melarang-larang!?” Dia jawab, “O, ya! Tapi apakah dengan larangan kita lalu berhenti, meratap, menangis, atau justru terus kreatif? Saya memilih untuk terus bekerja dengan segala risikonya. Kalau film saya disensor, it’s find!
Saya membuat film dengan durasi 2 jam. Kalau ada yang disensor setengah atau satu menit tidak jadi soal, asal struktur dasar film saya tidak rusak.” Itu ungkapan seorang sutradara yang filmnya menang di festival film cukup bergengsi di Cannes.
Dalam iklim yang relatif bebas ini, mestinya kita lebih kreatif?
Justru itu yang saya maksud. Tapi insan perfilman kita, ditekan salah, diberi kebebasan juga mutu karyanya tak kunjung meningkat secara wajar. Saya kira, persoalannya bukan pada disensor atau tidak, tapi soal kreativitas. Seni itu intinya kreativitas. Kreativitas itu tidak bisa dipelajari.